One

40 1 0
                                    


Yogyakarta, tujuh tahun yang lalu.

"Kakak pulang!"

Tampak seorang wanita melepaskan sepatu yang ia kenakan. Pakaian yang menempel di badannya menunjukkan bahwa dia adalah wanita kantoran, bahkan dandanannya saja seperti meneriakkan posisinya di kantor tersebut. Ya, bekerja sebagai seorang sekretaris, dimana dia adalah tangan kanan dari Direktur utama dalam kantor tersebut membuat ia harus terlihat tangguh, keras, dan tegas. Jadilah ia berpakaian elegan—mengenakan blouse berwarna cokelat muda dan berlengan panjang, juga rok selutut berwarna hitam yang tidak terlalu ketat tapi tetap membuatnya nyaman—dan menguncir rambutnya ke atas. Sepasang anting berwarna merah bercampur silver menghiasi telinganya, tak lupa kalung berantai perak dan berbandulkan huruf 'M' yang terbuat dari bahan yang sama menghiasi lehernya yang jenjang.

Namanya adalah Miranda. Miranda Kumala, lebih tepatnya. Ia adalah wanita yang dalam dua tahun pertamanya bekerja langsung diberi kepercayaan untuk menjadi sekretaris pribadi sang Direktur. Sifatnya yang tegas, tidak banyak mengulur waktu dalam mengerjakan suatu hal membuat ia dikagumi sekaligus ditakuti. Sekali bibirnya sudah bergerak untuk menegur salah satu karyawan yang lalai dalam melaksanakan tugas, karyawan itu tidak akan pergi dengan hati yang tidak tersakiti. Perkataan Miranda memang menyakitkan, tapi ia selalu berbicara kenyataan. Kalau seseorang melakukan hal yang salah, maka ia akan mengutarakan kesalahan itu langsung di depan orangnya sendiri. Ia tidak memedulikan pendapat orang lain mengenai sifatnya itu, karena ia yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah benar.

Begitulah Miranda Kumala, seorang sekretaris yang menghidupi tiga adiknya sendirian. Bukan hanya adiknya, dia juga menghidupi orang tuanya yang tinggal jauh di Pontianak. Mereka tinggal berpisah karena Miranda mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih menjanjikan di Yogyakarta, terlebih adik-adiknya bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik di daerah yang terkenal sebagai Kota Pelajar ini. Karena itulah, Miranda berjuang mati-matian untuk menjaga posisinya dan bekerja sebaik mungkin agar kehidupan keluarganya terjamin tanpa ada gangguan keuangan yang berarti.

"Selamat datang, Kak Mirandaaaaa!!"

Satu adiknya muncul dari balik ruang tamu. Dia berlari kecil ke arah Miranda dan langsung memeluk kakak kesayangannya itu. Miranda tersenyum kecil, lalu tangannya bergerak untuk mengusap rambut hitam adiknya.

"Halo, Rafa kecil. Sudah mengerjakan PR?"

Pertanyaan spontannya justru membuat pelukan itu terlepas. Adiknya—yang bernama Rafa—kini memajukan bibirnya, pertanda bahwa ia tidak suka dengan pertanyaan kakaknya tadi.

"Kakak bisa tidak jangan menanyakan PR terus? Rafa bosan mendengarnya!" ucapnya dengan pipi yang menggembung. Niatnya ingin terlihat marah, tapi apa daya jika Miranda justru tertawa karena Rafa justru terlihat lucu sekali.

"Itu cuma alibimu supaya tidak mengerjakan PR, 'kan?" tanya Miranda tepat sasaran. Rafa hampir saja mengakuinya, tapi anak berumur delapan tahun itu masih tetap pada pendiriannya untuk berpura-pura kesal.

"Kakak selalu menuduh Rafa seperti itu. Kakak tidak sayang lagi pada Rafa!" rajuknya seraya memalingkan wajah. Miranda tertawa lagi, hampir saja termakan oleh kebohongan Rafa jika tidak ada adiknya yang lain muncul.

"Jangan mendengar omongannya, Kak! Dia pembohong besar!"

Miranda mengernyitkan dahi. Dia menatap pada adik perempuannya—yang bernama Aulia dan sudah berumur enam belas tahun—yang sedang berjalan cepat ke arah mereka, sementara Rafa membelalakkan matanya horor. Anak itu segera bersembunyi di balik punggung Miranda, membuat Aulia hampir saja berhasil menjewer kupingnya kalau dia tidak bergerak dengan cepat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

.A.K.D. [.Aku.Kamu.Dia.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang