Our Starry Night : One

61 8 4
                                    

Ternyata berbagai kemungkinan yang memenuhi pikiran Echa semuanya salah. Terhitung dua bulan sejak perempuan itu mengakui perasaan yang sebenarnya kepada Arsa, hubungan mereka tetap baik-baik saja. Sayangnya Echa tidak lebih dari seorang teman untuk Arsa. Hal ini tak membuat Echa menjadi canggung kepada Arsa atau pun sebaliknya, malainkan saat ini ia merasa terbebas dari salah satu yang merisaukan hati dan otaknya beberapa waktu ke belakang.

Sebelumnya Echa bilang kepada Arsa kalau ini hanya pengakuan, tidak ada maksud lain atau apa pun itu, sehingga Arsa tidak perlu menjauh atau merasa canggung. Arsa menyanggupi hal itu dan semuanya berjalan seperti biasa, tanpa ada kecanggungan atau ketidakenakan.

Yang terpenting saat ini adalah, Arsa tetap berada dalam jangkauannya walau ia hanya bisa melihatnya dari jauh. Berapa pun radiusnya, Echa akan tetap melihatnya dan berusaha untuk tetap terlihat walaupun samar.

Saat ini Echa sedang berdiri di pinggir lapangan futsal sambil melihat Arsa bermain. Terkadang ia bersorak untuk menyemangati Arsa dan laki-laki itu akan melihat ke arahnya sambil mengacungkan jempol dan tersenyum. Seperti saat ini, sebelum beberapa musuh menghadang Arsa, laki-laki itu menyempatkan diri untuk mencari sosok Echa mengingat banyaknya siswi yang memenuhi lapangan futsal. Manis. Bahkan hal sesederhana ini bisa menjadi manis dalam sekejap jika bersama orang terkasih.

Sebenarnya ini bukan pertandingan atau turnamen sampai banyak siswi rela berbondong-bondong untuk melihat siapa yang menang atau kalah, melainkan hanya sekedar latihan rutin setiap hari Kamis setelah pulang sekolah. Sepertinya hari kamis memang sudah menjadi rutinitas para siswi sekolahnya untuk hanya sekedar melihat para laki-laki tampan bermain di tengah lapang dengan peluh berucucuran dari pelipisnya.

"Latihan doang banyak banget yang nonton, gimana kalo turnamen asli?" gumam Arsa setelah meminum beberapa tegukan air mineral. Latihannya telah selesai dan ia langsung menghampiri Echa di pinggir lapang. Ia mengusap rambutnya yang basah oleh keringat dengan handuk.

"Banyak yang bilang anak futsal ganteng-ganteng sih, makanya latihan aja cewek sekolah udah pada kegirangan," jawab Echa. Ia membuka bungkus permen yang tadi dibelinya di kantin kemudian memasukannya ke dalam mulut. Aroma ceri yang segar langsung tercium oleh Arsa. "Tapi kamu gak termasuk cowok ganteng sih."

"Yang katanya abis batuk tapi makan permen!" omel Arsa. Echa hanya bisa nyengir kuda, memasang wajah tanpa dosanya. "Yang bilang aku gak ganteng tapi taunya confess perasaannya, siapa ya?" goda Arsa dengan senyum meledeknya.

Bibir Echa maju beberapa mili meter, dengusan keras keluar dari mulutnya. Selalu, Arsa selalu mengungkit pengakuan yang terjadi pada hari itu, membuat Echa ingin melenyapkan laki-laki di depannya saat itu juga jika dia bisa.

Melihat Echa yang sudah memasang tampang sebal membuat Arsa terkekeh. Laki-laki itu selalu tidak tahan ketika melihat Echa yang seperti itu. Lucu, pikirnya.

"Kamu nunggu aku latihan mau nebeng pulang apa gimana?"

Walau sebal kepada Arsa, lagi-lagi Echa nyengir karena tebakan dia benar. Daripada membuang uang untuk ongkos angkutan selagi ada orang yang bisa diajak pulang bareng kan mubadzir. Manfaatkan teman. Iya. Teman.

Arsa mengambil tas sepatu yang sebelumnya diletakkan di ruang kosong di sampingnya. "Yaudah, ke depan aja duluan, mau ngambil motor dulu."

Echa mengangguk patuh. "Jangan lama!"

Arsa mengacungkan jempolnya.

***

Sepertinya tidak ada hal yang lebih dinantikan oleh Arsa setelah berolahraga selain memenuhi hawa nafsunya. Makan. Ia sengaja memilih untuk makan di luar bersama Echa karena saat sampai di rumah ia akan mengurung diri di kamar, bersama playstation4-nya. Jika sudah berkutat dengan game, laki-laki itu tidak bisa diganggu sekali pun oleh ibunya atau ayahnya.

"Laper?" tanya Echa. Arsa yang sedang sibuk dengan ayam tidak menjawab atau pun mendongak, melainkan tetap fokus mengunyah-menelan-mengunyah-menelan, terus seperti itu sampai membuat Echa kenyang hanya dengan melihat Arsa yang makan dengan lahap.

Lantunan lagu The Greatest milik Sia ft. Kendrick Lamar terdengar dalam ruangan berukuran kurang lebih 10×10 meter tersebut. Echa menghentakan kakinya seiring irama yang mengalun. Jari kirinya mengetuk-ngetuk meja seolah benda tersebut adalah piano sedangkan jari yang lainnya sibuk dengan benda ajaib berbentuk persegi panjang. Echa tidak ikut memesan makanan karena ia telah makan siang di sekolah.

"Kalo lagi di tempat makan itu diem!" Kini Arsa bersuara. Diambilnya minuman dingin berwarna biru tersebut kemudian meneguknya sampai tersisa setengah. Ia sudah selesai makan omong-omong.

"Ya lagian dikacangin!" Echa mengikuti apa yang Arsa lakukan, bedanya jika Arsa sekali teguk langsung menghabiskan satu gelas, Echa sebaliknya. Ia meminum sedikit demi sedikit minuman segar itu. Agar floatnya utuh, katanya.

Arsa mengingat apa yang baru dipelajarinya saat pelajaran lintas minat tadi pagi. "If you ate more and talked less, we would both enjoy our dinner— eh apa lunch? Makan sore apa sih Inggrisnya?"

"Sok inggris banget," sungut Echa sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Arsa tersenyum bangga. "Kita harus bisa berbicara bahasa Inggris yang baik dan benar."

Sejujurnya hanya ungkapan itu yang Arsa ingat sepanjang pelajaran Bahasa Inggris, selebihnya Arsa pun tidak tahu materi apa yang dijelaskan oleh guru yang selalu berpeci hitam itu. Arsa ingat ungkapan itu juga karena ia kepergok oleh gurunya ketika bermain get rich kemudian beliau meminta Arsa untuk membaca salah satu teks yang berada pada buku paketnya.

Echa memutar matanya. "Menurut Pasal 36 UUD 1945, Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia," kini giliran Echa yang tersenyum bangga. "Jadi kalo kamu mau berbicara bahasa internasional yang baik dan benar, silahkan pindah ke Inggris."

Arsa memilih untuk mengalah dari seorang Ayesha. "Yang abis belajar pasal-pasal hak dan kewajiban, sombong."

Salah satu materi PKN semester ini adalah tentang hak dan kewajiban, dan untuk ulangan harian, Bu Ami selaku guru PKN menyuruh muridnya untuk mengahapal pasal-pasal yang sudah ditentukan di buku paket untuk kemudian diadakan petir atau penghuni terakhir. Bu Ami menyebutkan pasalnya kemudian murid berebutan untuk menyebutkan bunyinya, yang pertama itulah yang mendapatkan poin. Sistemnya yang terakhir mendapatkan 5 poin itulah yang paling kecil mendapatlan nilai. Jadi Echa menghapal keras pasal-pasal demi keselamatan nilai PKN yang sempat turun semester kemarin.

Tapi sayangnya ketika hari Rabu sangat dinantikan karena sudah lelah menghapal pasal, Bu Ami tidak masuk kelas karena ada halangan, membuat Echa semakin frustasi karena harus lebih lama berkutat dengan pasal-pasal yang harus menuntut otaknya untuk selalu mengingat bunyi beberapa pasal sampai minggu depan.

Arsa sedikit menggeser kursi ke belakang agar memberikan sedikit ruang untuk berdiri. "Udah ah pulang."

"Lagi wifi iniiii," rajuk Echa. "Tunggu bentar, ya ya?"

"Gak modal banget ya ampun," Arsa kembali duduk. "Lagi ngapain sih?" ia sedikit mencondongkan badannya ke depan.

Sama seperti Arsa, Echa sedikit mencondongkan badannya ke depan agar Arsa dapat melihat ponselnya. "Ini aku lagi stalk instagram online shop gitu."

Posisi duduk Arsa kembali seperti semula. "Ya ampun, Cha."

"Wifi di rumah belum dibayar jadi lemot, kuota aku habis," ucap Echa. "Jadi, pinter-pinter memanfaatkan yang gratisan."

Arsa memutar kedua bola matanya. "Iya aja udah." Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas ketika dirasa benda tersebut bergetar. "Sekarang tanggal berapa, Cha?"

"Delapan," jawab Echa tak acuh. "Kenapa?"

"Kalo tanggal 28 kapan?"

Kebetulan Echa masih memainkan ponselnya, ia berpaling sebentar dari aplikasi instagram untuk membuka kalender. "Rabu depan depan depannya." Kepalanya mendongak, melihat Arsa. "Kenapa emang?"

Arsa tercenung, dilihatnya kembali isi pesan dari grup ekstra kulikulernya selama beberapa kali. "Tanggal 28, futsal kita tanding sama Alpha Centauri."

Reflek Echa bergeming kaku. Ia takut kalau ... Arsa kembali.

***

Our Starry NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang