"And I remember everything from when we were the children playing in this fairground."
-Niall Horan, This Town-
Kelabu. Langit senja yang semula berwarna jingga, kini berubah kelabu. Pertanda bahwa sebentar lagi, rinai hujan akan turun membasuh bumi. Dan benar saja. Tak lama berselang, rintik hujan telah jatuh , lantas membasahi apa saja yang bisa diterjangnya. Atap, pohon, jalan. Semua tak luput dari rintik hujan.
Semua jelas terlihat disini. Dari balik jendela. Langit jingga yang berubah kelabu, mendung yang menggantung di angkasa, rintik hujan yang membasuh kota, dan juga satu hal. Satu hal yang selalu hadir di kala sepiku.
Bayang wajahmu, serta kenangan bersamamu.
***
"Eli!" Seseorang memanggilku dari balik pintu pagar. Suara itu. Suara milik -nya. Suaranya yang selalu menggugahku untuk bangkit lantas berlari menghampiri.
"Main yuk!" Teriaknya lagi. Padahal, tinggal hitungan langkah hingga Aku dapat membuka pintu gerbang.
"Ayuk!" seruku riang sambil membuka pintu gerbang.
Ia tersenyum sumringah. Dengan segera, Ia menarik tanganku. Aku berjalan dengan nafas sedikit tersengal demi mengikuti langkahnya. "Kita mau kemana?" tanyaku. "Rahasia." jawabnya dengan senyum misteriusnya.
"Kok Eri gitu sih sama Eli. Eli gak suka," rajukku. Ia tersenyum lagi. Ia selalu tahu tentang diriku, dan apa yang akan Aku lakukan. Sambil terus menatap ke depan, Ia berkata "Jangan gitu dong, Eli. Kan ini namanya rahasia. Nggak seru dong, kalau misalnya udah Eri kasih tahu duluan. Bukan rahasia lagi deh, namanya."
"Iya deh, iya. Eli nggak akan tanya lagi." Aku yang selalu bisa ditenangkan hatinya oleh perkataanya hanya menurut mengikuti sarannya.
"Nah, gitu dong." Ia tersenyum melihat perubahanku. Dan Aku, hanya balas tersenyum padanya. Karena, hanya satu hal itulah yang bisa Aku lakukan ketika melihat senyumnya.
Ia masih terus melangkahkan kakinya. Berjalan lurus, lantas berbelok,berbelok, lalu berbelok lagi. "Kita masih lama nggak sih?" tanyaku yang mulai tak sabaran. "Sebentar lagi kok," jawabnya.
Dan benar saja. Tak lama kemudian, Ia menghentikan langkahnya. Aku pun turut menghentikan langkahku.
"Eli tutup mata dulu ya," pintanya. Aku segera menutup mataku. Ia mengeratkan genggaman tangannya padaku. Ia membawaku melangkahkan kaki lagi. Tak beberapa lama, Ia melemaskan genggamannya. "Sekarang, Eli buka mata ya."
Dengan segera, Aku membuka mataku. "Ini dia, Eli. Markas petualangan untuk kita berdua. Tempat kita untuk merancang strategi, beristirahat, juga tempat untuk menyiapkan perbekalan kita. Untuk petualangan kita. Ekspedisi kita. Tempat ini milik kita, Eli!" jelasnya dengan wajah sumringah. Jarang sekali kulihat dirinya sebahagia ini.
"Ini impian kita sejak lama Eli. Akhirnya, kita bisa mewujudkannya. Kita boleh kesini kapan saja. Kapanpun kita mau. Setiap pulang sekolah kalau kita mau, kita bisa bermain disini. Karena ini, markas milik kita." Lanjutnya. Wajahnya bahagia tak terkira.
"Ini.. benar-benar markas kita, Eri?" tanyaku yang masih belum percaya atas apa yang kulihat di depan mataku. "Iya, Eli. Markas ini milik kita berdua. Tak ada yang boleh masuk kecuali kita berdua," jawabnya.
"Yeay.. Akhirnya kita punya markas untuk semua petualangan kita!" Teriakku heboh. Ia tertawa kecil. "Benar, Eli. Kemarin Eri bermain sampai ke sini, dan menemukan tempat ini. Setelah Eri yakin bahwa tempat ini kosong, Eri langsung berfikir, ini bisa jadi markas untuk Eli sama Eri." Jelasnya. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya.
Dan begitulah siang itu. Kita membersihkan dan menata ulang sebuah rumah bekas yang ditinggalkan oleh penghuninya sekitar 4 tahun yang lalu. Saat Aku dan dia masih belum saling mengenal. Rumah itu sederhana. Amat sangat sederhana malah. Namun, rumah kosong itu cukup untuk sekadar menjadi tempat pelepas lelah kita berdua.
Tak terasa, kami bermain hingga langit berubah menjadi jingga. Tanda bahwa sang surya tengah bersiap untuk kembali ke peristirahatannya. Kami yang sedang sibuk bermain, segera menghentikan permainan kami. Mengingat bahwa apabila kita pulang terlalu sore, orang tua pasti akan mencari kemana kita pergi.
"Eri, udahan yuk. Udah sore. Nanti Ayah-Ibu Eri nyariin Eri." ajakku. "Ya udah. Eli pasti juga udah capek kan? Meski Eri belum capek sih.. hehehe" tawanya kecil. Aku mencubit lengannya. "Ayolah, Eri. Atau Eri mau Eli tinggal disini sendirian," Aku berusaha menakutinya.
"Kan Eri nggak penakut kayak Eli," katanya cengengesan. Bibirku manyun seketika. "Hehehe.. nggak kok. Eri cuman bercanda. Ayo kita pulang," Ia langsung menarik tanganku. Baru beberapa langkah kami meninggalkan markas, langit yang semula jingga berubah menjadi kelabu seketika.
"Ayo Eli! Hampir turun hujan!" teriaknya sambil berlari terbirit-birit. Aku berlari sambil terengah-engah demi membuat langkah kami sejajar. Namun, apa daya. Aku memang tak sekuat dirinya.
Dan seketika.. Hujan turun lebat sekali tanpa ampun. Bertubi-tubi rintiknya datang menghujami. Membasahi atap, pohon, jalan, atau apapun yang bisa diterjangnya.
Eri segera berbalik arah dan langsung menggenggam erat tanganku. "Satu-satunya yang terdekat dari sini cuma markas kita, Eli. Kita berteduh di markas saja," katanya. Aku hanya terdiam mendengar perkataannya. Aku mengikuti arah langkahnya. Dan tak lama kemudian, kita telah kembali ke markas kita.
Langit jingga yang berubah kelabu, mendung yang masih setia menggantung di angkasa, rintik hujan yang membasuh kota, semua terlihat jelas dari balik jendela markas kami.
***
Pemandangan itu sama persis. Pemandangan yang sama, seperti kenangan 10 tahun yang lalu. Langit jingga yang berubah kelabu, rinai hujan yang membasahi kota, semua hadir dalam satu bingkai jendela.
Aku mendesah. Ah, mana mungkin. Sebab yang sepuluh tahun lalu hanyalah kepingan dari salah satu bagian cerita yang bernama "masa lalu". Bagaimana mungkin bisa terulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu
RomanceMereka berkata, "Waktu dapat merubah segalanya." Tapi tidak bagiku. Tak segala hal dapat dirubah oleh waktu. Termasuk perasaanku padamu-