Part 1

77.6K 1.6K 96
                                    

Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar permintaan Mama. Namaku Ave, 20 tahun, anak pertama dari tiga bersaudara. Aku bukanlah anak dari kalangan orang kaya dengan rumah bertingkat. Papa hanya bekerja melanjutkan usaha yang sebelumnya dijalankan Eyang sementara Mama sebagai ibu rumah tangga.

"KAK AVE!" panggil Mama tegas membuyarkan lamunan.

Ya Tuhan, aku pulang ke Surabaya untuk liburan dari rutinitas kuliah dan ingin istirahat tetapi Mama bersikeras memintaku mengantar ke rumah Eyang. Aku akan sangat bersedia kalau itu ke rumah Eyang di sini, tetapi masalahnya Mama meminta ke rumah Eyang di Malang. Satu hal yang pasti di sana nanti akan ada acara keluarga yang membosankan. Aku malas jika nanti mendengarkan keluarga lain yang memuji ketampananku. Gerrr, aku sodah bosan dibilang tampan.

"Ayolah, Ma! Kenapa gak sama Papa aja?" tanyaku mencoba menawar karena setahuku Mama selalu pergi dikawal Papa.

"Papamu lagi ada janji sama customer dan gak bisa ditinggal. Mama juga jarang-jarang kan minta tolong sama kamu, Kak!"

"Ave kan capek, Ma! Baru juga tadi siang sampai masa iya mesti ke Malang. Lagian kenapa gak bawa mobil sendiri aja?" tolakku dan mencoba memberi solusi. Sejauh ini Mama bisa membawa mobil sekedar ke Supermarket jika Papa tidak ada rumah. Jadi kurasa pertanyaanku masuk akal.

Mama berdecak kesal, "Sejak kapan Papa ngasih ijin kalau Mama pergi jauh sendiri sih?"

Ah iya, selama ini Papa memang over protektif ke Mama.

Baiklah, cari solusi lain.

"Ya udah kalau gitu minta Ken aja, dia kan udah punya SIM!" ujarku lagi. Kurasa Adikku Ken sudah mampu jika hanya mengantar Mama sampai ke Malang.

"Adikmu itu kan lusa ujian, ya harus belajar Kak. Jadi kamu mau gak nemenin Mama? Masa iya Mama mesti minta Papa yang ngomong sama kamu?"

Aku sadar kalimat Mama yang terakhir bukanlah tawaran atau pun solusi melainkam ancaman. Telingaku bisa berasap jika sampai Papa turun tangan. Beliau pasti akan menceramahiku dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, saat aku mengatakan ya barulah semua itu akan berakhir.

Aku menyerah dan Mama yang menang kali ini.

"Ya udah lah, Ma! Daripada Ave mesti dengerin ceramah Papa," ujarku pada akhirnya. Mama tersenyum puas atas keputusanku.

"Maaaaaa," sebuah suara igauan menginterupsi pembicaraan kami.

Si kecil Caca muncul dengan mata setengah terpejam dan tangan memeluk guling berjalan ke arah kami. Dia adalah adikku yang berusia 12 tahun dibawahku. Terkadang aku tidak habis pikir bagaimana Mama masih bisa mengandung di umur kepala empat. Yeah, mungkin saja Mama dan Papa memang bekerja keras untuk mendapatkan Caca. Entahlah!

"Kenapa Sayang?" tanya Mama begitu Caca sudah memeluk Beliau.

"Caca kebangun terus gak bisa tidur lagi, Mama sama Papa temenin Caca ya?" rengeknya.

"Anak manja!" ujarku spontan. Aku memang paling suka mengganggu Caca, karena setiap keusilanku pasti dia akan merengek kepada Mama ataupun Papa. Tentu saja yang membuatku senang adalah melihat pipi menggembungnya seperti saat ini.

Caca menjauhkan badannya dari Mama dan menyipitkan mata untuk memandangku. "Itu Kak Ave ya, Ma? Kapan Kak Ave pulangnya?" tanyanya dengan tangan terulur menunjukku.

"Tadi siang, cuma Kakakknya langsung tidur. Udah Caca tidur lagi katanya mau Mama temenin, yuk?" Mama mencoba menurunkan Caca dari pangkuan untuk berdiri.

"Caca mau tidur sama Kak Ave!" tolak Caca dan langsung menghambur kepadaku.

Ah, dasar bocah! Dahulu Caca memang cukup dekat denganku karena dia sering merengek untuk ditemani tidur. Mama dan Papa mengajarkannya untuk tidur sendiri tetapi yang ada Caca pasti menyusup ke kamarku dan membuat geger di pagi hari karena hilang dari kamarnya. Alangkah baiknya aku sebagai Kakak.

Calon ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang