Nada yang keluar dari mulutnya sangatlah menjijikkan, hingga kini rasanya aku bisa saja memuntahkan isi perutku dihadapannya langsung.
"Tenang saja, aku hanya bercanda. Kau ini terlalu serius, Harry..."
"Jangan sebut namaku dari mulutmu yang kotor itu." ketusku dengan tidak sudi.
Ia tertawa, aku mengacuhkannya.
"Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan, ORANG GILA?!?!" teriakku penuh penekanan.
Aku mengepalkan tanganku sekuat tenaga dan menghentakkan kakiku, maju mendekati Zayn.
Tiba-tiba aku merasa seseorang menahan kedua lenganku dengan teramat kuat.
Aku berbalik dan mendapati Liam mencekal kedua lenganku. "Apa-apaan kau, Liam?! Aku akan membunuhnya!"
"Maafkan aku, Harry.." gumamnya membuatku mengerutkan keningku.
"Katakan sebelum aku mengamuk, Liam.." timpalku, melepaskan cengkramannya dari lenganku.
"Aku mencintai Heinh sejak ia masih bersahabat denganmu." ucapannya berhasil membuatku terbelalak.
"Tiga bulan yang lalu, aku membuat perjanjian dengan Zayn untuk menyingkirkanmu agar aku mendapatkannya. Aku tak berpikir ia akan bertindak sejauh i--"
"Cukup, Payne. Tak ada gunanya kau berdongeng panjang lebar dengannya, sebentar lagi ia akan mati." ucapnya diiringi tawaan iblis.
"Sekarang apa maumu?" Tanyaku terkulai lemas memandang cinta pertama dan terakhirku.
"Aku ingin melihat kau membunuh Heinh sekarang, atau aku yang akan membunuhnya langsung." Ia melemparkan sebuah pistol kepadaku.
Liam menendang kakiku hingga jatuh berpapasan dengan aspal. Dengan berat hati, aku meraih pistol tersebut dari aspal.
Amarahku mengkoar-koar didalamku. Lebih baik aku mati daripada Heinh yang mati! Dia tak bersalah sama sekali!
Ini salahku, hingga ia akhirnya tersangkut dan mengancam nyawanya. Kalau begini, upayaku melindunginya sejak lama tak lagi ada gunanya. Dasar bodoh!
"Tidak, aku tak bisa membunuhnya. Kau tahu sendiri, Zayn!" teriakku frustasi. Ia menatapku dan mengembangkan senyumnya.
"Yah.. Sayang sekali... Kalau begitu, aku saja yang membunuhnya langsung." Kulihat Zayn mengambil pisau lipat dari saku celananya.
Dengan segera aku berdeham, memberikan kode baginya untuk mendengarkan ucapanku dahulu.
"Tak adakah pilihan lain selain itu?" tanyaku kepada Zayn dengan berhati-hati. Aku tak ingin kulit mulusnya setitik saja tersentuh oleh pisau Zayn.
Ia tampak seperti sedang berpikir. "Jikalau saja Heinh yang bisa membunuhmu, ia tak perlu kehilangan nyawa. Heinh akan kujamin sampai dirumah dengan selamat dan bahagia dengan kekasih barunya. Tapi sayangnya, Heinh sudah seperti mayat hidup."
Tidakkah ada cara lain untuk menyelamatkan nyawanya dan nyawaku?
Aku sangat mencintainya. Aku tak bisa kehilangannya. Tapi, aku ingin melanjutkan hidupku dengannya. Berkeluarga dengan Heinh adalah tujuan hidupku kini. Sayangnya, aku harus memilih satu. Hidupku atau hidupnya.
Tentu saja jikalau aku menembak Zayn dari sini, Liam akan segera membunuhku dan Zayn pun takkan berpikir dua kali untuk menusuk tenggorokan Heinh dengan pisau lipat.
Setelah memutuskan, aku melangkahkan kakiku perlahan, menuju sosok yang sangat kucintai, kusayangi, dan kuidamkan. Setelah aku dan Heinh berhadapan, aku sedikit menunduk sehingga tinggi tubuhku setara dengannya.
"Heinh, tolong bunuh aku." Aku tahu, ini adalah keputusan yang terbaik. Jika aku melakukan ini, Heinh dapat hidup seperti biasa lagi, melanjutkan aktivitas seperti semula.
Walaupun ia takkan menikah denganku pada akhirnya, kuharap dia menemukan orang yang lebih pantas dari padaku.
Yah, orang tak becus ini memanglah sangat tak pantas untuk menjadi calon suaminya kelak.
Heinh mengambil pistol itu dan berpikir sejenak sambil menatap mataku. Ia memang tak berbicara, tapi ada sebuah penolakkan disana.
"Heinh... Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Sangat." bisikku dengan merintih.
Aku menyunggingkan senyum dengan sangat berat lalu menepuk kedua pundaknya pelan.
"Aku memang telah menjadi benteng pertahananmu sejak lama, tapi semua itu tak ada apa-apanya. Bahkan aku selalu membuatmu menangis dan kecewa. Haha... 'Sahabat' macam apa aku ini. Maafkan 'sahabatmu' ini, ya,," Aku tertawa hambar.
"Mungkin kau belum tahu, tapi dimataku kau begitu berharga, kau bagaikan emas bernilai seluruh jiwa ragaku. Jadi, biarkan sekali lagi, aku berkorban untukmu." Aku membelai pipinya lembut.
"Bunuhlah aku, sayang..." lanjutku dengan penekanan di akhir kalimat.
Aku mencium puncak kepalanya sekali lagi. Aku tahu ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagiku untuk menciumnya.
Ia sedari tadi tak berkutik, hanya air matanya saja yang mengalir dengan deras. Ia menatapku nanar.
"Aku tahu kau masih ingin hidup, bukan? Maka, binasakan si penghancur kehidupanmu ini. Tenang saja, aku rela kehilangan nyawaku demi kebahagiaanmu." ujarku lagi, meyakinkannya.
Pun, aku meraih tangannya yang mungil dan dingin seperti es dan membukanya perlahan. Kemudian aku menaruh pistol pada genggamannya serta mengarahkannya ke pelipisku.
Ujung pistol yang tertempel pada pelipisku terasa sangat dingin dan menyakitkan walau pelatuknya belum di tembakkan. Menyakitkan, karena pujaan hatiku sendiri yang-cepat atau lambat-akan menembaknya padaku.
"Cepat tarik pelatuknya, Heinh. Kalian lama sekali." Zayn mendecak sebal.
"Habis ini aku bebaskan kamu dan takkan pernah kuusik lagi hidupmu.
Karena...urusanku disini akan selesai ketika Harry mati. Ya, kau kuculik pun karena salah Harry.""Sejujurnya kau perlu berterimakasih padaku karena aku telah mencarikan pengganti Harry bagimu. Lalu apa yang kau tunggu-tunggu lagi?"
Aku hanya bergeming dan menghitung tiap detik akhir hayatku sambil terus berdoa agar setelah ini, Heinh benar-benar akan dilepaskan dan hidup seperti biasa. Aku tak berharap ia memaafkanku. Orang seperti diriku memang tak pantas mendapatkan pengampunan. "Heinh, dengarkan Zayn! Semua salahku! Bunuh aku, kum0--"
Detik selanjutnya aku dapat merasakan peluru yang menembus pelipisku. Begitu menyakitkan, tapi juga melegakan karena berarti hidupku telah berakhir, cintaku yang penuh pengorbanan bagi Heinh telah berakhir.
Ya, sumber kekecewaan dan kepiluan Heinh juga telah berakhir. Aku tersenyum dan menatap mata biru lautnya hingga otakku tak lagi berjalan.
Aku hanya dapat melihatnya menatapku balik dengan pandangan kosong. Tapi, di pupilnya jelas ia menggambarkan sirat menyesal dan kecewa. Air matanya yang berharga, bercucuran tanpa henti.
"Har, kau menyebalkan. Aku mencintaimu. Tapi, ibuku masih membutuhkanku. Maafkan aku." Akhirnya ia membuka mulutnya.
Walaupun terdengar seperti desiran, tapi aku senang dapat mendengar suara lembutnya di akhir hayatku.
Sayang sekali, kini aku sudah tak sanggup menggerakkan tanganku hanya untuk menghapus air matanya saja.
Semua ini terasa sangat singkat. Tubuhku tak perlu lama serasa lenyap, dan semuanya gelap. Inilah pengorbanan terakhirku untukmu, Heinh Eve Stadd.
THE END
+++
A/N :
Bab. 1 tentang Harry selesai.
Habis ini mau cerita tentang siapa?
Request disini.Thank you for the votes, comments and shares ;)Xx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Short Stories™ // 1D
Roman d'amourThis book will contains with One Direction's members (Harry, Louis, Niall, and Liam) love story. It tells each members love story. Read to enjoy, not to hate! :) Janx Copyright © 2016 littxhazza LittXHazza 's Fanfic Story on Wattpad. Read, Vote(s...