Tante menatapku. Aku balas menatapnya. Aku ingin dia mengerti tanpa aku harus menjelaskannya. Dan kedipan matanya membuatku lega. Tante keluar dari kamar dengan senyum lebar menggoda.
Aku mengintip ke luar dan tercengang. Ryan mengeluarkan poster bertuliskan "HALO. AKU RYAN PRASTYO. KAMU?"
Huruf-hurufnya begitu besar sehingga terbaca jelas dari sini. Kelabakan aku mencari kertas yang cukup lebar, tapi hanya menemukan selembar folio. Aku menuliskan namaku dengan spidol. CUT MIRNA.
Tampak Ryan menelengkan kepala. Ya ampun, tulisanku tak terbaca. Sebentar dia menghilang dan kembali dengan teropong di tangannya. Pintar juga! Lalu dia mengacungkan jempol. Ditulisnya sesuatu pada posternya dan diacungkannya lagi. Di bawah pesan pertama, kulihat sederet nomor ponsel. Aku mencatatnya. Lalu seperti kesetanan mencari-cari ponselku. Tante Meutia membelikannya untukku beberapa waktu lalu. Oh, kapankah itu? Masihkah nomornya berlaku? Aku nyaris tak pernah menggunakannya. Kutemukan benda itu di kolong ranjang. Kunyalakan. Syukurlah, baterainya masih hidup. Tapi ketika aku mencoba meneleponnya, pesan otomatis yang kudengar membuat semangatku terbang seketika. Aku bersandar di ranjang, tak berdaya. Kulemparkan diriku di kasur. Tak berani muncul lagi di jendela. Ingin rasanya menjerit keras-keras.
Kudengar telepon rumah berdering di selasar. Aku terlonjak. Pasti itu Ryan. Kudengar Narsih mengangkatnya. Sepi sesaat sebelum pintu kamarku diketuk. Pintu kubuka buru-buru, dan nyaris kurampas telepon nirkabel itu dari tangan Narsih.
"Halo? Mirna?" suaranya semerdu alunan saksofonnya.
Aku meneguk ludah. Tak mampu berbicara. Terlalu takut suaraku akan terdengar seperti kodok bangkong sakit tenggorokan. Maka kuputuskan hubungan dan menangis. Aku terlalu kontras dengan sang saksofonis bersuara merdu. Aku hanya boleh mengaguminya dari belakang panggung, secara sembunyi-sembunyi. Jadi, hari-hari selanjutnya aku menghindari jendela.
Anehnya, aku tak lagi panik dan sesak napas tanpa jendela. Sebagai gantinya, aku panik dan sesak napas ketika harus berbicara.
Tante Meutia tampak terpukul. Harapannya telanjur subur setelah aku mengucapkan beberapa kata waktu itu. Dia sampai mendatangkan ahli terapi wicara dan menunda perjalanan ke Aceh. Upayanya itu hanya membuang-buang waktu dan biaya. Sia-sia saja seperti upayanya di tahun pertama, ketika dia begitu bersemangat membawaku mengunjungi psikolog-psikolog ternama. Aku sudah pasrah dengan keadaanku. Ini hukuman untukku karena telah menyia-nyiakan kebaikan Tante Meutia dengan mogok berbicara, hampir tiga tahun lamanya. Sebetulnya, kalau kesulitan berbicara tidak dipermasalahkan, keadaanku jauh lebih baik. Tante menyebut tahap ini sebagai "awakening"; Mirna telah terjaga dari tidur panjang di jendela. Dan Tante tahu, yang membangunkan aku adalah Ryan dengan saksofonnya.
Aku selalu mendengarkan saksofonnya, tapi sebisa mungkin menghindari peniupnya. Ryan tampaknya tidak mau menerima itu. Ketika kuabaikan teleponnya ke rumah, dia mengirimiku sebuah ponsel dengan catatan kecil, "Answer me, please." Kuabaikan juga. Segera dikiriminya aku sebuah binokuler dengan pesan, "Lihatlah ke jendela." Aku tak menggubrisnya. Surat-suratnya pun berdatangan setiap pagi dan petang. Tak ada keinginanku untuk membalasnya. Hanya karena penasaran ingin tahu apa maunya, kubaca beberapa. Intinya, dia menyatakan bahwa sejak hari pertama kepulangannya, diam-diam dia selalu mengamatiku di jendela dengan teropongnya. Aku menjadi ilham baginya menciptakan lagu. Dia bahagia melodinya menarik perhatianku. Dan sekarang, dia merana karena aku mengabaikannya.
Kuncup-kuncup bunga tumbuh di hatiku. Segera kuinjak-injak mereka sebelum mekar. Ryan tak sadar apa yang dibicarakannya. Dia melihatku hanya dari jauh. Dia membayangkan gadis yang bukan aku. Tak kubaca lagi surat-surat berikutnya.
Akhirnya, dia datang sendiri. Menunggu di bawah. Mengobrol dengan Tante. Dan kubiarkan pulang tanpa hasil. Tapi petang ini, dia kembali menunggu.
"Mirna, tolong temuilah Ryan," pinta Tante prihatin. "Kasihan dia...." Aku menggeleng kaku. Siapa suruh?! Tapi kudengar Ryan meniup saksofonnya di bawah. Lagu baru. Merintih, menggerapai, mengiba. Aku terpana sesaat. Dan kemarahanku meledak. Kalau dia ingin menyaksikan si bisu ini, baiklah. Aku akan turun. Barangkali setelah itu, dia akan sadar aku tidak seperti yang dibayangkan, dan perasaannya, apa pun itu akan padam sendiri.
Langkahku terhenti pada anak tangga terbawah.
Ryan berdiri bersandar di dinding dan meniup saksofonnya sambil memandangku. Darahku berdersir. Baru kali ini aku melihat wajahnya dengan jelas. Pangeran-pangeran dari dongeng Bunda yang hidup di kepalaku segera saja meniru wajahnya. Tapi yang membuatku tertegun adalah, dia berdiri dengan satu kaki.
"K-Kamu kenapa?" tanyaku.
Ryan menurunkan saksnya dan tersenyum. "Ini?" tanyanya menunjuk kaki kirinya. Pipa celana panjangnya kempis dari lutut ke bawah. "Ditabrak truk waktu bersepeda di jalan raya, 7 tahun lalu. Waktu umurku 11 tahun. Lama aku mengurung diri dan berputus asa. Lalu, tiba-tiba aku terjaga, dan berkata, 'Hei, enggak ada manusia sempurna di dunia ini. Kita tinggal memilih, terus menangisi kekurangan atau mengasah kelebihan.' Aku memilih yang terakhir. Biasanya aku pakai kaki palsu. Sengaja kulepas, biar kamu lihat. Mirna, aku sudah ceritakan semua lo di suratku."
Aku menghela napas. "Belum kubaca."
"Kenapa menghindar, Mirna?" lembut dia bertanya. "Kamu bikin aku seperti kehilangan kaki kanan pula."
"Aku...aku enggak bisa bicara...." Aku terbelalak. Akukah yang berbicara barusan?
"Kamu baik-baik saja. Buktinya aku mendengar suaramu. Atau aku hanya membaca pikiranmu?" Ryan tertawa. Diletakkanya saksofonnya di sofa. Diraihnya tongkat yang tersandar di dinding. Dia mendekatiku.
Kurasakan bunga-bunga itu tumbuh lagi. Langsung mekar dan bersenandung di hatiku. Aku khawatir dia mendengarnya.
"Aku tahu ceritamu dari Tante Meutia. Tapi jangan marahi dia, ya? Aku mengancam akan meniup saksofon di bawah jendelanya setiap malam kalau pertanyaanku enggak dijawab." Ryan tertawa lagi. Lalu menatapku lekat-lekat. "Tahu enggak, aku sering enggak bisa tidur ingat muka kamu yang pucat di jendela sana? Apalagi kalau kamu menangis sampai tertidur."
Aku menunduk. Mataku sudah basah lagi.
"Aduh, jangan sedih lagi, Mirna. Senyum, dong. Ayo. Untukku."
Aku berusaha memberikan senyum terbaik meski lupa caranya.
"Terima kasih," bisiknya. "Senyum yang layak ditukar dengan satu lagu baru."
Aku tak menemukan kata-kata, walaupun kini aku yakin mampu mengucapkan apa pun untuknya.
"Mirna, mau dengar lagu baruku yang lain?" Ryan lincah menggerakkan kaki dan tongkatnya kembali ke sofa. Mengambil instrumennya. "Ini tentang cowok jendela yang menemukan cewek jendela. Ketika dua jendela bertemu, bertemulah ketidaksempurnaan dengan ketidaksempurnaan. Dan segalanya menjadi sempurna."
Dia berdeham dulu, lalu membungkuk memberi hormat, dan mulai meniup. Aku tertawa. Oh, kapan terakhir kalinya aku tertawa? Aku ingat, di pantai bersama Bunda, kuperhatikan burung-burung yang berkumpul di atas batu karang dan mengobrol ramai. Aku menebak-nebak apa yang mereka musyawarahkan. Tebakan konyol yang membuat kami tertawa lepas. Bunda begitu bahagia waktu itu. Dekat dengan laut, dekat dengan Ayah.
Aku yakin sekarang, Bunda pasti lebih bahagia setelah bersatu kembali dengannya. Betapa kehadiran seseorang membuat kita bahagia, aku merasakannya kini. Aku tak sendiri lagi.
Bunda, dari jendela di duniamu, lihatlah gerak-gerik Ryan. Dengarlah melodi yang ditiupkannya. Meninggi dengan harapan, menderap dengan suka cita, untuk kembali melembut penuh syukur. Bunda tahu kan sekarang, kenapa aku tak lagi mencarimu di jendela?Ryan menurunkan saksofon dan berkata, "Kuberi judul, Dua Jendela.Kamu suka?"
"Ya," sahutku lirih. Tapi aku yakin, mataku sudah terlebih dulu memberikan jawaban. Lebih fasih. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Jendela (Complete)
Short StoryKisah kehilangan, ketidaksempurnaan, pertemuan, dan harapan... Dipersembahkan untuk remaja Aceh yang pada 2004 kehilangan segalanya, namun tak membiarkan Tsunami merenggut hari esok mereka.