One

22.9K 291 5
                                    

November, 15th

A lovely morning in London, 16°C

Memasuki musim dingin, Kota London masih cukup bersahabat jika ingin berjalan-jalan di luar atau jaman. Sisa-sisa daun kering dan ranting saat musim gugur masih terlihat. Hyde Park, taman Kota terbesar di London dengan luas 1,4 km, mulai padat dengan penduduk Kota London yang mengenakan mantel, sarung tangan, dan syal. ya, walaupun sedikit menggigil, penduduk Kota London tetap menjalankan rutinitasnya setiap hari.

       Sementara itu, di pinggiran Kota London, di sebuah rumah sederhana bergaya victorian-layaknya kebanyakan tipe rumah di Inggris, seorang cewek masih nampak mengantuk. Penglihatannya masih samar. Matanya mulai menjelajah' kamar bernuansa eropa dengan dominasi warna putih dan cokelat tersebut. Khas kamar cewek.

       Hoammmmmm...

       Kedua kaki mulusnya diturunkan ke lantai. Sambil berjalan gontai, disambarnya handuk berwarna putih dari gantungan yang menempel di dinding kamar. Tangan kanannya mulai mencari cd lagu untuk diputarnya di cd player di atas meja belajar miliknya yang terbuat dari kayu mahogany dengan gaya khas furniture Eropa. Mulailah suara merdu melantun dari putaran cd tersebut.

       Ia berjalan ke arah kamar mandi berukuran 2 × 2 meter². Disamparkan handuk di gantungan. Sekarang, ia sudah berdiri tepat di bawah shower.

       "Aku... yang tak bisa melepaskan

        Kamu yang memiliki hatiku..."

       Caramel bernyanyi mengikuti lagu. Ya, walaupun tidak terlalu bagus, yang penting happy. Paling nggak, cuma suara air dari shower yang berisik, terkesan memprotes dirinya.

       Begitulah Caramel, cewek mandiri dengan hobi mendengarkan lagu yang sama ketika memulai hari.

       Kepergiannya ke London untuk urusan kuliah. bukanlah sebuah usaha yang ringan. Ini kota impian yang selalu ia impikan sejak kecil. Imajinasi yang muncul ketika ia menerima hadiah dari ayahnya, kartu pos bergambar Big Ben, sebuah menara jam yang terletak di Istana Westminster, London, Britania Raya.

       Walaupun Caramel berhasil mewujudkannya menjadi mahasiswi di London, ia juga berat meninggalkan ibunya sendiri di Jakarta yang bestatus single parent sejak ayah Caramel meninggal. Kalau kangen, paling cuma bisa telepon-teleponan, nangis-nangisan bareng, bahkan ribut. Begitulah cara mereka mereka mewujudkan bentuk kangen.

       Di London pun. Caramel juga mengambil part time job disebuah kafe Pizza di tengah kota, sebagai usaha untuk meringankan biaya hidup yang tinggi. Meskipun demikian, Caramel tetap fokus pada kuliahnya. Ia sangat giat belajar. Targetnya, menjadi lulusan terbaik di angkatannya.

       Tubuhnya mulai terasa bugar dan segar. Matanya sudah tidak lagi seperti saat bangun. Caramel sudah mengenakan T-shirt berwarna putih dan short pants.

       Ting tong... ting tong...

       Caramel segera mematikan cd player yang masih memutar lagu kesukaannya. Ia bergegas membuka pintu. Nampak seorang cowok paruh baya yang memakai jaket oranye dengan bawahan celana hitam, berdiri di hadapannya sambil tersenyum ramah. Rambutnya pirang, bermata biru, berkacamata, dengan perut yang agak buncit.

       Caramel membalas senyuman tukang pos tersebut.

       "Good morning. Miss Caramel Nuu--groww--hooo...?" Tukang pos itu sepertinya agak kesulitan mengeja nama Jawa di belakang nama Caramel.

       Caramel mengangguk sambil tersenyum geli.

       Tukang pos lalu menyerahkan sebuah paket yang disertai dengan tanda terimanya.

       "Sign here please..."

       Caramel menandatangani tanda terima dan mengembalikannya ke tukang pos.

       "Thank you..." ujar Caramel.

       Si tukang pos kemudian meninggalkan Caramel yang kebingungan dengan paket yang ia terima. Ia lalu membalik bungkus paket dan di belakang dengan jelas tertulis:

       From Mama

       yang disertai dengan alamat rumah mereka di Jakarta. Caramel menarik napas.

       "Oh, dari Mama...," desahnya pelan.

       Tetapi, pada saat ia akan melangkah masuk kembali, mendadak matanya melihat sesuatu yang tergeletak rapi di bawahnya, tepat di depan pintu masuk rumah. Sebuket bunga mawar merah.

       Caramel mengernyitkan dahi, berpikir keras, siapa yang sudah mengirimkan ini? Apakah si tukang pos tadi atau....hmmmm, orang lain?

       Matanya menjelajah sekitar, mencari sosok si tukang pos, berharap kalau ia belum terlalu jauh. Tapi sepertinya, ia sudah tidak ada. Tak berpikir lama, Caramel segera mengambil buket bunga tersebut. Matanya mencari suatu petunjuk yang biasanya terselip di antara sela-sela bunga.

       Dear Caramel, from Bima.

       Caramel hanya tersenyum kecil membaca tulisan yang tertera di sebuah kartu kecil yang ia dapati di sela-sela bunga. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak lagi penasaran siapa pengirim misterius itu.

                                         ***

LONDON LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang