Ketika mengatakan hal ini, meskipun aku akan dilihat seperti pria yang membosankan, tapi aku benar-benar tidak tertarik dengan itu. Masih ada terlalu banyak hal yang harus dicapai, tidak ada waktu untuk itu ah.
Yang paling utama, aku harus hidup layaknya seorang manusia. Kemudian dengan cara ini, aku dapat berperan dengan baik dalam karakterku yang lain.
Untungnya, agensi tempatku bernaung setuju dengan jalur pikiranku itu. Mereka tidak pernah menganggapku sebagai robot, sebuah mesin pencetak uang.
Direktur mengerti bahwa ia perlu memperlakukanku seperti manusia dan pertumbuhanku akan datang seiring dengan perkembangan kemampuanku. Mengatakannya seperti ini, rasanya seperti membanggakan diri lagi, aku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku.
Sungguh, aku tak berani percaya bahwa aku aku seberuntung ini. Bagaimana pun, hal ini juga dilengkapi dengan alasan.
Jika aku berada dalam kondisi yang menguntungkan, jika seandainya Tuhan itu benar ada, dan Tuhan berkata “Di dalam lagumu, aktingmu, perilakumu, ada kekuatan di sana. Kekuatan ini dapat menolong banyak orang, kau harus menghargai dan manfaatkan kekuatan itu. Kau harus terus selalu maju ke depan”.
Di mataku, aku melihat Tuhan yang seperti ini, yaitu direktur agensiku (tertawa). Beginilah, orang ini dengan hanya berdiri di sana, bagaikan Dewi Belas kasihan yang bersinar-sinar, sungguh ajaib. Aku yakin ada kekuatan besar yang merasuki aku, keluarga, dan agensiku.
Karenanya, aku harus terus melanjutkannya tanpa lelah.
Cukup seperti ini, sangat mudah, keluargaku dan aku, tinggal bersama setiap hari, amat sangat menyayangi keluarganya. Juga, keluarga selain keluargaku yang sebenarnya, semuanya berkencan dengan orang yang mereka cintai. Keluar bersama, bercanda dan setelahnya, keluarga seperti ini akan terus meluas.
Aku bukanlah orang yang lugu, namun aku juga bukanlah orang yang berpura-pura menjadi baik. Berpegang pada kepercayaan itu, ini adalah hal-hal yang harus kulakukan sebagai seorang manusia. Aku harus mencintai seseorang dari lubuk hatiku yang terdalam, karenanya aku perlu memiliki kemampuan dengan kata lain untuk mencintai orang yang aku cintai. Bagaimana pun, aku selalu ingin bertemu dengan yang lain.
Selama pertemuan dengan orang lain, itu tak semudah air yang mengalir begitu saja, aku juga perlu memberikan salam yang sesuai. Setelah salam, secara pribadi aku akan mengkonfirmasi keberadaan orang ini, ingin mengenang saat itu.
Di masa remaja, aku terkadang merasa hal ini adalah hal yang selalu memalukan. Bahkan pernah sampai ke satu masa, orang baik itu seperti orang bodoh.
Saat kanak-kanak, sesuai dengan apa yang dikatakan para orang dewasa, aku memperlakukan orang-orang dengan sopan. Sekarang, aku perlahan mulai dan terkagum-kagum memahami makna yang sebenarnya di balik hal tersebut. Itu artinya, aku mungkin tak dapat bertemu dengan orang itu lagi di masa depan kan?
Ketika bekerja seperti saat ini, merupakan hal yang wajar mendengar kata-kata seperti ini. Terlalu banyak kebanggan. Hal ini juga bukanlah hal yang bagus. Ada juga banyak kata-kata yang menyedihkan. Orang-orang yang hanya kutemui sekali, bila ada sesuatu yang menyedihkan, aku pastinya akan merasa ikut sedih.
Bagi sebagian orang, hal-hal seperti ini adalah suatu hal yang sama sekali tak berguna. Membuang-buang emosi, adalah sia-sia mempedulikan banyak hak yang tidak signifikan.
Aku perlu melindungi beberapa orang, (sesungguhnya) aku tak pandai menjalin persahabatan yang santai dengan terlalu banyak orang. Namun, lebih tepatnya karena memiliki orang yang kusayangi di dalam hatiku, maka kemudian aku mampu berempati dengan orang lain.
Sungguh ini benar, aku tak tahu sejak kapan, perasaanku yang sesungguhnya kucurahkan melalui aktingku. Hal ini juga meniupkan napas kehidupan dalam karakterku.
Lagu-lagu telah menjadi sesuatu yang sangat berharga bagiku, aku sudah menjadi satu dengan karakter yang ku perankan, dua hal yang sama, tapi perasaan yang ada sangat berbeda. Sebagian kecil dari diriku ada di dalam keduanya, inilah persamaan keduanya.
Untuk lagu, mereka berbentuk fisik, mirip seperti kondisi yang direfleksikan. Ketika aku bernyanyi, aku seolah menjadi alat musik, melalui periode masa yang sama.
Akting adalah suatu hal yang berbeda. Saat menyisipkan emosi ke dalam kata-kata, ada sejumlah usaha yang dikeluarkan, baik itu banyak atau pun sedikit, mungkin lebih baik dikatakan bahwa aku harus menjadi sebuah cangkang kosong.
Aku menjadi pribadi yang berbeda, sungguh ini benar-benar bukan diriku. Meskipun demikian, orang ini menguasai tubuhku, suaranya menggunakan tubuhku untuk bertindak.
Perasaan yang seperti ini. Namun, dalam hal ini, masih ada sebagian jiwaku di dalamnya
Aku sangat menyukai sapaan yang dipenuhi kepolosan. Senyummu, tak peduli siapa, mereka akan mampu menerimanya. Banyak orang yang bilang bahwa kepolosanmu mulai memudar. Namun, kupikir tidak begitu. Di balik senyum itu, bila tak ada seseorang di sana, senyum itu tak akan bersinar cerah.
Setelah bertemu banyak orang, perlahan-lahan aku mulai memahami alasannya. Menceritakan kebohongan di hadapanku, berbicara sebaliknya di belakangku. Makna sebenarnya dari hal ini, aku mulai mengerti.
Ini bukanlah kekuatan super, ini semua tentang jumlah. Dibandingkan dengan orang-orang seusiaku, aku sudah menemui terlalu banyak orang. Setelah itu, semakin banyak kebohongan yang ku tahu, aku tak akan pernah berubah menjadi cangkang kosong.
Sebaliknya, orang-orang yang kusuka, aku menyukai mereka lebih dan lebih. Pada saat yang sama, aku mengerti senyummu itu adalah nyata.
Terutama saat senyum ini muncul ketika saling berhadapan. Walau menjadi seperti ini, aku juga berharap melihat momen seperti itu.