"I'm gonna tell a real story. I'm gonna start with my name." - Kendrick Lamar
Pagi hari yang begitu damai, sang mentari bersinar hangat menemani aktivitas para warga di salah satu distrik yang semula berada di Wall Rose. Seorang pria duduk di atas kursi roda dengan secangkir teh hitam tergenggam di tangannya, dari halaman rumah, ia menunggu sang istri dan putra semata wayangnya pulang dari pasar.
Kepalanya mendongak, ditatapnya hamparan luas langit biru yang dihiasi oleh gumpalan-gumpalan awan berwarna putih dengan sebelah matanya. Segerombolan burung terbang melintasi langit bertepatan dengan suara seorang anak laki-laki yang memanggilnya.
"Ayah..."
Lelaki itu menoleh, seulas senyum tipis terbit di wajahnya yang memiliki bekas luka memanjang begitu melihat seorang gadis dan pemuda yang bergandengan tangan dan anak kecil yang duduk dengan senyuman lebar di pundak sang pemuda yang berjalan mendekat. Tangan anak kecil itu melambai-lambai, memanggil ayahnya berkali-kali.
"Falco, turunkan aku!"
"Iya baiklah," Falco terkekeh kecil, kemudian ia menurunkan anak laki-laki itu dari pundaknya dengan hati-hati. Sang anak langsung saja berlari dan menghampiri ayahnya.
"Dasar anak nakal, berlarilah sesukamu sampai kakimu itu tersandung batu!"
Anak kecil itu merengut, ia menatap gadis yang berbicara padanya, "Gabi jangan marah-marah, Falco tidak akan suka padamu." Ia menjulurkan lidahnya.
"Apa katamu?"
Falco tertawa, "Sudahlah Gabi..."
Lelaki yang duduk di kursi roda kembali mengulas senyum, ia membelai lembut rambut hitam putranya, "Erwin, dimana ibu?"
Anak laki-laki itu menggeleng, "Tidak tahu."
"Dimana istriku? Ia tidak pulang bersama kalian?" Mata tajamnya beralih pada Gabi dan Falco yang masih berdiri di hadapannya.
Gabi menjawab, "Mikasa tadi pergi ke rumah Armin terlebih dahulu, Annie melahirkan hari ini."
"Kalau begitu kami pamit, Levi. Kamu harus membuka kedai tehmu," ucap Falco.
"Ya, terimakasih," jawab Levi.
Tak berselang lama perginya Gabi dan Falco, Levi melihat istrinya berjalan memasuki halaman rumah mereka. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, tampak berkilau terterpa cahaya mentari pagi, terlihat begitu anggun dan cantik. Setelah menikah, Mikasa memang berkeinginan untuk memanjangkan rambutnya dan Levi tidak memiliki masalah dengan hal itu. Kedua tangannya menenteng barang belanjaan, bibirnya mengulas senyum begitu tahu bahwa suaminya menunggunya pulang di depan pintu.
Levi menatap istri sekaligus mantan anak buahnya saat masih di pasukan khusus tersebut dengan tatapan sendu, terbesit rasa bersalah di hatinya ketika melihat istrinya. Dengan perut yang membesar, istrinya tidak pernah mengeluh sedikitpun. Seharusnya ia bisa membantu sang istri, menemaninya berbelanja di pasar dan membawakan semua barang belanjaannya. Levi tahu istrinya adalah wanita yang kuat, meski tengah hamil tua pun ia masih sanggup melakukan pekerjaan berat. Bukannya ingin meremehkan wanita kecintaannya, ia hanya merasa belum bisa menjadi suami yang baik dengan segala keterbatasannya.
"Mikasa, tidak seharusnya kau membawa barang belanjaan yang begitu banyak. Gabi dan Falco bisa membantumu,"
"Erwin juga, Erwin juga bisa membantu ibu," anak kecil berumur lima tahun itu menghampiri ibunya, memeluk kedua kaki Mikasa dengan kedua tangan kecilnya.
Mikasa terkekeh, "Erwin anak yang baik, itu saja sudah cukup membantu ayah dan ibu." Kemudian ia beralih menatap Levi dan tersenyum hangat, "Ini bukan masalah, Levi. Kau tidak perlu khawatir. Ayo kita masuk ke dalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Name (After War - Rivamika)
Fanfiction- "Ayah, mengapa aku diberi nama Erwin Ackerman?" - "Ibu, jika adik sudah lahir nanti, bisakah kita menamainya dengan nama Eren Ackerman?"