Dimulai Dari Dela

175 33 37
                                    

Di musim hujan ini dan untuk musim-musim lainnya, aku tahu pertanyaan favorit yang seringkali kuucapkan tanpa bersuara: bagaimana pendapat mereka tentangku? Hanya itu saja dan, yah, sebenarnya tidak menarik dari berbagai sisi. Kecuali mungkin kau sama dengan diriku, jadi kalau kau ingin memastikan, salah satu contohnya terjadi hari ini.

Hati Dela sama mencelosnya dengan awan kelabu yang membocorkan air dengan deras siang ini, maka dia memintaku untuk mendengarkan curhat-ke-seribu-kalinya dan, tentu saja, apa tanggapanku nanti.

"Fakhry itu aneh deh! Tau kan kalau lagi jamkos dia suka tiba-tiba masuk kelas kita terus―"

"Deketin kamu," potongku, aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya selain Fakhry yang masuk kelas, Fakhry ngedeketin dia, Fakhry ngebaperin dia, Fakhry, dan Fakhry lagi.

Sebelum aku melanjutkan, dia sudah meneruskan curhat eksklusifnya. "Bukan itu doang! Dia sampe pake rangkul-rangkul segala! Tahu nggak? Ini ke duapuluh tiga kalinya dia ngebaperin aku! Gadis, duapuluh tiga itu angka sakral, dan mungkin dia emang sengaja atau apa biar aku trauma gitu? Aku harus gimana lagi Dis..."

Aku tahu yang kurasakan dan bibirku berkedut menahan senyum. Sebenarnya kuakui aku memang kasihan juga sama dia, tapi bukannya ucapannya terkesan sedih, ini lebih terasa seperti omongan sepele yang konyol.

Tapi kemudian tidak, setelah mengingat bahwa aku sudah dicap oleh teman-teman sebagai "Teman Curhat Nomor 1, dengan Jawaban Termujarab", khususnya bagi para cewek yang sedang galau atau patah hati.

"Gadis! Kamu serius nggak sih? Jangan senyum gitu ah, emang kamu kira kasus ini nggak penting? Atau kamu nganggep aku.... cuma main-main?" raut wajahnya berubah menjadi mengintimidasi dan segera wajahku ikut-ikutan berubah menjadi serius.

"Wah, wah kalem Del.... serius kok, serius. Apa yang kamu rasain selain baper? Ini cuma nanya ya, kamu suka ke Fakhry? Atau cuma baper aja?" kataku hati-hati.

"Sini," Dela menarikku mendekat, sehingga aku baru benar-benar bisa melihat matanya yang menampakkan keseriusan yang agak berlebihan dan setengah berbisik, "Kamu jangan kasih tau loh ya.... jangan comel,"

Kemungkinan terbesarnya adalah, yang sangat mudah ditebak, dia memang menyukai Fakhry. Setelah melihatku mengangguk, dia meneruskan. "Kayaknya sih aku emang suka," pipi dan hidungnya memerah. "Masalahnya, kalau Fakhry sengaja ngebaperin aku, otomatis dia niatnya bikin aku suka, kan? Tapi setelah ke duapuluh tiga kalinya dia ngedeketin aku, masa sampai segitu nggak pekanya kalau aku udah suka sama dia sejak ke lima belas―"

Suaranya agak tertahan, maksudku sengaja ditahan, pasti dia tidak ingin aku mengetahui rahasianya yang ini. Tapi karena sudah sering mendengar curhatan yang semacam ini, ekspresiku ya biasa saja. Setelah mengingat kembali aku ini bisa dipercaya, dia menghela nafas lembut. Sikapnya menjadi lebih tenang.

"Aku ini lagi berhadapan sama si Penampung Curhat, betul? Jadi, aku akan menunggu komentarmu. Bagaimana?" tanya Dela yang menungguku bersuara. Ketika dia hendak berkedip, aku membuka mulut―menyatakan nasihat sebaik mungkin.

Tadinya, maunya sih begitu, tapi kemudian kuajukan yang lebih penting. Maaf, ini semua jadi terlihat formal, tapi kurasa jika itu yang seharusnya, maka sekaranglah waktu yang tepat, mengingat sikap Dela yang juga jadi kalem dan masih menunggu.

"Pernah lihat Fakhry ngebaperin cewek selain kamu―maksudku, dia memang tipikal cowok begituan kan?" wajah bulat Dela tertunduk pelan, walau ekspresinya datar. Sebenarnya, aku tahu kalau Dela tahu Fakhry menganggap Dela bukanlah satu-satunya cewek sasarannya. Aku tak tahu yang pasti, namun jelas Dela mengeluarkan aura antara Fakhry memang dekat dengan cewek selain dia dan Fakhry bukan cowok yang suka merokok. Aduh, yang opsi terakhir dia salah mengartikan!

"Maksudnya, 'begituan' itu badboy yang nggak badboy-badboy amat. Wah, parah nih Dela mikirnya kemana hayo?" tanyaku sekedar mencairkan suasana.

Dan yang terjadi malah sebaliknya. Dela menarik kembali lengan putihnya, setelah menonjok pundakku dengan lumayan keras. Segera kuamati wajahnya.... ternyata masih datar. Kukira bakalan marah. Tapi pukulannya tadi berhasil membuatku menautkan alis, sehingga kembali menyadarkanku dia memang marah. Dia kecewa kepadaku.

Sepersekian detik kemudian, lagi-lagi dugaanku salah. Dia malah tertawa geli melihatku yang seperti tepergok sedang melakukan pengintaian terhadap cowok keren. Sama cepatnya seperti munculnya kebingungan tadi, mataku langsung terfokus pada matanya yang masih terpejam karena pipinya yang memaksanya tertutup rapat saat tertawa, tersenyum, atau bahkan ketika dia sendiri menua. Dia juga melakukan hal yang sama, menatapku lekat-lekat, namun tidak menghilangkan senyum cerianya.

"Iya Dis, iya, aku tahu itu kok. Kamu nggak usah sebutin berkali-kali juga aku udah ngerti. Fakhry emang badboy, tapi dia baik ke orangtua, sopan ke guru, suka sholat juga. Tapi, denger ya, dia nggak pernah merokok kok. Dan yang paling aku resahin aku bukan cewek satu-satunya yang dia jadiin sasaran. Nah, faedahnya adalah, aku harus tetep perjuangin dia walaupun cewek lain mungkin beranggapan sama denganku. Makasih lagi, Gadis, untuk yang keribuan kalinya!" dia tersenyum menutup gigi dengan mata tertutupnya yang semakin membuatnya manis, lalu melewatiku dan balik ke bangkunya beberapa lantai dibelakang mejaku. Berulang kali kulihat senyumannya tak habis-habisnya, maka akhirnya aku bosan juga.

***

Seharusnya kujawab langsung saja seperti "Dela, Fakhry itu tipe cowok yang sifat ngebaperinnya sudah mendarah-daging. Jadi ya seharushnya kamu nggak usah baper, apalagi sampai suka," atau "Yaelah, ngapain baper kalau Fakhry ngebaperin semua cewek, sama kayak yang dia lakuin ke kamu! Itu artinya semua cewek di matanya itu sama, diperlakuinnya aja sama!" dan pernyataan-pernyataan lain yang semacamnya, atau kalau bisa sekaligus saja semua yang terpikirkan olehku. Kenyataannya, dia malah kabur sebelum aku selesai bicara, dan membayangkan Fakhry yang akan datang ke kelas kami pada istirahat kedua. Kalau tidak begitu, pasti Dela mencari-cari alasan agar bisa menemukan Fakhry dan mengobrol sebiasa mungkin dengannya. Dan yang ter-ter dari semuanya, Dela akan tetap mempertahankan Fakhry―si Cowok Badboy yang Sopan, idamannya.

Aku tak tahu apakah Dela pernah benar-benar merasa kapok. Rasanya dia begitu-begitu saja setiap hari; galau, sedih, marah, malu, takut, senang, gembira, bahagia, dan yang lainnya, sama seperti orang lain. Tetapi, hari ini hanya ada tiga rasa yang dia pancarkan; senang, gembira, dan bahagia. Dan aku tidak akan, ataupun berniat merusak ketiga-tiganya. Sampai dia datang kembali padaku, dan membicarakan hal yang baginya tidak akan pernah membosankan.

Itulah hal yang kadang membuatku bingung. Apa sebenarnya tanggapan orang mengenai diriku? Apakah aku terlalu gegabah dalam menasihati? Apa aku terlalu lamban untuk membuat kesimpulan? Atau, apa komentar-komentarku tidak cukup membantu? Tapi, bukan itu saja, aku juga semakin dibuat bingung oleh mereka yang senang akan kehadiranku, menunggu jawaban-jawaban terucap dari balik bibir tipisku. Aku heran mengapa cewek-cewek ini antusias sekali akan keberadaanku.

Maka, mereka bilang aku ini bijak dalam cinta. Padahal, aku sendiri menganggap hal yang berkebalikan dengan yang terjadi. Karena, mereka tidak tahu diriku yang sebenarnya dibalik banyak cap yang mereka berikan kepadaku. Aku payah dalam 'cinta asli', tapi secara teori aku fasih sekali, yang hanya berupa ucapan semata.










vote kuy yang siders heu:' ayoayo bantu share biar cepet update! maaf aneh, saya amatiran bung;-)
terimakasih-

(not) Wise In LOVEWhere stories live. Discover now