2 tahun kemudian...
Ghalin menutup laptop dihadapannya, menghela napas perlahan. Manik mata indah dan jernih itu menerawang keluar jendela kamar yang telah dia tempati 6 bulan belakangan ini. Waktu terlama diantara tempat-tempat lain yang ia kunjungi dalam 2 tahun terakhir. Hamparan biru laut dan desiran ombak senja itu membawa ketenangan yang perlahan merasuk jiwanya, dalam, selaksa embun di pagi pertama setelah satu musim kemarau panjang.
Tubuhnya bangkit berjalan lebih dekat menuju jendela, ingin menikmati semilir angin yang sedari tadi menggodanya. Tampak anak-anak berlari di pesisir pantai, menendang bola, dan tertawa meningkahi kelakuan kawan lainnya. Betapa bersyukurnya ia masih bisa menikmati semua keindahan ini. Surga itu bernama pantai Tangsi, pantai yang terletak di desa Sekaroh kec. Jerowaru kab. Lombok Timur. Pantai dengan hamparan pasir berwarna pink dan tekstur selembut bedak. Kecantikan tersembunyi yang diharapkan bisa mengobati luka hati. Dalam 2 tahun ini ia telah berusaha, semampu yang ia bisa mengobati luka itu. Lebih banyak menulis, lebih banyak membaca, lebih banyak berserah dan memohon ampunan pada-Nya. Dan lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru.
Tapi semuanya tidak akan pernah sama lagi. Sejak ia memutuskan untuk pergi dari kehidupan pria yang begitu ia cintai dan setelah bertubi-tubi kejadian traumatis yang telah menimpanya. Ia tak yakin akan keutuhan hatinya, mencintai dengan begitu dalam lalu terluka, dilecehkan, dan hampir direbut kehormatannya. Ghalin tidak merasa pantas untuk siapapun. Kepingan hatinya luluh lantak, terlalu berdarah, terlalu bernanah dan waktu belum mampu menyembuhkannya. Ia merasa jiwa dan raganya terlalu cacat untuk dipersembahkan bagi pria manapun. Dirinya terlalu takut untuk kembali merasakan luka itu lagi.Ingatannya melayang pada malam itu, malam 2 tahun lalu.
Flashback,,,
Setelah suara dengkuran halus terdengar di sofa kamar itu, Ghalin segera bersiap. Berusaha melakukan setiap gerakan sehalus mungkin, meminimalkan suara-suara yang mungkin akan terdengar. Ditatapnya wajah tampan yang tengah terlelap itu, merekam semuanya dalam satu pandangan mata sambil memantapkan hati bahwa ini yang terbaik. Mengambil selembar post-it. Aku akan pulang ke Indonesia. Segera. Terimakasih untuk satu hari indah yang kamu beri dan lima tahun kebersamaan kita.Ia letakkan pesan singkat itu diatas meja, lalu mengambil tasnya. Perlahan membuka pintu dan menutupnya tanpa menoleh kembali. Sudah cukup, kisah ini berakhir. Batin Ghalin.
"Frau Fay?" Sebuah suara mengintrupsi Ghalin begitu ia sampai di lantai bawah. Ia menatap terkejut Ben, anak Bibi Susan.
"Ya Ben." Jawab Ghalin, tenang.
"Anda mau kemana malam-malam begini? " tanya Ben, jenis pertanyaan sopan yang dimaksudkan untuk membantu, bukan mengintimidasi.
"Saya ingin kembali ke Berlin malam ini, ada beberapa urusan yang akan saya selesaikan besok pagi. Bisa kamu bantu saya Ben?" Tanya Ghalin. Mata Ben tampak berfikir.
"Saya tidak punya banyak waktu, karena akan mempersiapkan kejutan bagi suami saya. Bisa bantu saya?" Tanya Ghalin kembali.
Ben mengangguk, dari bibirnya tersungging senyum tulus."Ikut saya, saya antarkan anda sampai travel terdekat"
Setelah berpamitan dengan Ben malam itu, Ghalin langsung kembali ke apartement. Mengepak pakaian dan pergi. Tak dihiraukannya tubuhnya yang lelah. Ia sudah memutuskan menyewa sebuah kamar kosong beberapa blok dari apartement lamanya. Ia akan menunggu disini selama yang dibutuhkannya. Ia meminimalisir kemungkinan Galen mengecek daftar penumpang pesawat yang akan kembali ke Indonesia. Di hari ke 20, Ghalin memutuskan untuk meninggalkan Jerman, kembali ke tanah air.
Entah apa yang akan ia katakan pada keluarganya, yang pasti bahwa ia butuh menenangkan diri.