Look

202 9 7
                                    

Gerimis mulai menderas, membasahi jalanan yang tandus. Payung segera dikembangkan, orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Uap dingin segera menghinggapi kaca-kaca jendela di dalam radius hujan.

Aku menyeruput latte hangat, begitu menenangkan. Suara nyanyian katak mengiringi derasnya hujan, menenggelamkan kotaku ini sedikit demi sedikit. Perlahan semua terasa semu, ruangan terasa semakin riuh, bayangan-bayangan terus menghantui pandanganku yang mulai kosong.

Tentang dirinya, ketika menaiki panggung, disaat ia melayani pelanggan. Senyuman manisnya kepada semua orang mampu meluluhlantakkan hati, yang beku sekalipun, lesung pipi yang indah terukir di lekuk senyumannya, rambutnya bergelombang kemerah-merahan, dan rona merah di pipinya melengkapi segalanya.

Semua bayangan itu mengabur, tinggal menyisakan ruangan sepi dan senyap dengan sesekali petir menyahut. Perlahan, kucium wangi espresso menguar, memenuhi ruangan. Aku menunggu dan menebak, siapa yang akan mengantarkan espresso itu. Satu, dua, tiga ... bel segera berbunyi, segelas espresso panas segera diambil dan diantarkan ke pelanggan. Dan, aku sedikit kecewa, bukan dirinya yang keluar mengantarkan pesanan itu melainkan orang lain. Sudah berapa banyak aku minum kopi disini? Tujuh, delapan? Aku mabuk dibuatnya, saatnya membayar semua ini dan pulang kerumah.

Tempat pelarian sejenak ini enggan rasanya kutinggalkan, tapi dirinya absen di pandanganku, tak ada guna aku berlama-lama disini. Suara hujan semakin menderu kencang, aku menyegerakan mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan membayar di kasir. Aku berlari kecil sembari meninggalkan kasir menuju pintu keluar, berhenti sejenak, lalu menerobos deras hujan.

Suara perempuan berteriak memanggilku, melawan kencangnya suara hujan yang membisukan. Aku segera menoleh ke belakang, dan aku melihatnya di depan pintu masuk, itulah gadis yang sedari tadi kutunggu. Wajahnya terlihat khawatir, dan dilihat dari gerakan tangannya dan apa yang dipegangnya, ia ingin meminjamkanku payung miliknya. Aku melempar senyum padanya, dan memberikan gestur tangan 'tak perlu, aku tak apa-apa'.

Dan pandanganku mulai menghitam, suara hujan berganti dengan bunyi dengung yang memekakkan. Aku merasakan panas hingga ke ubun-ubun ku, lalu dingin menyentak tubuhku setelahnya. Tubuhku seketika ambruk.

Aku telah pergi, meninggalkan dirinya dengan senyum manis-ku, tugasku sudah selesai disini. Selamat tinggal Sayangku, aku menantimu di surga-Nya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antologi Rasa [Over]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang