Dua

22.8K 1.5K 37
                                    

Menikah tanpa cinta? Mungkin sudah biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menikah tanpa cinta? Mungkin sudah biasa.
Lalu, bagaimana dengan pernikahan Nadila yang sudah menginjak dua tahun, bahkan sudah memiliki seorang anak, tapi masih belum saling mencintai?

Jika memikirkan hal tersebut, Nadila jadi berpikir sendiri. Bagaimana nasib pernikahannya kelak? Apa akan tetap seperti yang dulu-dulu? Atau malah berujung di persidangan?

Tangan Nadila sibuk melipat pakaian Abid dan suaminya yang baru kering. Pandangannya menerawang ke langit-langit, ruang keluarga. Jika suatu hari nanti mereka bercerai, lalu bagaimana dengan nasib Abid? Haruskah ia melihat kedua orang tuanya berpisah? Nadila menggelengkan kepalanya. Ia tidak setuju jika harus bercerai dengan Rafka, biarlah rumah tangganya berjalan seperti yang dulu-dulu asalkan tidak berpisah dan hak asuh Abid juga tidak ikut terpecah belah.

Jarum jam sudah menunjukkan angka 12. Tak lama lagi, Rafka akan pulang untuk makan siang. Setelah menyimpan pakaian Abid di tempatnya, Nadila mempersiapkan makan siang untuk suaminya. Rafka memang tak pernah marah jika ia lupa menyiapkan makanan, Rafka juga tidak pernah melarang Nadila untuk keluar rumah--kecuali saat Nadila hamil--,Rafka membebaskan Nadila untuk bergaul dengan siapa saja. Tapi, Nadila cukup tahu diri. Ia mengerti aturan dalam rumah tangga yang telah diajarkan agamanya. Bahwasanya, seorang istri haram hukumnya meninggalkan rumah tanpa izin dari suami dan harus didampingi oleh muhrimnya.

Begitupun Nadila. Ia tak pernah melarang Rafka pulang terlambat, asalkan harus menghubunginya terlebih dahulu. Alasannya sederhana, ia tak ingin mubazir karena memasak untuk dua porsi sementara hanya dirinya yang makan. Nadila juga tidak melarang Rafka bergaul dengan siapa saja, meski ia tahu kalau Rafka adalah laki-laki yang baik. Tapi, tidak menutup kemungkinan orang yang terlihat baik ternyata hanya covernya saja.

"Assalamualaikum," suara engsel pintu yang berdecit menandakan jika seseorang telah membukanya.

"Wa'alaikum salam," Nadila mencium punggung tangan suaminya, dan menuntunnya agar duduk di sofa. Lalu, jemari lembutmya mulai membuka alas kaki suaminya. Tak lupa pula ia cuci kedua kaki Rafka dengan air hangat dalam baskom kecil yang dibawanya tadi.

Saat awal pernikahan, Rafka sempat bingung dengan perlakuan Nadila kepadanya. Ia bahkan merasa telah memperlakukan Nadila seperti budak, namun dengan cepat Nadila menggeleng dan mengatakan, "Ini adalah sebagian kecil dari bentuk pengabdianku pada suamiku. Jadi tolong, izinkan aku melakukannya setiap kamu pulang kerja," Mungkin hal inilah yang menjadi alasan kedua mengapa Rafka tidak mengucapkan talak pada Nadila.

"Abid mana?" Rafka berjalan menuju meja makan, sementara Nadila membawa baskom berisi air hangat tadi ke kamar mandi.

"Tadi dijemput sama Ibu. Katanya mau dibawah kerumah. Ntar sore aku jemput," Ibu yang dimaksud Nadila, adalah Ibunya Rafka. Nadila sudah ikut bergabung di meja makan. Menyendokkan nasi ke piring Rafka terlebih dahulu. "Lauknya?"

Mata Rafka menyapu isi meja makan yang terdapat beberapa macam lauk pauk, "Ikan goreng sama sambel," Nadila mengangguk dan menatap Rafka lagi, seolah tatapannya menyiratkan pertanyaan, Ada lagi? "Sama capcay"

Mereka makan dalam kebisuan. Yang terdengar hanya suara sendok yang bertubrukan dengan piring, sampai Nadila mengangkat suaranya. "Ka, aku mau keluar habis ini. Boleh kan?"

"Aku kan, sudah bilang sama kamu. Kalau mau keluar, yah keluar saja. Toh, aku juga tidak melarang kamu membatasi pergaulan," jelas Rafka, tanpa mengangkat kepalanya. Selalu seperti itu jika Nadila meminta izin untuk keluar, padahal Nadila sangat berharap kalau Rafka akan menemaninya. Jangankan menemani, diantar sampai tempat tujuan saja, Nadila sudah bersyukur.

Kepala Nadila tertekuk, "Kalau begitu, tidak jadi," gumam Nadila, begitu pelan.

Namun indera pendengar Rafka terlalu peka menangkap gumaman halus Nadila. "Dila, mau kamu apa sih? Selalu seperti itu. Minta izin sama aku, terus batalin gitu aja. Maksud kamu apa? Ini udah dua tahun loh, dan kamu selalu mancing emosi aku kayak gini. Aku gak suka!" Baiklah, Rafka memang tidak membentak atau menunjukkan kemarahannya dengan suara menggelegar. Meski marah, Rafka mencoba menahan emosinya agar tetap stabil. Namun kali ini, suara Rafka naik satu tingkat dari biasanya.

"Mau aku? Mau ku tuh, dianterin sama kamu Ka! Bukan sekadar di kasih izin doang! Aku ini istri mu, istri yang harusnya kamu jaga. Meski tak ada cinta yang bermain di rumah tangga kita, tapi aku tetap ingin diperlakukan sebagai istri pada umumnya. Kamu gak suka? Aku lebih tidak suka, Ka!" Nadila meracau, berteriak dalam hatinya. Ingin rasanya ia memuntahkan semua unek-uneknya di depan Rafka. Tidak tahu saja dia kalau Nadila ikut pengajian, Nadila sering merasa cemburu dengan teman-temannya yang lain. Bagimana tidak? Hanya Nadila seorang yang pulang naik taksi. Teman-temannya yang lain di jemput oleh suami atau Ayah mereka. Sebelum menikah, Nadila sering di antar jemput oleh Ahmad, kakaknya, saudara sepersusuannya. Namun sekarang, semuanya telah berbeda. Dan Nadila merindukan kakaknya yang sering mengantar jemput dirinya.

Melihat Nadila hanya diam, Rafka merasa tidak enak hati telah 'memarahi' Nadila. Bagaimanapun, Nadila pasti merasa tertusuk dengan perkataannya. Bahkan selama berpacaran dengan Nabila--saudara kembar Nadila--, tak pernah sekalipun Rafka meninggikan suaranya di depan gadis itu.

Rafka menggaruk kepalanya dengan gusar. Tangannya meraih tangan Nadila yang masih memengang sendok. Menggenggam tangan lembut itu, kemudian meremasnya pelan. Seolah mentransfer rasa bersalahnya. Nadila mendongak, melihat pancaran mata Rafka yang menyiratkan tatapan bersalah. "Maafkan aku, aku gak bermaksud bentak kamu,"

Nadila menarik kedua sudut bibirnya, menatap Rafka dengan tatapan sendu. "Tidak apa-apa, aku ngerti kok," Nadila menumpukan sebelah tangannya diatas tangan Rafka yang masih setia menggenggam tangan Nadila yang satunya.

"Sore nanti, aku jemput kamu di rumah Ibu yah?" Nadila mengangguk, mengakhiri suasana yang sempat tegang tadi.

[---]

Terlalu sinetron yah? Maaf deh, imajinasiku pasaran soalnya😌 Kritik dan sarannya dong buat part selanjutnya, biar imajinasi aku makin terbuka. Kirim lewat dm atau email boleh kok, ntar aku tag akun kalian dipart selanjutnya😊

BlueAinn©12/02/2017

Kupilih dia, Karena DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang