Gadis remaja itu menatap langit-langit kamarnya, pikirannya melalang buana. Ia terdiam dalam lamunan, mengingat salah satu kenangan yang terjadi pada hidupnya. Ia tak tau itu kenangan yang baik atau buruk, tetapi ketika ia mengingat atas kejadian itu. Ada rasa sakit yang timbul dihati, serta rasa percaya bahwa harapan akan menjadi sebuah kenyataan.
Untuk beberapa menit yang membosankan, akhirnya gadis itu memutuskan untuk berhenti dari kegiatan melamun-nya. Ia merubah posisinya yang semula tiduran, menjadi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Lagi, dan lagi gadis itu terdiam sepersekian detik di dalam kamar yang berukuran 3 x 3 m, kamar itu kecil, namun sungguh tertata rapi. Gadis itu tiba-tiba terkejut dari lamunannya, dan kemudian ia menangis.
"Saya akan pergi" ucap wanita paruh baya itu, ia berpakaian rapi dengan sedikit riasan yang menghiasi wajahnya. Menutupi raut keriput yang sudah hampir terlihat diwajah cantiknya yang tegas.
Anak kecil itu menatap wanita paruh baya tersebut, dengan tatapan penuh bingung. Ia tak mengerti dengan ucapannya. Dia hanya berdiam diri mematung, sesekali ia menoleh kesebelahnya. Ada anak perempuan yang lebih tua darinya yang berdiam mematung sama seperti dirinya, tatapannya memancarkan kesedihan, serta kebencian dalam waktu yang bersamaan.
"Kenapa anda begitu tega meninggalkan kami? Apa kesalahan yang kami perbuat? Kenapa anda melepas tanggung jawab yang seharusnya anda laksanakan? Dimana hati anda?!"anak perempuan yang lebih tua itu membentak, kepada wanita paruh baya yang berdiri dihadapannya. Mencurahkan semua isi hatinya dalam sekali ucapan, lalu ia terisak setelah mengatakan itu, memegang erat lengan kecil anak gadis yang lebih muda darinya.
"Saya tidak pernah sekalipun mengajarimu untuk tidak sopan terhadap orang yang lebih tua, lagi pula saya ini ibumu Deandra. Kau tak patut mengatakan hal yang seperti itu kepada ibumu." Ucap wanita itu dengan datar, ia seperti menyembunyikan emosinya.
Deandra menatap wanita paruh baya itu dengan penuh kebencian, ia menghapus air matanya dengan kasar. "Bahkan aku tak sudi menganggapmu sebagai ibuku." Deandra mengucapkannya dengan lantang, dan penuh keyakinan.
Wanita itu menatap kedua anak kecil yang berdiri dihadapannya, lalu ia tersenyum. Senyum yang tak diketahui apa maksudnya oleh Deandra.
"Saya akan segera pergi, sebaiknya mulai sekarang kamu mulai mandiri Deandra. Jangan lupa uruslah-urusanmu sendiri, jangan membuat seseorang masuk kedalam urusanmu yang merepotkan itu. Satu lagi Deandra, urus juga adikmu Claudya."ucap wanita paruh baya tersebut
Anak kecil yang bernama Claudya, hanya menatap bingung kedua orang yang berdiri didekatnya. Namun tanpa ia sadari, air mata itu jatuh. Padahal ia sama sekali tak mengerti maksud ucapan dari ibu, serta kakaknya. Ia hanya bisa mematung, sampai air mata itu jatuh membasahi pipinya. Ia mungkin tak mengerti, namun ia bisa melihat ada hal buruk yang terjadi antara kakak, dan ibunya. Ia bisa mengerti intonasi orang marah, dan tatapan penuh kebencian yang ditunjukkan Deandra kepada sang ibu.
Wanita itu mengusap kepala anak kecil yang bernama Claudya, ia mensejajarkan tingginya dengan anak kecil itu. Lalu, ia menghapus air mata yang membasahi pipi anak kecil itu.
"Kau akan baik-baik saja, Deandra bisa kau andalkan. Jika memang sudah waktunya, kita akan berjumpa. Kau hanya butuh keyakinan, serta harapan. Itu akan membuat hal yang tak mungkin, menjadi kenyataan. Satu lagi doa juga perlu Claudya, ingat itu."ucap wanita paruh baya itu. Ia segera bangkit dari posisinya, dan pergi.Deandra menangis, dan segera berlari kekamarnya. Ia membanting pintu kamarnya, membuat Claudya menatapnya. Lalu Claudya berdiam diri diposisi semula, dan mulai mencerna apa yang telah terjadi.
Kini ia mengerti bahwa ibunya pergi, tanpa tahu akan kembali.
Kenangan itu kembali hadir dalam pikiran Claudya, membuat gadis remaja itu menangis. Kenangan yang berkubang dalam pikiran Claudya, membuat Claudya menjadi seseorang yang banyak melamun. Kejadian itu sudah 7 tahun yang lalu, sejak kepergian sang ibu yang menyakitkan bagi ia, dan Deandra.
Claudya menatap dirinya di kaca yang bergantung di dinding tepat di depan tempat tidurnya, ia menghapus air matanya. Kemudian ia menyisir rambutnya yang terlihat berantakkan, kini setidaknya penampilan dirinya tak seburuk tadi saat ia menangis. Setelah itu Claudya membuka laci belajarnya, yang tepat di sebelah tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah amplop yang berukuran besar, setelah mengambil amplop tersebut Claudya menutup lemarinya, dan memposisikan dirinya duduk bersila diatas kasur.
Claudya membuka amplop itu, terdapat satu buah tiket keberangkatan menuju London, Inggris. Ia akan ke London bersama Deandra, menemui ibunya yang telah 7 tahun menghilang dari hadapan mereka. Mereka mendapat kabar dari teman ibunya, bahwa ibunya berada di London. Ia menikahi warga negara disana, namun pernikahannya hanya bertahan 3 tahun sampai akhirnya mereka memutuskan bercerai. Deandra baru mendapatkan kabar tentang ibunya 4 bulan yang lalu, ketika ia rapat di kantornya. Ia bertemu teman ibunya semasa masih tinggal di Indonesia, ia mendapatkan informasi ini dari dia. Yang membuat Deandra langsung mengurus tiket keberangkatan ke London untuk dirinya dan Claudya. Sebenci apapun Deandra terhadap ibunya, ia tahu bahwa itu hanya rasa kesal sementara. Wanita paruh baya yang telah menghilang selama 7 tahun ini adalah ibunya, ialah orang yang melahirkan dirinya.
Claudya mengecek semua barang yang harus ia bawa, sebenarnya ia sudah menyiapkan jauh-jauh hari barang apa yang harus ia bawa. Namun ia hanya ingin memastikan tak ada barang yang tertinggal, ia mungkin akan berada di London selama 1 bulan, atau bahkan 2 bulan ia tak tahu pasti. Ia hanya ikut Deandra---kakaknya. Ia akan meninggalkan sekolahnya untuk bertemu ibunya, mungkin Claudya tak akan menemui masalah dengan sekolahnya disini. Ia termasuk murid yang cukup pintar, dan tentu sepertinya kepergian ia ke London dalam jangka waktu yang panjang tak bermasalah untuk sekolahnya.
Setelah urusan mengecek barang selesai, Claudya segera bergegas untuk mandi.
Keberangkatannya ke London tinggal hitungan jam, ia tak tahu harus senang atau apa. Mungkin ucapan ibunya, bahwa ia akan berjumpa lagi perlahan mulai menjadi kenyataan. Tapi sungguh harapan itu memerlukan waktu yang lama sampai menjadi kenyataan, atau hanya akan menjadi sebuah penantian tak berujung. Ia berharap " semoga ucapan itu menjadi kenyataan," Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTUMN
Teen FictionAku jatuh cinta Ketika ranting mengering Dedaunan menguning Serta angin yang datang menerpa. Aku jatuh cinta Pada dinginnya udara, dan desauan angin yang berbadai. Aku jatuh cinta Kepada pemuda yang berada dibangku taman Menatap gugurnya daun yang...