Mulyani bag II

52 12 41
                                    

Seminggu kemudian Mas Joko mengabariku bahwa dia terbelit hutang, Nyonya Sastro pemilik kontrakan sekaligus renternir meminta uang pinjaman di kembalikan lebih cepat dari perjanjian. Apa hendak dikata, sekali lagi keberuntungan tak berpihak pada orang-orang seperti kami.

Nyonya Sastro memberi opsi jika tak mampu membayar maka Mas Joko harus menikahi putri semata wayangnya, Ningsih.

"Mul, aku minta maaf untuk semua ini." Suara parau itu perlahan berbisik dari handponeku.

"Tak perlu minta maaf Mas,kau sudah melakukan hal yang benar."

"Dengar,aku akan mencari cara untuk melunasi hutangku pada Nyonya Sastro dan akan kuceraikan Ningsih setelahnya."

"Kau tak perlu menceraikannya hanya karena aku,Mas. Berjuanglah untuk mencintainya, mungkin saja dialah Jodohmu bukan aku. Jodoh bisa datang lewat cara yang tak kau sangka."

"Lalu bagaimana dengan Kita??"

"Mulai sekarang lupakan tentang kita,aku akan berusaha menerima kenyataan ini dengan lapang dada."

"Mudah sekali kau katakan itu Mul,kau tak ingin memperjuangkan aku?kau sudah tak mencintaiku lagi ??!"

"Karna aku cinta kau Mas,aku ingin kau tetap menjadi sosok imam yang kuidamakan tapi bukan untukku lagi melainkan Ningsih."

"Tapi aku tak mencintai Ningsih,aku menikahinya karna terpaksa karna aku.....ah kau pasti sudah tau dari Kang Pujo."

"kau berhutang pada renternir karna Simbok mas, meskipun akhirnya seperti ini percayalah Tuhan akan akan memberimu jalan karna kau melakukan ini demi cintamu pada Ibumu,cinta pertamamu dan aku akan melakukan hal yang sama jika aku jadi kau."

"Apakah ini artinya kita tak kan bersama, Mul?"

Pertanyaan terakhirnya serasa sebuah pisau yang menancap di batang leherku,membuat aliran darah berhenti sehingga aku tak mampu mengucapkan sedikitpun kata. Hanya sesuatu yang begitu menyesakan dadaku, rasa ingin meledak menghamburkan semua beban yang bergesekan. Suara Mas joko sayup-sayup menyadarkanku,suara itu memangil-mangil namaku mengharapkan sebuah jawaban yang mungkin hanya satu kata namun begitu berat kuucapkan.

"Mul,Kau masih mendengarku?? jawablah..tolong jawab aku!"

"Iya Mas. Tolong tinggalkan aku agar aku mampu menghadapinya."

Kututup telepon itu dan berharap segalanya menjadi jauh lebih baik saat aku bilang aku ikhlas melepasnya tapi tak semudah kenyataannya berhari-hari aku menangisi perpisahan kami. Kusibukan diriku dengan kembali berjualan kacang rebus,rencanaku ingin mengumpulkan uang dan pulang ke desa mengubur segala kenangan tentangnya.
******************************
tok..tok...tok...suara pintu terketuk dari luar disusul suara Kang Pujo memanggilku.

"Mul,kau di dalam??"

Suara itu perlahan memecah kesunyian kamarku, kumasukan kardus  kembali ke dalam lemari dan buru-buru kuseka air mataku.

"Iya,Kang..sebentar," kuraih daun pintu dan membukanya perlahan.

"Kok sudah pulang,Kang?"

"Mul,apakah kau menangis??"

Kang Pujo mengamatiku,sekejap senyumnya hilang tatkala melihatku menyembul dari balik pintu dengan mata sedikit bengkak.

"Tidak Kang,tadi aku bersih-bersih kamar biasa alergi debu."

"Benarkah?aku hanya pulang sebentar. Aku  ingin memperlihatkan ini. Dua tiket pertunjukan untuk besok malam. Mba Desi penjaga tiket memberikannya cuma-cuma katanya kita harus nonton kalau tidak kita pasti rugi."

"Kita akan menonton berdua saja? lalu Simbok?"

"Simbok masih menginap di rumah Paklik Sardi dua hari lagi baru pulang sebab masih ada urusan. Baiklah jangan lupa besok malam jam delapan datanglah ke Gedung,langsung temui aku ya!"

Aku mengangguk seraya menerima dua lembar tiket berwarna merah, menyelipkan dalam sakuku.

Haruskah aku pergi ke pertunjukan berdua saja dengan Kang Pujo? Apakah tidak akan aneh jika aku pergi dengan kakak mantan tunanganku?? Huh...kuhembuskan dalam-dalam segala rasa bimbang. Mungkin kali ini aku harus pergi menghibur diri lagipula Kang Pujo sangat baik selama ini,aku tak ingin mengecewakannya.

Aku sudah bersiap saat jam dinding menunjukan angka 7.30 malam dengan berjalan kaki aku bergegas menuju gedung pertunjukan.

Pemandangan tak biasa terlihat di halaman Gedung. Banyak obor dinyalakan sebagai penerangan, nuansa merah hitam mewarnai dinding gedung,  Disudut gedung di pajang lampion berbentuk kupu-kupu merah hitam.

"Mul,Kau datang tepat waktu ayo kita masuk. tiketnya sudah kau bawa,bukan??"

suara Kang Pujo mengagetkanku, aku tersenyum dan melangkah bersamanya menuju antrian penonton menunggu pintu masuk terbuka sambil memperlihatkan tiket kepada petugas penjaga tiket, dia menyobek bagian tiket yang bergambar gunting dan mempersilahkan kami  mengikutinya untuk mencarikan tempat duduk.

"Bapak dan Ibu silahkan tempat anda paling depan." kata Perempuan cantik berpakaian serba merah.

"Maaf Mul,kita duduk di lantai, lain kali kalau aku punya uang aku akan membelikan tiket agar kau kita bisa duduk di kursi seperti penonton yang lain. "

"Tak mengapa Kang malah kita bisa menoton lebih dekat dengan panggung, iya kan". 

Suara pembawa acara mengema melalui corong-corong menandakan pertunjukan segera di mulai perlahan lampu di matikan hanya lampu di panggung di biarkan menyala. Adegan per adegan bergulir,tokoh demi tokoh memainkan perannya dengan apik.

"Sampek Engtay"judul pertunjukan drama malam itu.
Seluruh penonton menahan nafas saat di lakonkan Sampek dan Entay mati dan berubah wujud menjadi kupu-kupu pada akhir cerita. Seluruh penonton berdiri sambil bertepuk tangan diselipi rasa pilu karna akhir cerita yang menyedihkan tentang kasih tak sampai, tak selesai sampai di situ tiba-tiba dari atas atap puluhan kupu-kupu kertas bertebaran di antara kursi penonton. Mata para penonton terbelalak terkagum-kagum, kami seperti di tarik kedalam cerita menyaksikan kupu-kupu perwujudan Sampek -Engtay yang terbang mencari kebebasan cinta.

Tanpa sadar kugengam tangan Kang Pujo sambil  memunguti kupu-kupu kertas yang berhamburan di sekeliling kami.

"Terima kasih Kang,ini luar biasa."  Bisikku pelan.

"Aku bahagia kau senang,Mul. Sudah lama aku tak melihat kau tersenyum."

"Kang,aku berencana pulang ke desa. Kupikir akan lebih baik jika aku pulang."

"Kapan kau akan kembali,Mul?"

"Entahlah,Kang mungkin aku tak kan kembali, setelah semua yang terjadi padaku aku tak menemukan alasan untuk kembali kesini."

"Mul,mungkin ini terlalu cepat tapi aku akan mengunggumu kembali sampai kau siap untuk kembali."

"Maksud Kang Pujo?"

"Mul,Kau perempuan yang baik. aku ingin kau menjadikan aku sebagai alasan kembali ke sini kelak, saat kau benar-benar sembuh dari lukamu. aku tau ini terlalu cepat hanya saja aku yakin aku tak salah tentangmu tentang ketulusanmu pada keluargaku karena itu ijinkan aku memilihmu."

Aku terdiam namun ada sekelumit ketulusan kulihat di sudut mata Kang Pujo,ketulusan yang mungkin akan membantuku bangkit dari keterpurukan suatu saat nanti.

"Aku tak bisa menjanjikan apa-apa, Kang. Saat ini hanya ketenangan yang aku cari karena itu jangan menungguku!"

"Aku tau kau akan kembali, Mul karena itu aku sanggup menunggu."

"Terimakasih, Kang. Aku akan berusaha kembali bukan untukmu, bukan untukku tetapi untuk kita."

Kami saling bertatapan di anatara kupu-kupu yang bertebaran berharap suatu saat nanti kamipun mampu mengecap cinta setia seperti lakon drama itu.

#SELESAI

*SELESAI*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MULYANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang