So Simple

28 4 12
                                    

"Eh, Dis, tau ga video yang lagi viral?"
"Apaan?"
"Itu, so simple na."
"Oh yang namanya kek gerbong kereta itu?"
"Iya bener. Haha gue ngakak sampai batuk-batuk. Untung bokap gue nggak ada, bisa-bisa berabe."

Yudhis tersenyum. Di hadapannya, seorang cewek sederhana dengan hidung tidak terlalu mancung tapi juga tidak terlalu pesek sedang menyeruput cokelat panas yang barusan ia beli dari kantin. Mereka sedang ada di taman depan Fakultas Kesenian, di bangku dengan meja bundar berwarna putih di tengah-tengahnya.

"Ra, DOTA 2 seru deh."
"Ah, lo mah game mulu, Dhis. Gue nyuruh lo bikinin gambar muka gue, mana?"

Senyum Yudhis makin lebar. Duh, cewek ini, pikirnya.

"Muka lo mah, simpel aja, Ra. Mau ngelukis sambil nutup mata pun gue bisa." Yudhis menyibakkan rambut mohawknya dengan bangga.

"Duuh, plis deh. Kalau simple, mana? Nggak ada, tuh. Sampai sekarang."

Nadira Anindya, cewek yang sedang berbicara ini menaikkan kacamatanya yang melorot karena menghindari tatapan terlalu percaya diri dari Yudhis. Dia memang selalu risih dengan tatapan itu.

Masalahnya, bukan hanya karena berisi kenarsisan seorang Yudhis, melainkan juga tatapan yang memaksanya untuk terus menatap Yudhis.

"So simple na."
"Kalau gitu kasihin ke gue."
"Lo ga liat ya?"
"Liat apaan?"
"Lah lo beneran ga liat?"

"Apaan sih, nggak ngerti gue."

Nadira mengenyit. Orang ini memang suka sekali bertele-tele. Ah, sudahlah. Nadira menyerah dan menyeruput cokelat panas di hadapannya.

"Yaudah deh, gausah, Dhis."

"Yee, jangan ngambek. Udah asem makin asem lo," goda Yudhis sambil tertawa.

"Eh, apaan? Lo, tuh, asem."

"Engga, gue manis, dan tampan. Mirip personel K-Pop nih, liatin, kesukaan lo kan? Si..siapa namanya..Cha..?"

"Chanyeol." Nadira menjawab cepat.

"Nah iya itu."

"Lo mah mirip upilnya, Dhis."

Nadira tergelak. Yudhis melongo. Bener-bener deh, cewek ini, pikirnya lagi.

"Ah udah ah, suka tuh yang produk lokal, kayak gue," Yudhis mengulurkan tangannya untuk memukul pundak Nadira

"Gue sukanya Korea." Nadira menjulurkan lidahnya.

Yudhis cemberut. Padahal yang selalu bersama Nadira kan dia, bukan si Cha..siapa? Yang jelas, dia merasa tersaingi. Untuk itu, dia memutar otak. Sebuah ide terlintas.

"Masalah gambar tadi, gue udah bikin."

"Serius? Mana sini cepetan!" Suara Nadira meninggi, pertanda semangatnya makin meningkat.

Ekspektasi Nadira, Yudhis bakal merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa gulungan kertas. Tapi yang sebenarnya terjadi malah di luar dugaan.
Teman masa kecilnya yang agak sinting itu malah berdiri, mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa sentimeter.

"Eh Dhis, Dhis, lo--?!"
"Jangan ngeres dulu. Nih, liat nggak lukisannya?"

"Hah?" Nadira tak habis pikir.

"Tadi malam lo ngelukis di muka ya?"

Yudhis menghembuskan napas tak sabar.

"Liat biji mata gue. Biji mata."

Mengikuti perintah, Nadira menatap lurus ke arah mata Yudhis.

"Kenapa biji mata lo?" tanya Nadira tidak sabaran.

"Liat pantulannya. Ada muka siapa?"

"Astaga!" Nadira memekik dalam hati.

"Eh! Jauh-jauh!" spontan Nadira mendorong Yudhis dengan tenaga yang cukup besar hingga berhasil mendudukkan Yudhis kembali ke kursinya.

Meskipun Nadira mendorongnya, Yudhis cukup puas dengan rona merah yang mulai merambati pipi Nadira.

"Nah, tuh. Gue nggak bohong, kan? Lo aja yang nggak pernah sadar." Yudhis menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Emangnya Cha..siapa itu, bisa gini ama lo? Cuma gue yang bisa." Yudhis menambahkan dengan penuh percaya diri.

"So simple na~"

Setelah mengucapkan itu, Yudhis terbahak.

Nadira? Lupakan.

Ia berharap Yudhis terjerembab atau apalah itu agar tak melihat rona di wajahnya.

Tapi dia juga tidak bias memungkiri rasa bahagia yang ada di dadanya.




L[O]VE COMPILATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang