Moeslimah Story

2.2K 48 17
                                    

"Namanya teh kalau gak salah Idan. Parasnya, subhanallah... Ganteng pisan... Tinngi dan berkulit macho. Beraura kuat, berkharisma, keliatannya bijaksana dan yang paling penting, dia sudah khatam Qur'an. Siapa yang gak bakalan terpesona coba?"

Aku dan para penghuni Kobong (kamar) Humaira tersenyum geli melihat Izzi dan Intan yang begitu bersemangat menceritakan pengalaman mereka saat piket pagi dirumah Abah Kosasih, guru besar kami. Izzi dan Intan beserta beberapa santriwati yang juga piket pagi itu ketiban rezeki bisa melihat sang keponakan Abah yang bikin geger sepesantren itu.

Aku sendiri belum pernah melihatnya. Tapi saat mendengar cerita Izzi, aku jadi penasaran. Kayak apa ya orangnya?

"Lebay banget. Emang kamu teh tahu aura kuat kayak gimana?" Tanya Gina sambil menjulurkan lidah.

"Eh, ya Aura kuat mah ya terasa gitu. Bikin berdebar-debar," Jawab Intan bersemangat.

"Kok bisa ngeliat, sih?" Tanyaku heran. "Bukannya kalian piket nyuci baju ya dibelakang? Gak mungkin kan Kang Jiddan itu pergi ke tempat cuci. Buat apa coba?"

Izzi dan Intan tersenyum genit. Ish... Kami langsung menyoraki mereka.

"Dasar tukang ngintip!" Jihan melempar kerudungnya, " Bintitan baru tahu rasa kalian!"

"Yeee... Bilang aja sirik gak bisa liat pangeran. Ya, kan? Huuu... Anda semua belum beruntung, nona-nona. Ya, kan, Zi?"

Izzi mengangguk setuju, "Pokoknya, cowok itu ganteeeeng... banget! Bersinar, bercahaya!"

"Silau, dong, ye?" Cibir Dinda "Kalau ketemu nanti, kita harus pakai kacamata, dong, biar mata gak sakit?"

Kami semua tertawa. Aku yakin, kobong yang lain pasti ngomongin perihal cowok bernama Iddan juga. Bukannya apa-apa, tapi para santriwati disini menganggap seolah-olah cowok itu adalah alien, saling jarang bertemunya. Makanya kalau ada salah satu amang-amang santri yang lewat, berubahlah kita semua jadi sesosok bidadari yang nyasar penuh rasa malu. Hihihi...

"Tapi, aku denger Kang Idan itu bakal jadi guru ngaji kitab Hadist lho. Dia kan jago hadist sama Al-Qur'an. Dan ada juga yang bilang, Kang Jiddan itu bakal jadi pembibing kedua grup Tahfidz. Cara-cara dia bisa khatam akan dipragakan sama grup tahfidz," Kata Heni tiba-tiba.

"Wah, masa sih? Beruntung amat ya yang tahfidz pembimbimnya cowok ganteng. Kalau Hadist, berarti malam ini, dong?" Izzi histeris lagi.

Dan semua bersorak kegirangan. Aku, sebagai ketua kobong Humaira cuma bisa tertawa. Meskipun aku ketua, tapi umurku bukan yang paling tua lho...

Ya Ampun! Sebegitu antusiasnya mereka sama Kang Idan itu. Yup, malam ini malam Rabu jadi kami belajar hadist dan Uqudulujain, kitab perihal cara-cara agar menjadi suami istri yang baik kelak jika sudah menikah. Kitan kegemaran santri. Ternyata benar ya Kang Dadang bakal diganti. Gak nyangka aku yang ngeganti itu seorang pemuda. Cara ngajarnya gimana ya?

Aku jadi penasaran....

*****

Kami semua, para santriwati gabungan kelas 1, 2, dan 3 sudah duduk manis dimadrasah. Pesantren ini memiliki 2 bidang, kajian berbagai kitab kuning dan Tahfidzul Qur'an. Pada hari rabu, grup kitab dan tahfidz wajib mengikuti hadist dan kitab Uqud ini.

Santri dan Santriwati digabung, dan sebuah hijab dipakai untuk penghalang. Jangan menyangka tidak ada yang nakal. Secara manusiawai perasaan ingin caper pasti ada, tapi hanya pada beberapa santri dan santriwati yang memasuki masa puber. Untung saja aku tidak. Aku sudah 18 tahun lho....

"Aduh, kok lama sih? Jangan-jangan Kang Idan itu ngumpet lagi?" Dengan gelisah Heni menepuk-nepuk pahanya. Kebiasaan tuh.

"Baru juga jam 8 malam kurang 10 menit, ya 10 menit lagi, dong," Timpal Vera, tak kalah gelisah.

Ya Ampun.... Semua santri keliatan gak sabar buat menyambut guru baru itu. Ckckcck... Apa cuma aku doang ya, yang biasa aja?

"Kalian pasti bakalan terpesona!" Tegas Izzi kembali keukeuh dengan volume besar.

Membuat para santri dan santriwati menyorakinya. Izzi memang terkenal lho....

"Zi, jahat kali kau bilang begitu, tak sadar kau Abang dengar?" Goda Bang Zaki, santri dari Batak yang memang hobinya ngegodain santriwati.

Izzi bergidik. "Tak perduli aku!"

Semua terdiam saat mendengar sebuah suara berat mengucapkan salam. Kami membalasnya dan tepat setelah itu, pemuda berpakain serba putih, koko putih, sarung putih, dan peci putih duduk dikursi guru.

Semua menahan nafas. Termasuk aku. Lho? Itu kan...

Idan? Jiddan? Muhammad Jiddan Imami? Ya Allah... Kalau dia aku kenal. Dia merupakan santri kesayangan dipesantren milik keluargaku di Garut. Jiddan itu dulu ketua semua santri dipesantren Abyku lho...

Aku masih gak nyangka itu dia. Aku dulu gak terlalu kenal sih, dia pesantren di Garut juga gak terlalu lama. Cuma setahun tapi langsung menarij perhatian karena kecerdasannya. Ditambah parasnya yang lumayan dan sikapnya yang benar-benar bikin penasaran.

Tapi aku gak naksir, lho. Tabu untuk seorang anak guru menyukai murid ayahnya. Lagipula aku ini anti cowok.

Aku masih menatapnya takjub, sampai akhirnya dia mengadahkan kepala untuk melihat santriwati juga. Dan ketika matanya melihatku, dia membesarkan bola matanya sesaat, sebelum akhirnya tertunduk menatap kitab kuningnya. Dan entah mengapa aku juga melakukan hal yang sama.

"Ganteng ya?" Bisik Intan.

Aku cuma tersenyum miris. Kok jadi berdebar-debar gini ya? Astagfirullah....

*****

Moeslimah StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang