Berita tentang Mbah Sidiq sudah sampai ke
daerah kami. Entah siapa yang mula-mula
menyebarluaskannya. Yang jelas, kini kebanyakan
penduduk-sebagaimana penduduk di beberapa
daerah lain-sudah seperti mengenal Mbah Sidiq,
meski belum pernah bertemu dengan orang yang
dianggap istimewa itu. Memang ada diantara
mereka yang mengaku sudah mengenalnya
secara pribadi, bahkan mengaku sudah menjadi
orang dekatnya. Sering dibawa-bawa pergi
keliling. Bila si Mbah datang ke daerah kami,
selalu singgah ke rumah mereka. Dari mereka
inilah nama Mbah Sidiq “melegenda”, termasuk
di daerah kami.
Mereka yang mengaku dekat dengan Mbah Sidiq
ini paling suka bercerita atau ditanya tentang
Mbah Sidiq. Cerita mereka selalu mengasyikkan,
terutama karena cara mereka bercerita memang
benar-benar meyakinkan. Seperti Nasrul-seorang
“aktivis” di tempat kami yang memang biasa
mengantar orang ke tempat Mbah Sidiq itu.
Wah, dasar pinter omong, kalau bercerita
tentang Mbah Sidiq, Nasrul bisa membuat orang
lupa acaranya sendiri.
“Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke
makam Sunan Ampel di Surabaya,” kata Nasrul
suatu hari di warung Wak Rukiban yang biasa
dipakai mangkal Nasrul dan kawan-kawan. “Saya
piker beliau akan berdo’a di makam wali itu;
ternyata tidak. Tahu apa yang beliau kerjakan di
makam?” Nasrul sengaja berhenti sejenak,
seperti menunggu jawaban dari orang-orang
yang asyik mendengarkannya.
“Apa?” tanya beberapa orang serempak.
Nasrul tersenyum. Senang pancingannya
bersambut. Dia menghirup kopinya dulu
sebelum kemudian melanjutkan,
“Tahu tidak? Beliau berdiskusi dengan Sunan
Ampel serius sekali.”
“Berdiskusi?” kini serempak semua yang
mendengarkan bertanya. Nasrul tampak semakin
senang.
“Ya, berdiskusi laiknya dua tokoh yang sedang
membahas suatu masalah penting.”
“Dari mana kau tahu beliau sedang berdiskusi
dengan Sunan Ampel?” tanya Pak Manaf, guru SD
yang mulai tertarik dengan tokoh yang menjadi
buah bibir itu.
“Bagaimana saya tidak tahu, wong saya duduk di
belakang beliau. Memang saya sendiri tidak
mendengar suara Mbah Sunan, tapi dari bicara
dan sikap Mbah Sidiq, jelas beliau sedang
berdiskusi.”
“Apa yang mereka diskusikan?” tanya Mas Slamet
Pemborong, benar-benar ingin tahu.
“Saya tidak tahu persis, tapi saya dengar Mbah
Sidiq berkali-kali mengatakan, ‘Eyang harus
menolong mereka!’ Tentu saja saya tidak berani
bertanya kepada beliau, siapa yang beliau
maksud dengan ‘mereka’. Tapi ketika
meninggalkan makam, beliau berkata kepada
saya, ‘Sudah, beres sekarang! Orang-orang itu
suka berbuat seenaknya sendiri; nanti kalau ada
masalah, awak pula yang disuruh memecahkan.
Dasar politisi!’ Dari sini saya menduga agaknya
beliau mendiskusikan soal politik dengan Mbah
Sunan.”
Siapa Srul, orang-orang yang digerunduli Mbah
Sidiq dan disebut politisi itu?” Tanya Mas
Slamet lagi.
“Persisnya saya tak tahu. Soalnya banyak orang
gede dari Jakarta yang sowan Mbah. Mulai dari
pengusaha besar; anggota DPR, sampai menteri.
Bahkan ada jenderal yang sering sowan
sendirian. Saya hanya tahu beberapa diantara
mereka; kebetulan saya sering melihat mereka di
TV.”
“Ngapain aja orang-orang gede itu datang ke
Mbah Sidiq?”
“Lho, orang-orang gede itu kan banyak mikir ini-
itu, dan di jaman sekarang ini banyak hal yang
tidak bisa dipecahkan hanya dengan pakai otak.
Mereka itu, kalau sudah buntu pikirannya,
datang ke Mbah minta fatwa dari langit.”
“Ngomong-ngomong, apa benar; Srul, Mbah Sidiq
itu suka menggigit tamunya?” tanya Wak Rukiban
tiba-tiba.
“Ah, ya nggak mesti,Wak. Lihat-lihat tamunya.
Biasanya, Mbah menggigit telinga orang yang
wataknya bandel. Seperti Parman yang suka
bikin jengkel ibunya itu kan pernah kena gigit.
‘Telinga gunanya untuk mendengar!’ kata Mbah
waktu itu sehabis menggigit telinga Parman.
Tapi ada juga tamu yang beliau ciumi atau
beliau kasih duit.”
“Katanya Mbah Sidiq tidak pernah salat Jum’at,
Kang Nasrul” tanya Haji Kusen yang dari tadi
mendengarkan sambil menyantap nasi rawon.
“Lho Mbah Sidiq kan tidak seperti kita. Mbah
kalau Jum’atan di Mekkah. Sampeyan tidak
pernah mendengar cerita Haji Narto yang
bertemu Mbah di pasar Seng Mekkah? Padahal
tahun ini Mbah Sidiq tidak naik haji. Tanyakan
kepada isteri-isteri Mbah yang selalu menerima
oleh-oleh dari beliau! Kadang-kadang Mbah
mengoleh-olehi mereka karung; kadang akik
Fairuz; kadang kurma Medina. Pokoknya Mbah
selalu membawa buah tangan dari tanah suci
untuk isteri-isterinya. Padahal setahu orang-
orang, Mbah tidak kemana-mana.”
“Berapa sih isteri Mbah Sidiq Srul?” tanya Wak
Rukiban sambil meletakkan piring pisang goreng
yang masih mengepul.
“Seandainya boleh lebih, ya bisa banyak, Wak.
Wong banyak yang ngunggah-ngunggahi,
kepingin mendapat berkah. Tapi kan kuotanya
cuma empat. Jadi Mbah cuma punya empat.”
“Tapi apa benar dia itu kiai?” tiba-tiba Pak Guru
Manaf kembali bertanya. “Saya dengar dia itu
tidak bisa mengaji.”
Nasrul kelihatan tidak suka dengan pertanyaan
Pak Manaf; apalagi dia menggunakan kata ganti
“dia” untuk orang yang sangat dihormatinya,
tidak menggunakan “beliau”. Maka dengan nada
jengkel yang tidak ditutup-tutupi, Nasrul
berkata, “Memang orang yang tidak tahu ilmu
hakikat pasti bingung melihat Mbah Sidiq. Mbah
Sidiq itu-tidak seperti kau-bisa pagi tidak tahu
apa-apa, malam harinya tiba-tiba sangat alim
melebihi kiai mana pun!”
“Ah, masak iya, Srul?” tukas Pak Manaf tidak
percaya.
“Wow kamu sih. Dasar sekolah umum!” Nasrul
mulai benar-benar marah lantaran ceritanya tak
dipercayai. “Beliau itu setiap hari ketemuan
Syeikh Abdul Qadir Jailani. Jangan sembarangan
kau! Kualat baru tahu! Saya menyaksikan sendiri
bagaimana Mbah berdebat dengan kiai, dengan
dosen, dengan orang-orang pintar; semuanya
tidak berkutik di hadapan Mbah.
***
Beberapa bulan kemudian di warung Wak
Rukiban. “Ada yang tahu kabarnya Nasrul?”
tanya Wak Rukiban kepada para langganannya
sambil menyodorkan kopi pesanan. “Sudah lama
sekali dia tidak ngopi kemari.”
“Mungkin sedang keliling dengan Mbahnya,”
sambut Pak Manaf.
“Jangan-jangan sakit?” celetuk Mas Slamet
Pemborong.
“Nggak kalau sakit,” sahut Haji Husen. ‘Kemarin
dulu saya kerumahnya. Kata orang yang
nungguin rumahnya, dia sedang keluar kota.
Istrinya malah sudah duluan pergi. Mungkin
Nasrul nyusul istrinya.”
“Orang yang nungguin rumahnya nggak bilang
mereka ke mana, urusan apa?” tanya Mas Slamet.
“Wah, saya tidak macam-macam,” jawab Haji
Kusen, “wong saya datang hanya karena ingin
ketemu Nasrul yang sudah lama tidak kelihatan
batang hidungnya. Nggak ada urusan lain.”
“Pastilah seperti biasa, Nasrul ngederekke Mbah
Sidiq!” tegas Pak Manaf yakin.
“Nggak!” sela Wak Rukiban “Kalau pergi
mengikuti Mbah Sidiq, paling lama seminggu-
dua minggu. Malah cerita tentang dia kemudian
yang berminggu-minggu.”
“Bagaimana kalau nanti kita ramai-ramai ke
rumahnya?” usul Mas Slamet.
Belum lagi semuanya menyampaikan
persetujuan, tiba-tiba masuk orang yang sedang
mereka bicarakan.
“Wah, panjang umur kau, Srul!” sambut Wak
Rukiban gembira. “Baru saja kami
membicarakanmu.”
Semuanya pun berdiri menyalami seperti
menyambut orang penting datang. Nasrul
sendiri kelihatan tidak seperti biasanya.
Badannya tampak kurus. Wajahnya pucat. Dia
menyalami kawan-kawannya tanpa semangat.
Bahkan secuil senyum pun tak tersungging di
bibirnya. Duduknya pun seperti terhempas
begitu saja. Dia mengambil nafas panjang, baru
kemudian berkata lirih, “Kopi, Wak!”
Tentu saja kawan-kawannya heran. Mereka saling
berpandangan satu sama lain. Bertanya-tanya
dalam diam. Tapi seperti sepakat, mereka tidak
berkata apa-apa, menunggu Nasrul sendiri yang
mulai bercerita seperti biasanya. Ketika Wak
Rukiban menyodorkan kopi pun mereka hanya
mengucap, “Silahkan Srul!”
“Terimakasih, Wak!” kata Nasrul lirih, kemudian
menuang kopi pelan-pelan ke lepeknya. Kawan-
kawannya hanya mengawasinya. Mereka melihat
tangan Nasrul gemetar hingga menumpahkan
kopi di sekitar lepeknya, tapi mereka semua
tetap diam.
Nasrul menghirup kopinya sambil memejamkan
kedua matanya, seperti angin meresapkan sari
kopi ke dalam dirinya. Begitu habis kopi di lepek
diminumnya, dia menuang lagi dan
menumpahkan lagi di sekitar lepek. Setelah
meminum kopi yang kedua kalinya, tangannya
merogoh saku dan mengeluarkan rokok
kreteknya. Dengan gemetar dilolosnya sebatang
dan diselipnya di mulutnya. Tanpa berkata-kata,
Pak Manaf yang ada di dekatnya menyalakan
korek untuknya.
Seperti ketika meminum kopi, Nasrul kemudian
menghisap rokoknya sambil memejamkan mata.
Dua-tiga isapan, baru kemudian Nasrul
memandangi satu-satu wajah kawan-kawannya,
seolah-olah dia baru menyadari kehadiran
mereka. Pak Manaf sudah hampir tidak sabar
menunggu. Sudah hamper membuka mulut.
Tiba-tiba terdengar suara Nasrul seperti bukan
dari mulutnya sendiri. Lirih tapi terdengar
sangat keras dan tajam bagai sembilu: “Sidiq
bajingan!”
Hampir semua mulut kawan-kawannya ternganga
seperti merekalah yang terkena tikam umpatan
Nasrul itu.
Belum hilang tanda tanya mereka, Nasrul sudah
bergumam lagi, “Wali macam apa itu? Seperti
tahi termakan, aku menyesal ikut membesar-
besarkan namanya. Bangsat! Penipu!” Semakin
serak suara Nasrul, kemudian pecahlah
tangisnya.
Diletakkannya kepalanya di atas meja tanpa
menghiraukan tupahan kopi yang mengotorinya.
Spontan Pak Manaf meletakkan dan menepuk-
nepuk tangan ke pundaknya penuh iba.
“Sabar Srul. Apa yang terjadi? Ceritakanlah
kepada kawan-kawanmu ini. Tumpahkan semua
isi dadamu, biar lega!”
“Maaf, Kang!” Nasrul mencoba mengangkat
kepalanya kembali. “Aku kurang sabar
bagaimana? Semua yang diminta -bahkan banyak
yang tidak diminta-sudah aku berikan. Sawah
dan sapiku kuserahkan kepadanya. Sepeda motor
kujual untuk menyenangkannya. Lho kok tega-
teganya membawa kabur isteriku! Masyaallah!
Manusia laknat macam apa itu?! Dipukulnya
tangannya ke meja hingga menggulingkan
beberapa cangkir dan gelas.
Semuanya terkesiap. Semuanya seperti tak
percaya akan apa yang mereka dengar.
Semuanya merasa seperti ada tikaman duka yang
mengenai Nasrul, tembus ke dada-dada mereka
sendiri.
Rembang, 6 Oktober 2002

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen "Gus Mus"
RandomVoment ya... Cuman pengen search cerpen karya K.H. Mustofa Bisri "Gus Mus" Cerita inspiratif..