_N.
Kedua kakiku terayun riang. Menyamai damai angin yang bertiup sejuk. Menyebar harum daun musim kemarau yang berserak manis diatas tanah kering. Ayunan berhenti begiu juga dengan ayunan kaki, kembali bertapak pada ringkih tanah kering yang sejak tadi tak mampu kupijaki karena tengah melayang bebas.
Angin masih menghembus desah sejuknya ketika mataku tertoleh melirik sosok laki-laki di belakang punggungku. Memegang tali ayunan yang tengah kududuki. Dia tersenyum tanpa merespon delikan mataku yang tajam menghujamnya.
"Masih tidak berubah," ucapnya sambil lalu berjalan perlahan mendekati sebuah bangku taman yang memang tersedia disini. Dia mendesah lega seakan baru saja mendapat tempat duduk ternyaman baginya. Sedang aku hanya memutar bola mata malas lalu kembali mengayunkan diri setelah tadi terjeda karena ulahnya.
"Kenapa kesini?"
Dia melihatku sejenak sebelum berpose berpikir yang kuyakin 100% tidak pernah cocok dengan wajahnya yang serius itu. Aku mendengus membuang muka. Sia-sia kalau bertanya hal seperti itu pada lakil-aki kurang kerjaan sepertinya.
"Menurutmu kenapa?"
Nah, itu maksudku. Selalu saja seperti ini. Berputar di tempat. Karena malas menanggapi kuabaikan saja keberadaannya disini. Biarlah dia tahu betapa kesalnya aku saat ini.
Dia juga sepertinya paham betul bagaimana watakku. Dia diam, membiarkan desah angin mengambil alih suasana. Juga derit dahan kayu yang kunaungi sebagai tempat ayunan.
Kilasan kecil melintas begitu saja di otak ketika mataku tertutup rapat. Memejam sejenak sebagai bentuk menghilhami desau lembut angin. Tapi tak pernah kubayangkan akan begini. Menanti dalam ketidakpastian yang hakiki dan menyakitkan.
Aku mendesah perlahan, mengontrol degub sakit di dadaku. Lalu, entah kenapa aku ingin melihatnya lagi dalam radius terdekat yang bisa kutapak. Dia dengan kaos putih polos dan celana denim hitam kesukaanya. Kesukaanku juga tapi tak pernah kusebut. Dia masih sama. Terlihat dewasa dan menawan.
'Panggil saja aku Izal," anak SMP itu memperkenalkan diri di depan kelas. Mempertontonkan deretan giginya yang rapi bersih.
Aku tak begitu tertarik dengan hal seperti yang dilakukan teman-teman perempuanku. Bersorak senang seakan mendapat durian rumtuh. Aku hanya memutar bola mata. Berisik.
Dan perkenalan di hari pertama masuk Sekolah Menengah Pertama itulah awal aku mengenalnya. Faizal Putra. Nama yang selalu kukenang di setiap pijak langkahku.
"Terkenang masa lalu?"
Lirikan singkatku dia dapat sebagai jawaban, dimana mulutku masih tertutup rapat tak ingin mengeluarkan fungsinya. Kubiarkan angin mengambil alih lagi suasana diantara kami. Maksudku aku dan dia. Laki-laki itu.
"Kenapa datang?" Bukan maksud mengusir tapi aku tidak suka terjebak diantara beribu pertanyaan kalau satu pun tidak pernah kudapat jawabannya, "seharusnya jangan kesini."
Sejak pertanyaan pertama terlontar, seharusnya aku paham kalau tidak akan ada jawaban yang kumau. Atau lebih tepatnya tidak akan pernah ada jawaban itu. Karena dia memang seperti itu, selalu mempermainkan aku.
Desahku terlampir hangat dalam genggam sang angin yang mengaung lirih lebat pohon bambu yang bergerak. Seakan beradu bagai simponi indah namun tak bisa kugapai.
"Apa kamu membenciku?"
Selama 9 tahun mengenalnya, tak sekalipun pertanyaan itu kudengar darinya. Seperti sebuah hukum alam yang biasa terjadi pada siapapun, aku tersengat rasa terkejut mendengarnya.
"Jangan mengasumsikan sesuatu hanya dengan satu penglihatan," ujarku membalas tatap mata hitamnya yang kelam. Kutarik sudut-sudut kecil bibirku memberi jawaban tanpa kata, "kita, sudah sama-sama dewasa. Ayo berhenti bermain peran siapa yang salah dan yang harus mengalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenap Rasa(OneShoot).
RandomSetiap langkah mempunyai cerita. Dan inilah cerita dibalik setiap langkahku.