Tiga

2.7K 257 52
                                    

Bosan. Sungguh Rena akui dirinya merasa bosan. Sejak Dafi meninggalkan dirinya empat puluh menit yang lalu sendirian di rumah, Rena tak melakukan hal apapun selain memandang detik jam dinding di ruang tengah sambil sesekali menatap malas ponselnya.

Ini baru sehari, gimana kalau seminggu?

Rena bangkit seraya mengerang frustasi. Wanita itu berjalan ke teras rumah dan duduk di undakan teras. Menunggu Dafi di sini mungkin lebih enak daripada di dalam. Sejenak Rena mengedarkan pandangannya. Halaman rumahnya terkesan monoton hanya dengan tanaman berwarna hijau. Mungkin nanti untuk mengisi waktu kosongnya, ia bisa menghias halaman ini lebih berwarna.

Rena tersentak saat dering ponsel menginterupsi rencananya. Nama Risa terpampang di layar benda pipih tersebut.

"Assalamu'alaikum, Re."

"Wa'alaikumsallam."

"Gimana? Udah enakan badannya?"

"Lumayan, Mbak. Nggak selemes kemarin."

Risa menggeram di seberang sana. "Kamu nih bikin jantungan aja tiba-tiba pingsan kayak gitu."

Rena nyengir. "Sorry ya, Mbak udah ngerepotin."

"Mau dibawain apa nih besok?"

"Maksudnya?"

"Besok aku sama anak-anak keuangan dan HRD mau ke rumah kamu, ya kalau kamu sehat sih."

Tawa kecil Rena meluncur. "Beneran mau dibawain?"

"Ya asal jangan yang aneh-aneh aja. Jangan suruh kita bawa ubi cilembu kayak kamu sakit DB dulu."

Rena mengeraskan tawanya. "Terserah, Mbak. Asal jangan iming-imingi aku sama kopi."

Giliran Risa yang tertawa. "Kasian nih yeee yang nggak boleh minum kopi."

"Bukan nggak boleh juga sih, dikurangin."

"Beda tipis. Eh btw pengajuan cuti kamu udah beres nih. Seminggu kan, ya?"

"Iya. Makasih ya, Mbak. Nggak salah aku punya sohib artis HRD, hahahaha."

"Sembarangan. Ya udah aku lanjut kerja ya, masih jam 9 ini, terlalu pagi buat rumpi di telepon. Assalamu'alaikum."

"Iya, wa'alaikumsallam."

Tepat saat Rena mematikan sambungan teleponnya, Dafi nampak masuk dari gerbang rumah dengan mengendarai motot matic hitam. Rambut pria itu terlihat sedikit berantakan.

"Kok diluar? Kena angin nanti." Dafi berjalan dengan bungkusan kresek di tangannya. "Ayo masuk!"

Rena mendongak, lalu menerima uluran tangan Dafi untuk membantunya berdiri. "Kamu sih lama. Katanya beli di depan komplek?"

"Tadi yang di depan komplek habis, padahal aku udah antri lama banget."

Rena kini duduk di meja makan, dan memperhatikan Dafi yang mengambil sendok dan piring. "Trus kamu beli dimana inu?"

"Di deket kelurahan."

"Dan kamu nggak pakai helm?"

Dafi yang kini turut duduk menatap Rena meminta pengertian. "Ya mana kutahu kalau nemunya di daerah sana."

Senyum kecil Rena terukir. Tangannya bergerak untuk merapikan rambut suaminya. "Lihat rambut kamu berantakan nih. Jangan sampai rambut kamu kayak rambut jagung gara-gara nggak mau pakai helm."

Dafi tak menjawab, kedua tangannya sibuk membuka bungkusan yang tadi ia bawa.

"Nasi kuning?"

Alis Dafi terangkat sombong. "Kamu nggak boleh minta, habisin bubur kamu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Untuk Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang