LONDON LOVE STORY

Two

Sambil berjalan, Caramel menerima telepon dari ibunya.

       "Ma, kan aku udah bilang, nggak usah deh pake kirim surat-surat itu ke sini! Percuma juga, sih. Aku juga nggak bakal baca!" sahut Caramel di ujung telepon kepada ibunya. Lehernya masih dihiasi headset bernuansa pink yang masih terhubung dengan discman yang tersimpan di celana jeans.

       "Paling nggak, kamu baca dulu suratnya. Kamu nggak mau bales, ya nggak apa-apa. Lagipula, kalo Mama mau kembalikan semua surat ini, nggak ada alamatnya juga. Udahlah Caramel, udah setahun berlalu. Justru kalau kamu bersikap seperti ini, Mama yakin surat-surat ini nggak akan berhenti datang! Dan satu hal lagi, kenapa kamu nggak mau terima telepon dari dia? Kalo kamu terima, kamu kan bisa tahu masalahnya? Sang bunda tak kalah kesal dengan ucapan sang anak.

       "Please deh Ma, baca suratnya aja aku nggak mau, apalagi terima telepon dia. Aku udah lupain semuanya! Aku nggak mau lagi berurusan sama dia. Percuma Mama kirim semua surat itu jauh-jauh ke sini, kalo cuma buat aku buang atau aku bakar!"

       Di Jakarta, di rumah mereka yang tidak terlalu mewah namun rapi dan apik, ibunya hanya bisa menahan sabar mendengar jawaban Caramel.

       "ya udah Ma, aku udah mau sampe halte bus, nih. Aku kerja dulu ya, entar aku telepon lagi," ujar Caramel.

       "Tunggu. Kamu kapan mulai kuliah?" sang bunda tiba-tiba menahan niat Caramel untuk memutuskan hubungan telepon.

       "Bulan depan, Ma," jawab Caramel singkat.

       "Cuti kuliah berikutnya kamu harus pulang ke Jakarta. ya udah, take care, Sayang."

       "Iya Ma. Love you," tandas Caramel walau terkesan tidak tulus karena masih sebal dengan sikap sang bunda.

       Setelah telepon di-disconnect, tak lama Caramel sudah berdiri di sebuah bus stop. Dan sesaat kemudian sebuah bis tingkat khas London yang berwarna merah menyala datang dan pergi membawa serta Caramel dengan kekesalannya.

                                        ***