Kesekian Kalinya

50 9 1
                                    

Setelah kejadian beberapa hari yang lalu di halte, aku kembali bertemu dengannya. Ia berdiri di depan toko ice cream menatap papan menu yang tertempel di atas etalase kedai. Aku menepuk pundaknya, membuatnya tersadar, dan menoleh ke belakang---ke arahku.

"Claudya," gumamnya.

"Hai," ucapku tersenyum.

"Apa yang kau lakukan?"  tanyanya.

"Tak ada, aku hanya dari toko buku, dan di tengah jalan aku melihat punggung tegapmu di depan kedai ice cream," ucapku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi beberapa buku.

Ia menatapku untuk sepersekian detik, lalu memalingkan wajahnya kembali ke papan menu. Aku mengerutkan keningku, ketika ia menatapku beberapa detik yang lalu. Sorot matanya lembut, ditambah dengan senyuman kecil. Namun, ada yang terlihat aneh di balik matanya yang berwarna coklat. Di balik sorotan matanya seperti tersimpan kesedihan, yang sebisa mungkin ia tutupi dengan kelembutannya.

"Ada apa?" ucapku menepuk pundaknya.

Ia kembali menolehkan wajahnya ke arahku, aku terkejut ketika melihat wajahnya yang terlalu dekat denganku.

"Ehh---" aku menjauhkan jarakku darinya, dengan mundur beberapa langkah ke belakang.

"Sorry," ucapnya.  

"Tak apa kok," ucapku gugup.

"Oh iya, ada apa? Kau terlihat sedih" tambahku asal berbicara.

Ia terkekeh, lalu menjawab pertanyaanku.

"Dari mana kau tahu aku sedang sedih Claudya?" Tanyanya

"Dari sorot matamu sepertinya."

"Ada apa di balik sorot mataku?" tanyanya

"Sekarang kau terlihat bahagia," ucapku sok tau, mengalihkan pembicaraan.

Ia tesenyum, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, melangkah maju, dan mengusap-usap rambutku. Aku kembali di buatnya terkejut "Ehh----" ucapku.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku menatapnya kesal, aku kesal karena tingkah orang asing yang belum lama ini ku kenal---sungguh menyebalkan.

Ia menyingkirkan tangannya dari kepalaku, dan menatapku dengan datar tanpa ekspresi. "Kau itu sok tau ya, dan sedikit lucu," ucapnya.

Kesekian kalinya aku di buat terkejut, namun kali ini karena ucapannya yang mengomentari diriku. Aku terdiam, dan memikirkannya.
"Memang terkadang aku terlihat sok tau, namun tidak seperti itu maksudnya. Lagi pula ia tak mengenaliku, seenaknya bilang begitu," batinku.

"Bisa jadi," ucapku.

"Kau ingin ice cream?" Tanyanya.

"Tak perlu," ucapku menggelengkan kepala.

"Aku traktir, coklat atau strawberry?" Tanyanya lagi.

"Coklat," ucapku ragu-ragu.

Ia memesan ice cream, dan aku menunggu sembari melihat kedua kaki-ku. Terkadang aku tak mengerti, ini seperti kebiasaan yang sulit di hilangkan. Aku selalu suka melihat ke arah kedua kakiku, entah apa yang sebenarnya sedang ku lakukan. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan.

"Ini," ucapnya menyodorkan ice cream tersebut ke hadapanku.

Aku mengangkat kepala ku, dan mengambil ice cream yang berada di tangannya.

"Terima kasih untuk ice cream-nya," ucapku.

Ia menganggukan kepalanya, dan menjilati ice cream coklatnya.

Kami berjalan berdampingan, meninggalkan kedai tersebut. Daun-daun masih sama seperti kemarin, meninggalkan ranting-ranting, dan terbang bebas bersama angin.

"Bagaimana kau tahu?" ucapnya tanpa menoleh, dan terus melangkah.

"Tahu tentang apa?" Tanyaku memberhentikan langkahku.

"Kesedihan," ucapnya dan memberhentikan langkahnya.

Kini ia berdiri tiga langkah di depanku, dan membalikkan tubuhnya ke arahku. Menunggu jawaban atas pertanyaannya.

"Apa maksudnya?" Tanyaku yang tak mengerti atas pertanyaannya.

"Tentang tebakkan mu di kedai tadi, bagaimana kau tahu?" ucapnya.

"Ohh..."

Aku memikirkan jawaban atas pertanyaannya. "Bagaimana aku bisa berkata bahwa ia sedang sedih?" lamunku.

"Dari sorot matamu, bukankah aku sudah mengatakan sebelumnya?" ucapku

Ia hanya terdiam, dan melanjutkan langkahan kakinya. Aku mengikuti di belakangnya, entah akan kemana langkahnya berujung. Namun, aku tetap mengikutinya. Di sepanjang jalan tak ada yang bersuara, hanya ada suara angin, dan daun yang berterbangan. Membuat rasa bosan melekat dalam diriku, aku memecah keheningan diantara kami.

Ketika aku memikirkan percakapan apa yang harus di bicarakan, kejadian di tamanlah yang langsung terlintas dalam benak ku, aku tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian itu.

"Di saat daun mulai berguguran dari pohonnya, aku mengenalmu. Itu sungguh lucu, sebenarnya aku telah memperhatikanmu. Namun, tiba-tiba kau menghampiriku, dan mengenalkan dirimu dengan ekspresi datar," ucapku memecah suara, aku tertawa ketika mengatakan hal tersebut.

Ia memberhentikan langkahnya kembali, berdiri terpaku tanpa menoleh kebelakang ke arahku.

"Ia akan menikah," ucapnya tiba-tiba mengalihkan pembicaraanku.

Aku terdiam terpaku, memikirkan maksud ucapannya. Beberapa pertanyaan bergerumul dalam pikiranku, aku tak mengerti ucapannya.
"Apa maksudnya? Siapa yang akan menikah?"

"Siapa?" hanya kata itu yang keluar dari mulutku, satu kata yang meminta sebuah penjelasan menyeluruh.

"Naomi," ucapnya.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AUTUMNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang