"Kastil hilang?!" kami berseru bertiga bebarengan.
Tan mengangguk. "Iya. Apa kalian memang bisa?"
Aku menatap teman-temanku. "Aku nggak tau. Aku nggak yakin."
"Yakinkan dirimu, Tha. Kamu pejuang Raja Beary secara langsung," kata Tan. "Yemimma, bawa anak ini ke kamarnya."
Kami mengekor Yemimma. Tak mengerti semuanya. Entah dunia apa yang ada didepanku sekarang. Dunia yang asing dan aneh. Lalu, maksud dari makhluk hitam itu apa? Maksud dari kastil yang hilang itu apa? Bukankah kastil yang sebesar sekolah itu tak bisa menghilang? Bukankah itu bangunan permanen?
"Disini kamar karantina kalian." ucap Yemimma dingin lalu meninggalkan kami.
Aku dan kedua temanku masuk ke kamar itu. Mengejutkan! Kamar itu persis seperti kamarku. Barang-barangnya pun terjajar rapi dan persis seperti aku menatanya. Buku-buku pelajaran juga ada disana. Tapi, tak ada barang elektronik disana. Ponselku yang mulanya ada disaku celana, raib. Entah kemana.
"Kamu mau tidur dimana?" tanya Febri.
"Terserah, Feb." jawabku datar.
Febri segera duduk di ranjang yang paling utara. Disusul Lizzie yang ada di ranjang tengah. Dan aku di ranjang yang paling selatan. Aku menutup mataku.
♣♠♣
Pagi datang. Aku menggeliat di ranjang terlebih dahulu. Aku melirik ke ranjang temanku, mereka sudah tak ada. Aku mengedarkan seluruh pandangan kepenjuru kamar.
"Ish, baru bangun!" seru Febri.
"Aish, ngagetin orang aja!" aku cemberut.
Febri terkekeh pelan. "Dicari sama Tan. Nggak tau ada apa."
Aku menatap matanya. "Eh? Mandi dulu, ah! Kamar mandi dimana?"
Febri menunjuk kesalah satu pintu dipojok kanan. Aku segera masuk ke dalam kamar mandi. Dan hebat! Kamar mandinya sungguh indah. Ada bathub, shower, dan beberapa alat mandi yang sangat canggih. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membersihkan badanku.
Aku memakai pakaian khas makhluk hitam, jubah hitam. Bukan memakai seragam SMA-ku lagi. Namun, kali ini rambutku kuhias menggunakan jepit bunga berwarna merah muda. Tiap sisi dijubah itu ada gambar bunga berwarna merah. Aku keluar kamar dan mulai menuju ruang makan. Disana sudah ada Lizzie, Febri, Tan, Yemimma, dan seseorang yang seperti Yemimma. Mungkin itu adalah Rabita.
"Selamat pagi, Thabrina!" sapa Tan. "Ayo, duduk. Silahkan dimakan."
Aku duduk disebelah Lizzie. Aku mulai mengambil makanan yang sama dengan Lizzie. Makanan ini begitu aneh.
"Baik, Thabrina. Kujelaskan tentang kastil yang hilang itu." ucap Tan. "Lima ratus tahun lalu, diujung kota ini ada sebuah kastil. Kastil itu dikelola oleh Raja Beary. Sangat bijaksana. Hingga suatu saat, makhluk putih mulai masuk ke dunia hitam. Mereka menghancurkan segalanya. Raja Beary berusaha melindungi kota ini hingga beliau ikut turun tangan. Namun, nasib tak berpihak padanya. Beliau mati dalam penjajahan itu. Pesan terakhir, dia akan menyembunyikan kastil itu. Hingga seseorang datang untuk mendirikannya lagi. Banyak yang sudah mencoba, tapi hasilnya nihil. Mereka tak pernah pulang dengan selamat."
Aku terdiam. Menyisakan suara kayu yang terbakar. Jadi, maksud Raja Beary apa? Masih sama. Tak berubah dari tadi. Aku masih berpikir. Aku hanya gadis biasa. Tak ada yang bisa mendengar suara hatiku. Aku hanya bicara pada diriku sendiri.
"Ngg... maaf, Tan, tapi aku 'kan masih remaja gini." ucapku diikuti anggukan kedua temanku.
"Tha, untuk jadi seorang penyelamat nggak memandang usia. Semua bisa jadi penyelamat asal kita berusaha. Ingat, Tha, mungkin kamu masih belum mengerti tentang kekuatanmu, tapi, percayalah kalau kekuatanmu melebihi siapapun. Kekuatanmu sebanding dengan Raja Beary." kata Tan.
♣♠♣
"Kamu bakal cari kastil itu?" tanya Febri seusai kami selesai sarapan.
Aku menggeleng. "Nggak tau, Feb. Tapi, ini 'kan perintah. Apalagi Tan sudah konfirm ke kita."
"Tapi, Rin, nyawa kita bisa terancam," kata Lizzie. "aku nggak mau pulang cuma tinggal nama."
"Tenang, Liz. Tan nggak bakal kasih tugas yang mengancam nyawa. Dia tau, ini aman." aku berusaha menenangkan Lizzie.
"Rina, mungkin kamu nggak khawatir. Tapi, aku? Aku belum sempat ucapin perpisahan. Please, Rin, tolak semua ini." kata Lizzie dengan nada memohon.
"Aku nggak tau jalannya bakal gimana, tapi yakin aja. Tuhan sama kita semua. Dia nggak bakal tinggal diam kalau ada hamba-Nya yang kesusahan." aku mulai membujuknya. Bukan berarti, aku menyetujui permintaan Tan, hanya saja aku tak enak bila menolak permintaannya.
"Udahlah, Liz, tenang aja. Mung—"
"Iya! Kamu bisa tenang, Feb! Tapi aku nggak bisa!" seru Lizzie sambil terisak.
Kriett...
Tan masuk ke kamarku dengan membawa nampan. "Hei, kalian. Maaf, aku mendengar pembicaraan kalian tadi. Sungguh, bila kalian merasa keberatan dengan ini, kalian bisa mengutarakannya padaku. Dengan senang hati, aku akan mengembalikan kalian keasalnya."
Tuh, 'kan? Jadi nggak enak sama Tan. Aku masih berpikir, bukankah ini bagus? Namun mengapa Lizzie menggeleng?
"Enggak usah, Tan. Kata Rani memang benar," kata Lizzie dengan sisa-sisa isakannya. "mari selesaikan ini lalu pulang."
Tan tersenyum. "Terima kasih, Liz. Kami nggak—"
"Enggak, Tan, ini memang kewajiban kita, 'kan?" putus Lizzie sambil memandang kearahku dan Febri.
Tan mengangguk dan berpamitan untuk keluar dari kamar kami. Lizzie menutup wajahnya. "Rin, kita harus gimana?" tanya Lizzie dengan lirih.
Aku mengelus rambutnya. Kasihan. Bukankah ini yang kamu inginkan, Liz? Dulu kamu sering berkhayal. Bagaimana indahnya berpetualang, melihat alam yang begitu indah. Namun, kenapa sekarang kamu menangis?
"Itu beda lagi, Rin. Aku cuma pengen lihat-lihat alam di dunia kita. Bukan disini." kata Lizzie seakan bisa membaca pikiranku.
"Tenanglah, Liz. Mungkin kamu khawatir, aku juga. Tapi, kita satu-satunya harapan buat kota Rozya. Pikirin lagi, Liz, siapa tau kamu berubah pikiran." kata Febri seraya pergi dari kamar kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
THABRINA KHUSAINI: When I See the Hidden Castle
FantasyNamaku Thabrina Khusaini. Baru saja berulang tahun yang keenam belas. Aku kelas X-D di salah satu SMA elite di Yogyakarta. Aku seorang K-POPers. Awalnya tak sadar. Awalnya pun tak mengerti. Seseorang memanggilku Thabrina. Terdengar seperti bisikan...