Aku adalah gadis jendela. Di rumah, di sekolah, di kendaraan, aku menempel di jendela. Aku akan terserang panik dan sesak napas dalam ruangan tanpa jendela. Bila kutemukan jendela, aku akan duduk tenang. Lalu, mata dan perasaanku lekat dengan dunia di balik jendela. Dunia yang sama, meskipun berganti-ganti jendela. Dunia yang membuat setiap sel tubuhku bergetar sakit oleh kerinduan. Lewat jendela, kujenguk dunia itu setiap saat. Tapi keberadaan jendela membuat aku tahu bahwa aku hidup di dunia lain kini. Sendiri.
Dunia di balik jendela. Pantai di pagi hari. Air laut dingin menyapa betis dan terburu-buru kembali ke laut. Sepeninggal ombak, pasir menggerumit, menggelitik kaki telanjang. Bau khas air asin menguar, terbawa angin dan menempel di muka. Lengket, lembap. Para nelayan mulai menarik jaring beramai-ramai. Penantian mendebarkan. Berapa banyak ikan yang terperangkap kali ini. Kaum ibu segera sibuk dengan embernya menampung tangkapan. Kegiatan rutin, namun tak ada yang mengeluh bosan. Seperti laut, yang tak pernah bosan menyampaikan kabarnya dengan ombak ke pantai. Seperti aku, yang tak pernah bosan memanjakan pancaindra sambil bermain atau menyusuri pantai.
Bunda biasanya menyusulku. Ikut bermain pasir atau berjalan-jalan. Sambil merangkulku, dia mendongeng. Tentang kerajaan-kerajaan di seluruh lapisan bumi. Tapi yang paling sering adalah tentang negeri di dasar laut. Ada pangeran kesepian di sana. Pangeran yang tak pernah bosan pula menyanyikan perasaannya. Bagi manusia, senandungnya terdengar bagaikan deburan ombak, desiran angin, celoteh burung, ceripit binatang malam. Bunda sering menatap jauh ke laut. Matanya berkaca-kaca. Penuh kerinduan. Dulu aku tidak mengerti kenapa Bunda menangisi pangeran itu. Setelah aku beranjak remaja, aku tahu, perasaannya tertuju pada Ayah. Aku tak pernah mengenal Ayah, kecuali dari foto dan cerita Bunda. Ayah dikabarkan hilang di laut ketika perahunya ditemukan pecah menabrak karang. Waktu itu, Bunda hampir melahirkan aku. Karena aku, katanya, dia sanggup bertahan.
Sejak saat itu, pangeran laut adalah Ayah bagiku. Laut menyampaikan pesannya setiap saat. Senandungnya adalah ungkapan cinta kepada kami berdua. Aku dan Bunda menikmati kebersamaan dengannya setiap pagi dan menjelang petang. Matahari terbit dan tenggelam menyaksikan kerinduan terobati. Dunia di balik jendela. Ada aku, Bunda, dan Ayah.
Kudengar pintu kamar diketuk. "Jangan ganggu aku." Suaraku hanya bergaung dalam kepala. Dia tak akan mendengar jawabanku. Tapi itu tidak penting. Tante Meutia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan dalam diam. Walaupun tebakannya nyaris tak pernah tepat.
"Mirna sayang," sapanya, sudah berdiri di sampingku. "Kita makan dulu, yuk."
Aku menggeleng. Terus menatap jendela. Sesaat hatiku tersengat oleh bayangan di kaca. Wajah yang kurindukan dari dunia sana. Tapi aku segera menyadari, wajah itu milik Tante Meutia, adik bungsu Bunda. Ia sangat mirip dengan Bunda. Sekali aku pernah memandangnya, ketika dia menjemputku di rumah sakit. Kukira Bunda selamat dan menemukanku. Aku memeluknya. Menangis. Meraung. "Jangan tinggalkan Mirna lagi, Bunda!"
Lalu, dia menghiburku di sela tangisnya sendiri. Aku terkejut dan melepaskan pelukan. Dia bukan Bunda. Suaranya berbeda. Gayanya berbeda. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menatap wajahnya. Bukan salah Tante Meutia. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa. Tante yang sangat baik, yang mengurusku selama ini. Tapi dia bukan Bunda.
"Kalau begitu, Tante suruh saja Narsih bawa makananmu ke sini," katanya, tetap riang. "Tante ke bawah dulu ya." Dibelainya bahuku dengan lembut. Biasanya, sentuhan Tante Meutia membuat otot-ototku menegang. Kali ini aku mengabaikannya.
Malam di luar sana tiba-tiba terasa berbeda. Tonggeret berhenti menggeret. Bunyinya digantikan melodi lirih yang meniti pucuk-pucuk pohon. Kugeser kaca jendela, cukup untuk mengeluarkan kepala. Angin gunung menyambutku. Di seberang taman, sebuah jendela di lantai dua menyala. Aku tak tahu sejak kapan bangunan itu berpenghuni. Biasanya, ia hanya merupakan siluet di balik gerombolan pohon pinus. Lantunan bunyi instrumen tiup itu berasal dari sana. Terkadang riang bergelora, lalu melirih sendu, untuk kembali mengentak dan memprotes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Jendela (Complete)
Short StoryKisah kehilangan, ketidaksempurnaan, pertemuan, dan harapan... Dipersembahkan untuk remaja Aceh yang pada 2004 kehilangan segalanya, namun tak membiarkan Tsunami merenggut hari esok mereka.