Vio & Hegi (1)

13 3 0
                                    

"Mungkin sekarang kamu bisa mainin perasaanku. Tapi aku yakin masih ada hukum karma."



Ya Tuhan...!!!


Kenapa sekarang aku baru merasa bersalah? Bukannya beberapa saat lalu aku mantap mengatakan keputusanku.


Aarggghhhh!!!!



***


Suasana riuh langsung tercipta ketika bel pulang telah berdentang. Hey, siapa yang tidak pernah senang jika sudah mendengar musik keramat itu berbunyi. Yah, setidaknya semua murid normal pasti bahagia sekali. Mungkin pengecualian untuk anak-anak berkacamata yang kemana-mana tak pernah lepas dari buku dan selalu mendapatkan tempat di hati guru. Hah, anak emas, selalu ambisius dalam pelajaran. Masa muda mereka hanya dihabiskan di tempat les dan berkutat tak jauh dari belajar dan belajar.



Dulu Vio mungkin memang seperti itu. Tingkahnya tak ayal hanya seperti pohon yang tetap tumbuh, diam tak bergerak, monoton kalau dibilang. Tetapi semua berubah karena teman pulang, kacamata yang biasanya selalu ia pakai kapan pun dan dimana pun, hanya terkantongi seusai membaca.



Banyak orang berkata, cinta membuat pribadi lemah menjadi kuat dan sebaliknya. Benarkah? Mau tidak mau kita memang harus mengakui jika pada kenyataanya, Vio, siswi berprestasi membanggakan itu telah sedikit banyak berubah. Siapa sangka adik kelas yang ketika hujan membayang sore itu memberikan tumpangan payung padanya sudah membuat lembar demi lembar kisah di hatinya.



***


"Mau kuantar, Vi?"



Merasakan kehadiran orang lain di dekatnya, Vio mendongak.



"Rumah kita searah kan?"



"Vi?" Vio mengernyit tak suka.



"Violet kan ya? Kenapa?"



"Ku kira aku kakak kelasmu dan kamu adik kelasku. Aku juga yakin akan hal itu."



Ekspresi Vio begitu datar menanggapinya. Namun, ada dada yang sedang bergemuruh di depannya. Tanpa ia sadari. Atau keduanya sadari.



"Eh, kamu kan siswi termuda di angkatanmu. Lagipula jarak 3 bulan saja." Elaknya tak lupa dengam seringai kemenangan.



"Terserah!" Vio menatap langit. Masih hujan, begitu pikirnya.



"Jadi?"



"Jadi?" Ulangnya mengernyitkan dahi.



"Nggak mau nih? Ntar lewat rumahku bawa aja payungnya besok kembaliinnya," tawarnya.



***


Sejak saat itu mereka mulai akrab. Setiap hari, saat Vio berangkat sekolah sudah dipastikan ada ia yang sudah menunggu di depan gerbang rumahnya. Tak dijemput memang. Yah, meskipun ia bersikeras menjemput Vio, pasti akan di jawab dengan ekspresi datar, untuk apa? Merepotkan saja. Tetapi memang begitu adanya. Vio tak pernah merasakan debar-debar jantung yang berirama tak karuan. Setidaknya pada awalnya, sebelum Tuhan memutuskan membalik hatinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 14, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KARMAWhere stories live. Discover now