Harapan, Kamu dan Musnah

24 2 0
                                    

Krak!

Suara apa itu?

Tunggu, kenapa leherku tidak bisa di gerakkan? Tanganku, kakiku, tubuhku kenapa tidak bisa bergerak?

Siapapun, tolong ajari aku bergerak. Tidak-tidak mungkin berkedip. Atau yang paling mudah berteriak, jangan! Menangis, aku ingin menangis.

Apa aku mati?

Tapi aku masih bisa mendengar, dari tadi saluran radio favoriteku masih menjadi pengisi suara di ruangan ini. Meski aku merasa saat ini benar-benar sendiri, sampai lagu 'Bila rasaku ini rasamu' dari Krispatih band mengalun dengan mulus.

SIALAN!

Oh asataga, aku tidak ingin mengumpat. Tapi ada apa dengan hari ini atau, kenapa aku hari ini. Seolah semua sedang bersekongkol mencokol hatiku. Dengan kurang ajar burung-burung gereja di luar sana menari-nari di depanku. Langit yang akhir-akhir ini mendung sekarang nampak biru cerah tak berawan. Erico, ikan koki peliharaanku yang dari kemarin malas-malasan berenang sekarang berkecipak kesana kemari.

Jadi benarkan, mereka bersekongkol mengejekku.

Aku mengerang dalam diam. Lalu bait demi bait lirik lagu itu sekonyong-konyong menembus hatiku. Menciptakan lara yang teramat sangat. Kalau ini sebuah film, mungkin lagu ini bisa dengan sukses menembus pasaran karena sangat membantu dan mendukung kisah di dalamnya.

"Tunggu aku kembali." ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.

Hatiku bergetar sama dengan getaran yang aku tangkap dari caranya menatapku. Ini yang di sebut resonansi, di mana ketika suatu benda berfrekuensi sama, akan bergetar jika salah satu dari mereka bergetar. Ya, aku merasa hatiku sudah menyatu dengannya sejak lama. Mungkin sejak pertama aku melihatnya.

Aku hanya bisa membalas senyum terpaksanya dengan penuh keyakinan. Bukan keyakinan yang tumbuh karena ia bangun tapi, keyakinan yang ada tanpa ia minta. Akupun tidak mengerti, aku belum pernah seyakin ini sebelumnya kalau berurusan dengan laki-laki.

Kenangan selama enam tahun terkhir tiba-tiba terputar kembali seperti DVD rusak. Bagaimana kita pernah bermimpi bersama, angan, cita-cita dan do'a melebur begitu saja.

"Aku ingin melihat Kakbah dua puluh tahun dari hari ini. Bersama kamu dan dua anak kita." ucapnya dengan sangat indah. Kami sedang duduk di serambi surau setelah selesai mengaji. Langit jingga di ufuk barat menambah syahdunya suasana sore itu.

Kau tahu? Semua inginmu adalah inginku.

"Aamiin..." balasku, ku beri dia senyuman termanis menurut versiku. Lalu suasana menjadi hening, mata kami menatap objek yang sama. Langit jingga. Aku yakin waktu itu bukan aku saja yang membayangkan dua anak menggandeng tangan kami di antara kerumun orang-orang tinggi berbaju serba putih. Lucu sekali.

Sadar Meisya!

Kupandangi serangkaian abjad yang tertulis dengan sempurna di kertas yang sejak tadi ku pegang. Bagaimana bisa nama itu yang ada di sana? Apa arti sore itu sekarang? Sekali lagi, ajari aku untuk menangis.

Jadi untuk ini aku menunggu?

Ku pikir kamu pergi untuk merealisasikan mimpi-mimpi kita. Genap dua tahun sudah aku menunggumu. Menunggu yang kata orang lain membosankan ternyata tidak menurutku. Menunggumu adalah suatu yang menyenangkan dan indah sebab aku di temani dengan harapan-harapan yang segera ingin ku wujudkan, bersamamu tentunya. Walau kadang rasa rindu kerap membakar emosiku tapi di situlah letak indahnya. Gila memang, itulah cinta.

Empat belas hari yang lalu kamu mengirimku pesan singkat. Pesan yang kamu kirim dari negeri gingseng tempatmu mencari masa depan. Awalnya aku tersenyum bahagia, pasalnya pesanmu adalah salah satu cara mengobati rindu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LET'S RUN WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang