2. Sebuah Kebetulan

24 2 0
                                    

Diskusi tak berujung akhirnya tak membuahkan hasil, Arsen terlalu sibuk bermanja-manja, membenamkan kepala dalam ceruk leher Armaya atau memberi kecupan-kecupan ringan di tangan, pipi, kening dan setiap tempat yang luput dari perlindungan calon istrinya itu. Perempuan itu mendengus sebal, sesekali melotot marah pada lelaki yang memeluknya seperti tas berisi uang milyaran rupiah--sangat erat.

"Oke-oke, aku balik. Pilihanmu tadi bakal aku sampein ke Mama," jawab Arsen saat Armaya menandangnya tajam untuk ke sekian kalinya. Sebelum melihat perubahan kekasihnya menjadi macan betina kelaparan, ia segera pamit ke luar dan bergegas pulang sambil membawa kartu undangan yang dipilih Armaya. Sisanya justru dibiarkan tertinggal begitu saja di meja kaca. Armaya mendesah, satu-satu ia punguti kartu undangan beraneka rupa di hadapannya. Menyusunnya rapi agar mudah diikat. Semuanya harus rapi dan tertata khas Armaya yang perfeksionis.

Matanya tiba-tiba melirik ke bawah. Sesuatu terasa mengganjal saat Armaya mendorong sedikit agar meja itu lurus sempurna kembali. Ia berjongkok melihat sebuah kartu undangan terselip di antara kaki meja dan lantai. Diangkatnya meja itu sedikit, lalu menarik undangan pengganjal itu.

Armaya tersenyum kecil. Undangan yang unik. Bentuk amplopnya seperti kantong kertas lipat persegi. Sebagian berwarna hitam, sebagian berwarna cokelat. Tadi ia tak melihat undangan ini. Mungkin, terjatuh saat Arsen membongkarnya tadi.

Ia mengeluarkan isi dari amplop undangan itu. Bentuknya bulat dengan dua garis melengkung menggambarkan yin dan yang. Sebagian berisi motif daun teh dan sebagian biji kopi. Pertama kali saat membukanya, terlihat sebuah kalimat semacam puisi--mungkin--atau kata-kata bijak, entahlah.

Perempuan hujan
Lelaki hujan
Kebetulan yang memilin jadi takdir

Secangkir teh
Segelas kopi
Diaduk dalam kisah paling kasih

Sebelum tandas
Dongeng, janganlah usai
Berparak di arkais
Berakhir taklik

Lalu di lembar berikutnya, ada foto sang mempelai. Yang wanita tampak memegang cangkir teh sambil tersenyum melirik si lelaki. Pun dengan si lelaki memegang segelas kopi sambil melirik sang wanita.

Unik. Klasik. Elegan.

Adalah tiga kata itu yang melintas dalam pikiran Armaya saat melihatnya. Tak mau berlarut terlalu lama, ia segera menyatukan semua undangan itu lalu memasukkannya kembali ke kantong plastik.

Jam di tangannya berlari terlalu cepat. Padahal tadi Armaya berencana pergi ke tempat kejadian. Namun, Arsen malah menyita seluruh waktunya. Mumpung belum terlalu sore, Armaya segera bergegas mengambil tas dan kunci mobil. Ia akan langsung pulang saja setelah melihat TKP. Saat menutup pintu, Viola, menginterupsi langkahnya.

"Tadi ada kurir anter paket buat Ibu." Viola mengangsur kotak berbungkus cokelat itu. Bentuknya persegi panjang seukuran wadah sepatu. Mengingat waktu yang semakin sempit, Armaya mengangguk saat menerima paket itu dan berterima kasih sebelum akhirnya melenggang menuju parkiran.

Mobil hitam miliknya ada di ujung parkiran depan kantornya. Setelah mematikan alarm, ia masuk dan meletakkan tas hitam bersama kotak cokelat itu di kursi sebelah kemudi. Ia segera memacu mobilnya menuju kawasan di timur kota Solo.

Hari menjelang petang, setelah berjalan melewati jalan setapak kecil, berbelok di beberapa gang dan pematang, ia sampai di TKP yang hampir menyerupai sebuah jurang membuat Armaya harus sedikit turun perlahan agar bisa mendekat ke batas polisi tempat mayat itu ditemukan. Bocah sebelas tahun itu bernama asli Fajar Cahyono, tetapi banyak orang lebih mengenalnya dengan panggilan Kemin. Entah bagaimana awal mulanya, orang-orang sekitar pun teman sebayanya lebih mengenal Kemin dibanding Fajar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NTdTK: KecaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang