One

40 1 2
                                    

Hiroko menggenggam erat roknya, dia berusaha keras tidak menangis. Di sebelahnya, Ayaka terus terisak di pelukan Ryutaro yang menangis dalam diamnya. Tori juga diam, tapi matanya terus mengeluarkan airmata dan tangannya mengepal keras. Mio juga menangis, sementara Ryosuke berusaha keras tidak ikut menangis. Yuto terisak cukup keras, di dekatnya ada Kaguya yang juga menangis keras seperti Ayaka. Hikaru, Yuri, Kota, Keito, Yuya, dan Kei juga ikut menangis. Mereka semua menangisi semua kejadian yang terpampang di depan mereka, menangisi kepergian sahabat mereka, Daiki. Yang mereka, terutama yang Hiroko sesali adalah kesalahan mereka membuat Daiki meninggal dalam kesedihan. Disini, di rumah duka mereka semua menangis meratapi kebodohan mereka mengabaikan Daiki. Penyesalan yang sia-sia, tidak akan menghidupkan Daiki lagi.

Bunuh diri.

Berita Daiki yang tewas bunuh diri menjadi petir di pagi buta untuk Hiroko dan yang lain. Tidak ada satupun yang mengerti, dan tak ada satupun yang percaya akan kabar itu. Mereka tetap diam di rumah hingga ibu Daiki mengetuk pintu rumah Hiroko dan yang lain, meminta mereka untuk menghadiri upacara pemakaman Daiki. Saat ibu Daiki membacakan surat wasiat Daikilah penyesalan mereka muncul. Surat itu menjelaskan kesedihan Daiki saat semua temannya menjauh, dan ungkapan rasa sayang serta permintaan maaf Daiki untuk yang lain. Tak ayal, Hiroko serta yang lain langsung merasa bersalah. Secara tidak langsung, sikap mereka yang menjadi penyebab Daiki mengakhiri hidupnya seperti ini.

Dan begitulah.

“YAMETE!” Mio menjerit, dia menangis histeris, “Daiki masih hidup! Jangan bakar dia! Daiki belum mati!” Ryosuke dan Hikaru segera menahan Mio yang meronta-ronta ingin menahan proses kremasi jasad Daiki. Ayaka menjerit, dia tidak bisa lagi menahan rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Dua gadis itu menjerit memanggil-manggil Daiki, sementara yang lain semakin keras menangis. Menangisi rasa bersalah mereka. Tori bahkan langsung keluar ruangan, dia menggigit tangannya dan terisak di balik pintu. Hiroko memejamkan mata rapat-rapat, dia terisak keras dan semakin kuat menggenggam roknya. Suasana seperti ini semakin memperbesar rasa bersalahnya membuat Daiki tertekan, membuat Daiki merasa tidak punya alasan lagi untuk bertahan hidup. Hiroko juga sangat ingin menahan agar Daiki tidak dikremasi, tapi kakinya seakan menancap kuat di lantai. Tidak bisa digerakkan sama sekali.

Perlahan Hiroko mengeluarkan surat wasiat Daiki dari saku bajunya, dia menatap tempat untuk mengkremasi jenazah sambil mendekap erat surat itu. ‘Kumohon,’ batin Hiroko, ‘sekali ini saja, beri aku kesempatan untuk melihat Daiki lagi. Aku ingin meminta maaf kepadanya, memberikan semua yang diinginkannya sehingga dia tidak akan mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini.’
*
Hiroko membuka matanya, dia memicing dan mengerang. Hiroko menoleh, dia mengambil jam bekernya yang berdering keras dan mematikannya lalu kembali memejamkan mata. Tumben sekali jam bekernya berbunyi, Hiroko kan tidak pernah lagi menyalakan jam beker sejak dia lulus SMA. Hiroko menguap, dia meregangkan tangannya dan kemudian terpaku melihat seragam SMAnya tergantung rapi di dinding. “Are?” Hiroko beranjak, “kenapa seragam SMAku ada disini?” Hiroko mengambil seragam itu dan melangkah keluar kamar. “Okaa-San,” panggil Hiroko, “kenapa seragam ini ada di kamar?”

Ibu menoleh dari dapur, dia membalas, “Kau ini bagaimana, sih, Hiroko? Kalau seragam itu tidak ada kau mau ke sekolah memakai apa? Jersey?”

Hiroko mengerutkan dahi, dia menoleh dan kaget melihat kalender masih menunjukkan tahun 2016. Hiroko diam sejenak, dia lalu keluar rumah dan melihat keadaan sekitarnya. ‘Matte,’ batin Hiroko, ‘kenapa suasana seperti ini......’

Deg.

Hiroko bergegas berlari ke kamarnya. Dia membuka lemari buku, mencari-cari buku tahunan wisuda angkatannya, dan mencari surat wasiat Daiki yang disimpannya di buku tahunan itu. Hiroko terbelalak mendapati dua benda itu tidak ada, dia lalu mengamati kamarnya. Suasana ini, dia sangat hapal ini adalah suasana kamarnya semasa SMA. Komik yang bertebaran di lantai, poster grup idolanya, dan buku-buku pelajaran yang berserakan di meja.

Ini tidak mungkin.

Hiroko menoleh, dia melihat sebuah buku catatan yang belum pernah dilihatnya. Hiroko mengambil buku berwarna pink itu, dia membaca tulisan yang tertera di sampul buku.
‘Kesempatan hanya datang sekali. Nikmati dan buat kenangan sebanyak mungkin.’

Hiroko tersentak, dia kembali menatap kamarnya. Hiroko kembali, dia kembali ke masa satu tahun lalu. Masa dimana Daiki akan hadir ditengah-tengah dirinya dan semua temannya. Hiroko langsung mandi dan berganti pakaian, dia berlari keluar rumah tanpa sarapan. Hiroko tidak mau melewatkan momen pertemuan pertamanya dengan Daiki, dia tidak mau lagi melewatkan kesempatan bersama Daiki.

Hiroko menjeblak pintu kelas, dia terengah-engah dan melihat 13 sahabatnya sudah ada di kelas. Posisi duduk itu tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Tori selalu duduk di pojok belakang, dia tampak cuek menatap keluar jendela sementara yang lain ribut sendiri. Hiroko menuju bangkunya, dia berkata, “Minna, hari ini akan jadi hari yang penuh dengan kenangan untuk kita.”

“Hah?” Hikaru bingung, “memangnya hari ini ada apa?” “Hari ini Yang Mulia mau datang ke sekolah kita?” tanya Yuto asal. “Atau ada acara bagi-bagi uang?” tanya Yuri.

Hiroko diam, dia sadar kalau mereka jelas tidak mengenal Daiki. “Kau mabuk, ya,” ucap Tori, “sana cuci muka. Tidak ada kenangan berarti hari ini.” “Kenangan apa yang akan dialami anak tingkat akhir seperti kita, Hiroko-Chan?” sambung Ryosuke, “paling-paling kenangan dihukum guru.”

Hiroko duduk di bangkunya yang bersebelahan dengan bangku Ayaka. Dia menoleh, memperhatikan bangku kosong di sebelahnya. Hiroko tersenyum, bangku itu sebentar lagi akan diduduki oleh Daiki, calon sahabatnya. Hiroko menyiapkan buku pelajaran, dia bersemangat mendengar bel berbunyi. Tak lama, Sakurai Sho, wali kelas mereka masuk kelas berbarengan dengan murid-murid lain yang belum masuk kelas. “Hari ini adalah hari yang cerah,” ucapnya membuka pembicaraan, “dan hari ini, kita akan kedatangan teman baru. Arioka-Kun, masuklah.”

Hiroko menoleh kearah pintu, dia melihat Daiki melangkah masuk dan berdiri di sebelah Sakurai Sensei. Hiroko tertegun, dia merasakan jantungnya berdegup kencang melihat wajah Daiki. Sangat damai dan seperti tidak ada tekanan. Perasaan ini juga dia rasakan sebelumnya, dan bodohnya Hiroko memilih mengabaikan perasaan ini. “Daiki Arioka desu,” ucapnya sambil memberi salam, “yoroshiku.”

“Hiroko Fukada desu,” Hiroko langsung membalas memperkenalkan diri, “yoroshiku, Daiki-Chan.”

Krik.

“Nanishiteruno?” Ayaka memukul pelan lengan Hiroko, sementara yang lain menahan tawa. Ada juga yang bersiul menggoda Hiroko. Hiroko jadi salah tingkah, dia menatap malu Daiki yang tampak kaget. Daiki tersenyum, dia membuat Hiroko merasa seperti disiram air segar karena senyuman itu. “Kau duduklah di sebelah Fukada-San,” kata Sakurai Sensei.

Hiroko kembali duduk, dia curi-curi pandang kearah Daiki yang duduk di sebelahnya. Daiki menoleh, dia tersenyum kepada Hiroko. “Yoroshiku,” ucapnya pelan, dia lalu menyiapkan buku pelajaran. Hiroko diam, dia menatap lamat-lamat wajah Daiki. Hiroko tersenyum kecil, dia akhirnya kembali fokus kepada pelajaran.
***

Back In TimeWhere stories live. Discover now