at The Church

12 0 0
                                    

Sesampai di dalam gereja, jujur saja aku sangat senang karena pakaian yg kukenakan sudah putih-putih. Aku tidak bisa membayangkan betapa malunya aku nanti saat acaranya hanya karena si celana hitam itu. Bisa jadi aku jadi bahan pembicaraan kaum ibu-ibu atau siapa saja yg melihatku saat itu. Apalagi kami peserta sidi diharuskan untuk duduk di barisan paling depan. Sejauh yang saya tahu dan yg pernah kusaksikan belum pernah ada kejadian seperti itu. Syukurlah.

"Loh...knapa sepi, di mana teman-temanku yg juga akan naik sidi nanti," pikirku. Aku memang sangat labil saat itu. Apa-apa langsung cemas.

"Marhua dison ho uller,?" (Ngapain di sini?)
Tanya seorang ibu kumpulan koor yg sudah mengambil tempat duduk di dalam gereja. Begitulah sapaanku kalau di kampung 'uller'. Beda pula sekarang sudah agak keren dengan sebutan willer. Apa mungkin karena mengeja huruf 'w' tampak sulit sehingga disebut 'u' atau karena apa kurang tahu juga. Sah-sah saja bagiku. Abang ku saja di panggil 'amman' padahal namanya suparman. Gak nyambung kan, Hahahaha.

Aku pun bertanya kembali sambil senyum-senyum. "Idia akka naposo i, inang?" (pemuda yang lain di mana ya?)
"Bah, i ruang parhalado," balasnya (Di ruang penatua)
Langsung saja aku berlari ke belakang gereja. Aku lupa kalau pada saat-saat terakhir belajar alkitab, Porhangir (guru jemaat) mengingatkan kami supaya pada hari H langsung saja menuju ke ruang parhalado.
Acara gereja hampir mulai, dan sesampai di sana ternyata aku beserta seorang peserta sidi lain sedang di tunggu oleh porhangir.

"Sian dia do ho?", tanya porhangir padaku.(dari mana aja?)
Aku senyum-senyum saja seakan sudah mengerti, kalau pertanyaan ini tak perlu memberi penjelasan yang bla-bla-bla.
"Nga pungu sude?", tanya porhangir pada kami. (Sudah lengkap kalian?)
Dengan serentak kami menjawab, "nunggaaaaa...,"(sudah)
Kemudian, porhangir memberi arahan pada kami, mengenai urutan barisan juga tentang serangkaian acara nanti. Kami pun mendengar arahan ini dengan penuh perhatian.
Lalu kami di minta untuk berbaris rapi karena acara gereja akan segera dimulai..

Teng..teng..teng..teng, suara lonceng gereja berbunyi, pertanda ibadah akan dimulai. Kami berjalan menuju gereja melalui pintu depan gereja.
Sepanjang jalan menuju ke gereja, tanganku terus saja menahan celana yang kukenakan itu. Agak longgar dan kepanjangan bagiku. Wajar saja, pemilik celana itu yaitu paktuaku cukup tinggi dibanding aku yang hanya 'semekot' (satu meter kotor), kata orang. Saat di rumah maktuaku, aku bahkan tak punya ide saat akan memakai celana itu. Kupakai saja, asallah warna putih. Tanpa memperhatikan dengan baik-baik mengenai ukurannya.

"Dibanding celana hitam itu, lebih baik pakai ini aja," pikirku lagi. Aku hanya memakai tali pinggang yg hanya kumiliki satu-satunya untuk mengikatnya. Itupun sudah agak longgar, karena terbuat dari kain dan hampir tiga tahun ku pakai.

Aku berjuang supaya terlihat baik-baik saja tanpa mengundang orang untuk memperhatikan kekurangan pakaian ku. Lagi-lagi tangan ku begantian menarik celana dan menahan celana putih itu supaya tidak melorot.

Dung sonang rohakku dibahen Jesus i, porsuk do hutaon dison (lirik lagu BE 213, it is well wit my soul). Saat jemaat menyanyikan lagu itu, langsung saja pikiranku berkata, "inilah yang porsuk itu oh Tuhan....., sabar ma au."

*bersambung

INI (bukan) CELANA KUWhere stories live. Discover now