Part 6 - Another One?

3.9K 206 16
                                    

Hampir satu bulan, aku tak pulang ke rumah. Aku tak tahu apakah ini ujian pertamaku menjadi kepala divisi Auror atau memang penyerangan ini membuatku terlalu tersiksa karena berpisah jauh dan sangat lama dari keluarga kecilku. Meninggalkan istri sendiri mengurus dua putra kami yang masih kecil. Semoga James mau tenang selama aku pergi dan Al tak rewel mencariku. Aku berharap banyak jika mereka baik-baik saja di rumah.

Dari Kementrian, setelah aku selesaikan rapat akhir sepulangnya dari Wales, para anak buah Auror yang baru empat bulan aku pimpin satu persatu meninggalkan ruang rapat kami. Jangan takut jika mereka tampak mengerikan. Satu bulan tanpa sumber air yang baik, makanan yang sehat, tidur tidak nyenyak, tenaga terkuras, hingga kesulitan komunikasi dengan keluarga yang membuat banyak Auror stress. Begitu juga aku. Kami harus melakukan ini demi menjaga kerahasiaan posisi kami dalam bersembunyi. Penyihir gelap yang kami incar bukan penyihir sembarangan. Demi keamanan, kami terpaksa melakukan ini semua.

Aku mendarat sempurna di perapian rumahku. Suara desisan keras serta debu yang mengotori mantelku sedikit cukup menganggu pernapasanku yang memang sedikit terganggu. Rasanya sesak. Sejak beberapa minggu lalu aku memang merasa tak enak badan, sedikit pusing. Banyak anggota Auror lain memintaku untuk beristirahat karena aku tampak pucat. Tapi aku yakinkan pada mereka bahwa aku masih kuat. Harus, karena aku tak mungkin membiarkan anak buahku turun tangan sendiri tanpa ada komando dari pimpinan mereka, yaitu aku.

Saking semangatnya, aku tak sadar jika perapian di rumahku ini sedikit lebih rendah di bagian depannya. Duk!

"Aw!" pekikku kesakitan. Dahiku sempurna menghantam keras pinggiran mulut perapian sampai menghasilkan bunyi cukup keras.

"Harry? Itu kau?" suara Ginny membuatku sadar dan cepat-cepat aku rendahakn kepalaku untuk segera keluar. Aku terbatuk sebentar karena tak sengaja menghirup debu sisa perjalanan floo yang menempel di wajah. "Oh, my husband!" teriaknya lagi.

Seorang wanita bersurai keluar sambil membawa spatula di tangan kanannya. Cepat-cepat ia meletakkan kembali spatula itu di meja dapur dan memperbaiki kepangan rambutnya yang acak-acakan. Wajahnya berminyak dan tubuhnya bau sup. Em.. kenapa perutku terasa diaduk-aduk?

Ginny mengecup bibirku lama sebelum beralih memelukku. "Oh, Merlin, syukurlah kau tak apa, sayang." Katanya sambil menangis. Mungkin terharu, tak biasanya ia sampai seemosional ini.

"Ow, jangan menangis, love. Aku tak apa. Kau lihat sendiri, kan? Aku pulang. Dan maafkan aku tidak memberimu kabar—"

"It's Okay. Aku sudah mendapat informasi jika tim di bawah pimpinanmu harus menjaga rahasia keberadaan kalian. Aku paham alasanmu mengapa kau tak memberi kami kabar sampai satu bulan. Kau tahu Hermione bolak-balik kemari untuk menanyakan kabar Ron juga. Kasihan dia sedang hamil. Eh, tapi bagaimana dengan Ron? Dia baik-baik juga?"

Aku mengangguk. Aku jelaskan memang Ron sempat mendapatkan serangan. Tangannya terluka hingga tiga hari tak mampu digerakkan. "Tapi sekarang dia sudah membaik. Mungkin sekarang Hermione juga sudah bertemu dengannya. Kami bersama-sama saat pulang di perapian Kementerian tadi. Yang penting, sekarang kami semua sudah kembali dengan selamat. Semuanya sudah aman."

Entah mengapa tiba-tiba giliran kepalaku yang sakit.

Ginny tersenyum lebar. Senyuman itu lama sekali tak aku lihat. Rasanya aku sangat bersalah meninggalkan dirinya di rumah. Ginny sampai memutuskan cuti bermain dari timnya untuk menjaga James dan Al selama aku pergi. "Oh, lihat ini? Sebegitu parahkan lokasinya, sayang? Sampai kau tak merawat tubuhmu?" Ginny mengelus pelan rambutku yang sedikit panjang tak terawat. Serta kumis dan jenggot lebatku di sekitar dagu hingga di bawah telinga.

The Bravest Journey (hinny fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang