Chapter 1 - Intro

289 6 0
                                    

Namaku Isabella Stephanie Tyler. Gadis kuliahan yang tinggal di pinggiran kota London. Rambutku sedikit ikal berwarna brunette sepunggung dan aku mempunyai mata berwarna coklat terang. Aku menjalani hari-hariku seperti gadis remaja pada umumnya. Bersekolah, belajar bersama, bergaul, dan tentunya menjalin hubungan dengan seseorang. Setauku kedua orang tuaku sudah lama meninggal, mungkin waktu aku masih baru dilahirkan di dunia ini mereka sudah tiada. Satu-satunya saudaraku di dunia ini hanyalah kakak laki-lakiku, Liam.

Sampai saat ini aku masih tak mengerti kenapa Liam masih bungkam saat kutanya dimana orang tuaku? Jika mereka sudah meninggal dimana makamnya? Bagaimana wajah mereka?. Begitulah, dia hanya memberi satu jawaban yang tak kumengerti artinya yang keluar dari mulutnya. Ia selalu bilang, “Suatu saat kau akan tahu jawabannya dengan caramu sendiri.”. Aku tak paham sama sekali. Tapi aku tidak mau membuat kakakku marah karna aku selalu menanyakan hal itu.

Well, sebenarnya kakakku tak menyetujui hubungan ku dengan kekasihku, Harry Styles. Pemuda tampan berambut keriting yang mempesona. Ia bisa membuat kakiku kesemutan hanya karna dia menatapku terus menerus dengan dimples di kedua pipinya yang terlihat manis sekali jika ia tersenyum. Entahlah, aku tak tahu kenapa kakakku melarangku berhubungan dengannya. Aku sempat berfikir, memang ada sedikit keganjilan pada diri Harry, tapi aku tak yakin kakakku melarangku gara-gara alasan itu.

Aku masih ingat betul awal pertemuanku dengan Harry di perpustakaan pusat kota. Katanya dia sudah menyukaiku sejak pertama kali bertatap muka di tempat itu. Menggelikan. Aku tahu aku juga sangat menyukainya.  Dia menembakku tepat di saat hari ulang tahunnya sendiri, tanggal 1 Februari. Harry bilang jika aku menerimanya itu akan menjadi kado ulang tahun paling special dalam hidupnya. Hubungan kami masih 3 bulan, masih baru. Aku bahagia sekali menjadi cinta pertamanya. Menjadi kekasih pertamanya yang bisa memandangi mata green-hazel indah miliknya setiap saat. Aku pasti tersenyum ketika mengingat itu semua.

Aku mengayuh sepeda miniku lebih cepat dari biasanya. Aku terlambat masuk kuliah. Aku tidur terlalu larut tadi malam karna memikirkan satu hal yang tak kunjung aku dapatkan jawabannya. Akhir-akhir ini aku selalu bangun tengah malam, entah apa yang membuatku berbuat begitu. Di sudut kamarku, aku pasti menemukan sesosok bayangan berwarna hitam saat bangun tengah malam. Bukan hantu, aku tahu itu. Lebih tepatnya sesosok mirip manusia menggunakan jubah berwarna hitam dengan tudung kepala berwarna hitam juga yang menutupi wajahnya. Setelah beberapa detik aku memandanginya, ia pun berubah menjadi asap, asap hitam lalu berubah menjadi angin dan menghilang. Aku tak pernah sempat melihat wajahnya karna setiap aku akan menghampirinya dia selalu menghilang lebih dulu.

“ Hey, tunggu aku! ” sebuah seruan di belakangku cukup mengejutkanku. Aku melihatnya dan ternyata itu Niall, sahabat terbaikku.

“ Cepatlah! Keong pun lebih cepat darimu. Aku sudah terlambat dan kau malah memperlambatku, Niall. “ aku pun berseru keras pada Niall yang berlari-lari kecil menyusulku.

“ Baiklah nona Isabella Stephanie Tyler. “

“ Kau berlebihan. “ aku segera pindah tempat duduk yang semula mengayuh sepeda kini berada di boncengan belakang. Itu sudah menjadi kebiasaan saat aku berangkat sekolah. Niall yang mengayuh sepeda dan aku yang dibonceng. Tidak ada yang salah karna dia hanya menumpang padaku. Harry pun juga tak pernah cemburu jika aku berduaan dengan Niall. Dia tahu jika Niall sudah kuanggap saudaraku sendiri.

Di tengah lamunanku memikirkan jawaban tentang bayangan sesosok bayangan berjubah hitam itu, aku juga sempat mengambil sebuah kesimpulan. Diantara semua teman-temanku di kampus, hanya Harry kekasihku dan Niall yang sedikit berbeda. Entahlah, aku juga tak tahu kenapa aku berfikir sejauh itu. Bukan berbeda mengenai kepandaian dan kekayaan. Namun mereka berdua berbeda karna memiliki kulit berbeda dengan lainnya. Memang mereka berkulit putih, tapi putih pucat seperti mayat. Aku cukup bergidik ketika kesimpulan itu tiba-tiba muncul dalam benakku. Aku pernah memegang wajah Harry dan mengusap tangan Niall, ada yang berbeda, kulit mereka dingin, sangat dingin bagaikan tak pernah mendapat sinar matahari yang hangat.

Aku juga memiliki teman yang cukup aneh. Dia sama sepertiku tidak ada yang berbeda, hanya saja dia laki-laki dan aku perempuan. Dia tak pernah bergaul dengan siapapun di kelas. Namanya Zayn. Tempat duduknya di barisan bangku sebelah kanan dan paling belakang sendiri. Dia tidak idiot apalagi autis. Dia sangat tertutup, aku saja tak pernah berbicara sama sekali dengan dirinya. Jika ada tugas dia juga pasti mengerjakan sendiri meskipun tugas itu harus dikerjakan secara kelompok.

“ Kau sedang memikirkan apa? “ suara sentakan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan itu Harry.

“ Tidak sedang memikirkan apa-apa. “ aku tersenyum padanya. Ia duduk di sampingku. Hawa dingin tiba-tiba menyentuh kulit ariku ketika aku berdekatan dengannya. Memang aneh tapi aku sudah terbiasa dengan itu. Aku menoleh ke arah kerah bajunya yang berwarna putih. Ada sesuatu. “ Itu apa, Harry? “ aku memberanikan diri untuk bertanya.

“ Apa? “ Harry mengikuti arah pergerakan mataku yang tertuju pada kerah bajunya. Ia terkejut dan gugup. “ Ini… ini hanya… “

“ Apa itu darah? “ aku memotong ucapannya. Harry terlonjak mendengar ucapanku. Ia berdiri.

“ Ini hanya bekas saus. Aku tadi sarapan kentucky dan aku membahkan banyak saus tomat. Mungkin karna terlalu banyak jadi melumer ke bajuku. Ya, seperti itulah kejadiannya. “ Harry masih menatapku yang mulai curiga, ada segurat ketakutan di wajahnya.

“ Oh, begitu. Baiklah. “ Aku mempercayainya walaupun aku masih tidak yakin. Itu jelas bukan saus tomat. Warnanya berbeda, lebih tajam dan pekat. Aku yakin itu darah. Tapi untuk apa dia makan darah? Dia manusia sama sepertiku, manamungkin dia mengkonsumsi darah sebagai asupan makanannya.

Aku pulang tanpa ditemani Niall. Sepertinya ia sedang sibuk dengan tugasnya sebagai ketua panitia sebuah acara di kampus. Aku membuka pintu rumah dan menemukan kakakku yang sudah berdiri, melipat tangannya.

“ Kenapa kau masih berhubungan dengannya? “ Liam sedikit membentakku. Nada bicaranya sedikit naik.

“ Kenapa kau selalu melarangku untuk dekat dengan kekasihku sendiri, kak? Dia baik, dia tidak pernah membuatku menangis apalagi mengecewakanku. “ aku berontak dengan larangan kakakku.

“ Kau masih anak kemarin sore. Kau tak mengerti apa-apa adikku. Suatu saat kau harus mengemban tugas yang sangat berat. Jangan sia-siakan hidupmu untuk bersamanya. Dia berbeda.Sudahlah, kau ini selalu keras kepala. Aku ini kakakmu dan aku pasti tahu apa yang terbaik bagimu. Lebih baik kau berpacaran dengan Zayn saja daripada bersama Harry. “ itulah jawaban kakakku, selau seperti itu.

“ Aku tak pernah berkomunikasi dengan Zayn. Kau tahu dia tidak pernah bersosialisai. Dia seperti anak idiot yang selalu menyendiri dan tak punya teman. “ aku lalu berlari menuju kamarku meniggalkan kakakku yang masih berdiri seperti tadi. Kudengar dia hanya mendesah panjang. Aku langsung tidur tanpa mengganti bajuku terlebih dahulu. Hari ini aku sangat lelah. Sekitar 4 jam aku tidur lalu aku bangun dan mendapati malam sudah menggantikan siang. Aku lapar. Tak banyak makanan yang kutemukan di dapur, hanya 1 buah apel yang masih segar dan itu tidak membuatku kenyang. Aku tak menemukan kakakku dimanapun. Lama aku menunggunya sampai akhirnya aku memutuskan untuk menyusulnya. Mungkin ia sedang keluar untuk membeli sesuatu.

The Vampire's BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang