Our Starry Night : 0

64 9 3
                                    

"Aku mau ngomong sama kamu," langkah kaki mereka berhenti seiring ucapan yang keluar dari mulut yang perempuan.

"Apa?" laki-laki itu menoleh, menatap si lawan bicara.

Detik itu juga ia merasa kalau pacu jantungnya sedang bekerja lebih cepat dari semestinya. Membuatnya panik. Pembuluh darahnya sepertinya tidak bekerja dengan baik. Paru-parunya semakin sesak seakan tidak ada lagi pasokan oksigen yang tersisa.

Ia mengeratkan cardigan hitam yang dikenakannya, menghalau udara dingin karena derasnya air hujan. Tetapi ia yakin suhu tubuhnya yang tiba-tiba merasa dingin bukan sepenuhnya berasal dari hujan.

Hati dan otaknya terus berkemelut dengan pikiran masing-masing yang membuatnya risau. Mereka berbeda. Apa yang dikatakan oleh hati tidak sinkron dengan apa yang dipikirkan oleh otak. Semakin membuatnya frustasi. Jika boleh memilih, ia lebih baik memecahkan soal trigonometri yang menurutnya sulit daripada harus memikirkan berbagai pilihan dan kemungkinan yang terjadi setelah kata yang mungkin beberapa detik kemudian akan terucap dari mulutnya.

Karena saat ini ia bingung, pilihan terbaik mana yang harus ia putuskan?

Apakah dengan mengatakan yang sebenarnya semuanya akan baik-baik saja? Ia tidak akan kehilangan orang terkasihnya- ataukah ... sebaliknya?

Yang ia takutkan hanya satu. Semakin dia dekat tetapi semakin dia jauh.

Cukup seperti ini, cukup sedekat ini, dan cukup sejauh ini. Ia tidak ingin ada pembatas lain yang membuatnya harus mencintai sejauh matahari walau posisi mereka hanya sedekat nadi.

"Aku suka sama kamu."

Pada akhirnya ia menjauhkan semua pikiran seperti kaset kusut dalam otaknya, termasuk konsekuensi yang harus diterima kedepannya. Ketimbang logis, ia lebih memilih hati. Karena ia yakin, tidak ada satu pun hati yang mengingkari pemiliknya, kecuali sang pemilik lah yang mengingkari hati mereka sendiri.

***

Our Starry NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang