CINDAI #bag1

348 13 2
                                    

Ini sebenarnya cerpen karya kak Raihana. Diperost sama ka Amalia Prastika, dan direpost kembali oleh saya. So, happy reading..

Malam yang pekat. Tak ada satupun bintang yang terlihat berkelip dilangit hitam. Hanya bulan yang mengintip sedikit dari celah awan hitam yang menggelayutinya. Hujan baru saja menyapa, lalu ia meninggalkan bumi dengan sisa-sisa tetesan di tiap benda yang ia cumbu.

Aku menarik selimut hingga menutupi kepalaku. Sudah jam sembilan. Waktunya untuk tidur. Tapi kantuk tak kunjung menghampiri. Aku menghela napas panjang, sadar pasti ibu akan memeriksa kamarku untuk memastikan aku sudah tidur atau belum.

Tapi aku tak bisa tidur, juga tak mau tidur secepat ini. Tidak ada anak remaja yang tidur jam sembilan, begitu pikirku. Karena semua teman-temanku, di jam yang sama seperti sekarang, pasti sedang asyik menjelajah dunia maya atau sedang menonton aktor kesayangan mereka.

Lalu benar saja. Pintu kamarku berderit, ibu menatapku jengah. Ia diam lalu memandangi seisi kamarku.

"Cindai" Suara ibu terdengar menggema. Aku mendorong selimut hingga berkerut. Ibu menatapku jenuh.

"Apa yang kau lakukan? Bukankah ini sudah masuk jam tidurmu?"

Aku menghela napas. Baiklah, ku katakan pada kalian. Ibu terlalu menyayangiku. Wajar memang. Tapi kupikir dia terlalu berlebihan. Dia memberiku jam tidur yang harus ku tepati. Tak boleh tidur lewat dari jam sembilan malam kalau tidak ada urusan penting.

Lain halnya dengan ayahku. Ayah tak pernah memperhatikanku. Dia tak pernah mau tahu urusanku. Oh tentu saja, aku sering berpikir bahwa ayah tak pernah menginginkan aku ada. Dia tak pernah mau menyebut nama depanku. Cindai. Dia tak pernah mau....

"Aku tak bisa tidur" Sahutku akhirnya. Ibu menarik bangku kecil di depan meja riasku, ia duduk disamping tempat tidur. Wajahnya terlihat berpikir, lalu ia tersenyum samar.

"Bagaimana kalau ibu bercerita?" Tawarnya. Aku menganga. Oh ya Tuhan, aku sudah remaja. Dan tidak ada anak remaja yang diceritakan dongeng sebelum tidur.

"Bu, kalau ibu bercerita tentang Aladin, Cinderella, atau siapapun itu. Aku tak mau mendengarnya" Gerutuku. Ibu menghela napas panjang.

"Bukan tentang dongeng yang sudah karatan dimakan waktu itu. Ibu akan bercerita tentang seorang gadis bernama Cindai.." Jawab ibu. Dahiku berkerut.

"Apakah ibu mengarang cerita menggunakan namaku?" Tanyaku. Ibu diam, lalu dia hanya berkata.

"Dengarkan baik-baik,dan kau akan mengerti mengapa cinta bisa membuat segalanya menjadi berantakan" Katanya.

Dan ibupun mulai bercerita...

***

(Flashback)On

Gadis itu duduk termangu di depan jendela yang menghadirkan pemandangan hujan yang merintik dengan derasnya. Ia menatap kosong kearah depan. Ada sesuatu yang terus-terusan menghantui pikirannya.

Selalu seperti ini. Ia hanya diam menatap kosong keluar jendela. Sesekali hanya isak tangis yang terdengar. Tak jarang, ia menjerit, memanggil nama pemuda yang sejak dulu ia tunggu. Dia tak melakukan apapun. Hanya menunggu dalam sepi yang tak tertahankan.

"Ndai.." Sebuah suara memanggil namanya. Chelsea, gadis itu hanya berdiri diambang pintu. Tak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi sahabatnya yang selalu seperti ini. Semua orang bilang Cindai adalah perempuan gila. Tapi bagi Chelsea tidak, Cindai tetap sehat, ia tetap sahabatnya seperti dulu.

"Berhentilah seperti ini Ndai..Aku mohon." Ujar Chelsea.

Cindai tetap bergeming. Ia tetap diam, berbicara pada dirinya sendiri didalam nurani kecilnya, didalam jiwanya yang terguncang. Sudah sepuluh tahun berlalu, adakah harapan itu membuatnya bahagia? Jawabannya tidak.

Chelsea menarik nafas panjang perlahan. Dia mendekat kearah Cindai, memeluk sahabatnya dari belakang. Setitik air mata menetes dari pelupuk matanya. Ia mendesah samar, bagaimana jika Cindai tahu kenyataan yang sesungguhnya? Apa yang harus ia katakan sekarang?

"Berhentilah mengharapkan ia kembali Ndai." Kata Chelsea. Lalu ia menyodorkan sebuah undangan berwarna merah hati.

"Dia tak akan kembali. Dia akan menjadi milik orang lain. Apa lagi yang kau tunggu? Ku mohon, bangkitlah, hentikan semuanya Ndai. Ada banyak yang menunggumu untuk seperti dulu. Dia akan kembali dengan wanita lain. Dan kau tetap mencintainya? Apa kau tetap memilih bertahan dalam sebuah kebodohan yang tak akan ada habisnya? Aku mohon, lupakan dia yang telah bahagia dengan orang lain. Lupakan dia yang tak pernah tahu tentang perasaanmu,tentang penantianmu, bangkitlah."

Namun Cindai hanya diam. Tapi air matanya menetes. Setitik demi setitik, lalu hujan itu mengalir melewati pipinya. Isaknya semakin kencang, bahunya berguncang. Cindai memeluk lututnya, menahan perih yang mengoyak batinnya keras-keras.

"Ba-gas" Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setiap hari. Setiap waktu. Hanya nama itu yang keluar dari mulutnya.

Cindai. Gadis itu, nampaknya sekarang tahu seperti apa rasanya menanti; perih.

BADAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang