Belum lagi sampai di dalam gereja, jantungku kayak mau lepas. Dug..dug..dug..dug..dug..
Ku tarik nafas dalam-dalam, semoga bisa tenang, harapku. Makin dekat pintu gereja makinlah aku jantungan. Sesekali bibirku mengucapkan doa-doa yang slama ini kupelajari sewaktu pelajaran agama di sekolah. Aku mengucapkan doa-doa katolik. Hanya itu yang terlintas dipikiranku untuk kuucapkan.
"Salam maria penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus. Santa maria bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati." Amin.
Berkali-kali kuucapkan doa itu. Aku berhasil menghafalnya saat memulai pelajaran agama katolik di sekolahku dulu. Wajib dihafal. Selain di sekolah, di asrama katolik tempat saya tinggal juga di minta untuk menghafal doa itu.Saat kami berjalan di dalam gereja, pandangan beberapa jemaat tertuju pada kami peserta sidi. Apa yang istimewa dari kami ya?
Ada yang mengganguk-angguk (jemaat sedang menyanyikan lagu pujian) ada yg tersenyum dan ada pula melihat-lihat sambil menunjuk-nunjuk salah seorang dari kami. Aku pikir mereka adalah keluarganya.Bapak ku yg saat itu duduk di barisan penatua, memperhatikan ku baik-baik. Aku memang seorang penurut pada bapak ku. Sehari-hari semua perintah nya selalu ku iyakan, entah itu menyakitkan atau menyenangkan. Terus saja kuturuti. Termasuk pilihan sekolah SMA harus di Balige, walau aku meminta untuk sekolah di kampung kami. Aku gak berani menunjukan ketidaknyamanan ini padanya, walau aku ingin sekali protes pada bapak ku. Aku membalas senyuman itu kepada siapa saja yg memperhatikan kami saat itu termasuk kepada bapak ku. Pandanganku terus mencari-cari tempat mana yang akan kami tuju. Berharap bisa secepatnya tiba di tempat duduk itu, walau tidak etis kalau sampai harus berlari ke sana. Akhirnya...sampailah pada tempat yang dituju.
Kami mengambil tempat duduk sesuai dengan yg diperintahkan. Duduk di barisan paling depan. Walau sebenarnya saat persiapan di ruang parhalado, masalah tempat duduk pun belum pasti. Saat diskusi singkat antar penatua, beberapa ada yg sepakat kalau kami diminta untuk duduk di belakang saja. Yang lain sepakat lebih baik jika kami duduk di depan.
"Ai ikkon hundul di jolo do attong halakon dah," kata pendeta resort yg saat itu dipimpin oleh Pdt R. Sidauruk
(Mereka lebih baik duduk di depan saja).Setelah berunding dan dipastikan, kami duduk di depan. Semua pembicaraan para penatua dapat kami dengar dengan baik dan jelas, padahal kami berada luar ruangan tepat di halaman sisi kanan gereja. Tidak jauh dari ruangan parhalado itu. Bukan pula karena dilibatkan dalam diskusi itu, tetapi karena suara para penatua itu cukup keras saat menyatakan pendapat masing-masing (bukan karena emosi). Gaya bicara di kampung kami memang begitu. Jangan kaget. Sesekali aku berusaha untuk menyimak alur pembicaraan itu. Lalu seorang penatua keluar dari ruangan tersebut dan menyampaikan 'boa-boa' (informasi) kepada kami yg intinya kami harus duduk di depan.
Itu berita baik bagiku atau ngak, saya bingung. Sejenak saya terdiam-merenung sambil memperhatikan celana putih ku ini. Aku tidak banyak bicara seperti kebanyakan teman-temanku. Aku hanya bicara seperlunya dan sewaktu ditanya saja. Sementara yg lain asik sekali ngobrol. Entah mereka sedang menghibur diri lewat celotehan-celotehan mereka atau...mereka sedang berusaha menghilangkan kegelisahan mereka. Mungkin iya. Saya mengamati mereka, mana kala ada yang senasib denganku.
"Ai aha do annon hata sipaingot tu ahu ate, mabiar au poang," kata seseorang kepada lawan bicaranya. (Nasihat 'firman Tuhan' apa ya yang disampaikan untuk ku?)
"rap mamereng ma hita lae," balas temannya. (Kita lihat saja nanti). Mereka bercakap-cakap sambil menunggu arahan selanjutnya dari porhangir.
Sepertinya hanya aku saja yg bermasalah dengan pakaian putih-putih ini, gumamku dalam hati. Kuperhatikan baik-baik, pakaian mereka pas sekali dengan ukuran badan masing-masing. Lah, aku? "Apa mereka juga meminjam pakaian seperti ku, atau apa mungkin beli di pasar?" Terus saja aku bertanya-tanya dalam hati. Walau tak menemukan kesimpulan untuk hal itu.
Kuberanikan bertanya pada seorang temanku. "Bagak baju dohot salawar mu," kataku. (Bagus pakaianmu ya)
"Na hupinjam do on," balasnya. (Ini juga saya pinjam)Rasanya ingin sekali ku katakan padanya kalau celana yang kukenakan ini terlalu besar bagiku, tetapi...ah!
gak usahlah ku bilang, toh gak akan ada solusi untuk ini. Justru orang makin tahu nanti.Kalau orang sekitarku memperhatikanku dengan jeli mungkin mereka mengira aku seorang penyanyi jadul (jaman dulu) yang muncul kembali. Model celana yg ku kenakan 'komprang' habis. Tetapi dengan ukuran XL (mungkin), karena aku tidak kepikiran lagi dengan ukuran itu. Padahal trend 'komprang' saat itu gak eksis lagi. Kalau adapun itu hanya segelintir orang yang memakai.
Yang pasti besar, panjang dan longgar. Kalau bahasa kampung kami bilang 'malbang'."Dipasonang tontong rohakkon..." itulah lirik terakhir lagu yang dinyanyikan pada saat itu. Kami pun duduk sesuai dengan urutan yg sudah di sepakati. Aku duduk bersebelahan dengan anak maktuaku yg saat itu juga akan naik sidi.
Kecemasanku datang lagi, bagaimana tidak. Saat seorang penatua (pemimpin ibadah) meminta jemaat untuk berdiri lalu duduk kembali sampai beberapa kali, sesuai dengan urutan tata acara ibadah. Hal ini membuatku tidak nyaman. Aku sangat berjuang sekali menikmati ibadah saat itu. Kulihat jam yang terpasang di dingding tepat di belakang altar tempat pendeta berkhotbah masih menunjukkan pukul 11:10 WIB. "Masih 40 menit," pikirku.
"Bah...nga suda be, leleng nai on hape"
(Bah..acaranya masih lama), kataku ke teman sebelah ku. Temanku, tak memberikan jawaban apapun. Hanya menoleh dan melihatku sekejab.
Berharap segeralah berakhir ibadah ini supaya dengan segera pula kugantikan celana ini dengan celana hitam ku itu.Kulirik sisi kiri dan kanan. "Banyak juga kami ya",
Aku lupa berapa orang jumlah peserta sidi saat itu. Yang pasti saat belajar alkitab kami berjumlah 13 orang. Dan hari ini aku menemukan wajah-wajah baru. "Ise dongaen halak on," (siapa orang ini) tanyaku dalam hati. Aku tidak mau menanya-nanya karena bukan saat nya lagi. Ini ibadah pikirku lagi.Kupastikan ini ibadah terlama selama hidupku. Selain karena ada acara malua/naik sidi juga diikuti dengan acara baptisan (pandidion) ditambah sederatan kumpulan koor yang akan menyanyikan pujian. Setiap sekali setahun, sebenarnya agenda seperti ini sudah biasa ku saksikan, aku saja yang merasa 'baper' .Horasma jala gabe!
Mereka (para orang tua dan anaknya) duduk persis di sebelah kursi kami. Aku gak bisa melihat dengan jelas siapa saja yang akan dibaptis dan berapa orang. Tubuhku yang kecil tak sanggup melirik-lirik mereka karena deretan kursi tempatku duduk bertubuh tinggi. Cuma aku yang .......^^
Mereka menutupi pandanganku. Perfect!Kalau kuhitung-hitung, ada cukup banyak kumpulan koor yang melantunkan pujian hari itu. Kaum koor ina, maranatha, koor ama, koor PP dan remaja, koor Sion dan koor gabungan. Aku memang penyuka musik dan koor, hingga sekarang pun masih suka. Dari antara mereka, aku lebih menikmati pujian koor ama. Merdu dan harmonis.
Akhirnya aku berhasil mengetahui berapa orang yang mengikuti acara baptis hari ini setelah pengurus gereja membacakan 'tinting' (berita gereja).
"Na manjalo pandidion di huriatta sadarion, dakdanak baoa ....dohot. borua ..., jadi pungu sude 16 halak. (Yang menerima baptisan kudus hari ini ada 16 orang anak) Aku lupa jumlah masing-masing.
Saat acara pengakuan iman, jemaat diminta untuk berdiri. Tiba-tiba saja dengan semangat aku berdiri. Jrekkkk...!!!
"Agohhh...suara apa ini," pikirku.
Aku gak peduli lagi apa yang telah terjadi padaku, kuteruskan penggakuan iman sampai berakhir dengan kata amin. Lalu kami duduk kembali.Kuperhatikan celana ku......
*bersambung
So sorry! I need to take a long time to write the next story. I'll notice you soon! Thanks