Kantin, Kenal, dan Kesempatan
•••Cahaya matahari terik memenuhi lapangan depan SMA Pancasila, seolah sengaja menggenapi 'penderitaan' para siswa yang pagi hari ini sudah harus berbaris di lapangan untuk mengikuti upacara bendera.
Namun naas, sepertinya hari ini dewi Fortuna sedang tidak berada dipihak Senja. Gadis yang terkenal rajin namun tempramen itu baru saja datang disaat pembina upacara sudah membacakan Pancasila. Wow! Ini rekor baru dari sekian riwayat keterlambatan Senja. Menurutnya, terlambat itu adalah sesuatu yang paling menjengkelkan nomer dua yang pernah ada didunia. Yang pertama? Tentunya keberadaan seseorang yang bernama Seno. Seno itu kakak kandung Senja yang sekarang tengah menempuh pendidikan S1-nya di sebuah universitas ternama di kota pelajar, Yogyakarta. Sengaja tidak dikasih tau nama universitasnya supaya nanti nggak pada nge-blacklist universitas itu gegara tidak ingin berada di dalam satu lingkup sekolahan dengan makhluk paling menjengkelkan didunia, yaitu Seno Mardika Ahmed.
"Mati gue sumpah." rutuk Senja dalam hati begitu sampai didepan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Senja menggigit ujung jarinya dengan gusar. Detik itu juga, Ia berpikir bahwa sebentar lagi citranya sebagai anak rajin dimata guru-guru akan tercoreng dengan adanya riwayat keterlambatan ini.
"Tumben banget terlambat, neng Senja." suara bariton dari arah kanan Senja membuatnya agak sedikit tersentak. "Iya nih, Pak." kata gadis itu dengan malu. "Kenapa?" tanya pria paruh baya bernama Mulyadi namun akrab dipanggil Pak Mul itu. "Itu tadi si Ayah bangunnya kesiangan." jawabnya. Pak Mul-pun hanya mangut-mangut mengiyakan perkataan Senja.
"Pak, saya nggak dibolehin masuk, nih?" tanya Senja lebih kearah menyindir Pak Mul yang tidak bisa diajak kompromi. Tanpa membalas perkataan Senja, Pak Mul mengambil kunci lalu membuka gembok berwarna emas yang sebelumnya telah mengunci gerbang sekolah SMA Pancasila tersebut.
Senja bersorak dalam hati, setidaknya Ia tidak kelihatan seperti orang ling-lung di luar gerbang sana. Namun Senja tidak bisa senang dahulu, Ia harus mempersiapkan diri dengan rintangan terberat setelah percobaan lolos dari kuncian gerbang sekolah yang tak lain dan tak bukan, guru BP. Iya, guru BP, makhluk paling menyeramkan sepanjang sejarah pendidikan. Begitu sampai di depan gedung kelas sebelas, sudah ada Bu Andar, guru BP senior yang sudah hampir 26 tahun mengabdi di SMA Pancasila.
"Mati, gue mati." rutuk Senja. Perlahan-lahan, Senja berjinjit melangkahkan kakinya ke ruang kelasnya, berharap tidak tertangkap penglihatan Bu Andar.
"Yang disana. Sudah terlambat, berani-beraninya masuk kelas tanpa izin." suara melengking yang familier membuat Senja hampir saja serangan jantung. Senja memutar tubuhnya secara perlahan. Di depannya sudah tampak wanita paruh baya dengan komuk sangar tengah berdiri sembari berkacak pinggang.
"Ikut saya."
•••
Hari ini benar-benar bukan hari yang menguntungkan bagi Senja. Ia harus menerima hukuman sebagai konsekuensi keterlambatannya, yaitu membersihkan sampah-sampah yang berada di lapangan upacara. Hukuman klasik.
Dengan kesal, Senja dan beberapa anak yang terlambat lainnya harus berulang kali berjongkok untuk memunguti sampah. "Nja, dapet banyak?" tanya Randi, anak XI-IPA-3 yang ikut dihukum karena terlambat. "Baru dikit sih, tapi udah capek aja." kata Senja yang masih setia memunguti sampah-sampah tersebut. Nafasnya ngos-ngosan tak keruan. "Sama... gue juga." sahut Randi dengan nafas yang sama-sama tidak keruannya. "Nja, gue mau istirahat dulu. Lo ikut nggak?" cetus Randi sembari bangkit dan bersiap meninggalkan setengah lapangan upacara yang masih kotor oleh daun-daun yang gugur dan plastik bungkus makanan. Senja menggeleng tanpa berkata apa-apa. Dirinya sudah terlalu lelah untuk melakukan apapun.
"Yaudah, gue mau beli minum, titip nggak?" tawar Randi sekali lagi. Yang Senja sukai dari seorang Randi adalah sikap perhatian dan ramah yang Ia miliki. Walaupun Senja terhitung tidak begitu kenal dekat dengan Randi, tetapi lelaki itu selalu bersikap seolah semua orang adalah sahabat dekatnya, bahkan yang baru dia kenal sekalipun. "Engak usah, Ran." kata Senja dengan posisi masih berjongkok untuk memunguti sampah. Tanpa berkata lagi, Randi berjalan menjauhi Senja yang masih kukuh mengambili sampah.
Kini tinggal Senja seorang di lapangan itu. Sebenarnya masih ada beberapa orang lagi namun mereka semua asing dimata Senja.
"Senja," panggil seseorang dengan suara bariton dari arah belakang Senja. "Udah belinya? Cepet banget, Ran." kata Senja dengan posisi berjongkok dan tanpa repot-repot membalikkan badannya. Bukannya menjawab, orang di belakang Senja tadi malah tidak berkata-kata apa-apa. Senja memutar otaknya, "Kok dia diem aja? Berarti, itu bukan Randi." pikirnya. Sedetik kemudian, Senja langsung berdiri tegap dalam satu kedipan mata. Ia memutar tubuhnya supaya bisa melihat orang yang memanggilnya tadi.
Betapa terkejutnya Senja ketika melihat tubuh jangkung yang familier tengah berdiri di depannya. Itu Surya. Demi apapun, Senja berani sumpah kalau matanya tidak sedang berhalusinasi atau semacamnya. Senja diam, lidahnya kelu, dan syaraf-syaraf di otaknya seolah dimatikan sehingga detik itu juga ia tidak dapat memikirkan apapun.
Tanpa berkata, Surya memberikan sebuah sapu lidi yang kelihatannya mirip kaya yang biasa dipakai Mang Arif --tukang kebun sekolah-- buat nyapu taman. Senja menatap sapu lidi itu dengan dahi berkerut. "Biar nggak capek." kata Surya. Senja masih bergeming di tempatnya. Ia meraih sapu itu dengan ragu. "Sama ini. Biar nggak haus." lanjut Surya sembari menyodorkan sebotol air mineral dingin. Senja mengambil botol air mineral itu dengan tangan agak gemetar. Tidak bisa dideskripsikan bagaimana perasaan Senja saat itu.
Ada sesuatu yang berbeda yang tidak bisa diungkapkan dengan hanya kata-kata, ada sesuatu hal yang terlalu besar untuk dijelaskan dengan kata-kata, ada sesuatu hal yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan rumus matematika; sesuatu yang luar biasa, yang mengatasnamakan ikatan cinta.
Bagi Senja, Surya memang memabukkan, tapi senyumannya lebih. Bagi Senja, piano memang menarik, tapi kepribadian Surya lebih menarik. Bagi Senja, permen kapas memang manis, tapi kejadian hari itu lebih manis.
•••
"Gila." hanya kata itu yang dapat terucap dari mulut seorang Irina, gadis yang terkenal sangat cakap dan cerewet itu. Senja mengerutkan dahinya. "Kok gila?" tanyanya. Irina masih diam saja dan melongo tidak percaya. "Gila, kok bisa gue nggak dikasih tau apa-apa sama Surya tentang ini?!" kata Irina setengah teriak, entah teriak kepada siapa. "Gue dianggap apa selama ini? Sahabat atau kambing conge?" sambungnya dengan nada dramatis yang sangat kelihatan dibuat-buat. Senja memutar bola matanya dengan malas. Sudah khasnya Irina kalau dia itu selalu bersikap over pede dan selalu melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya sederhana.
"Nja," panggil Irina. Senja menghentikan acara makan baksonya untuk menolehkan wajah ke sahabatnya itu. Raut wajah Irina berubah serius. "Percaya deh, Surya itu tipe cowok yang jarang kasih perhatian ke perempuan, apalagi romantis-romantisan. Bukan gayanya lah intinya." kata Irina sembari menatap manik mata Senja lekat-lekat. "Tapi, dia ngasih perhatian ke kamu, walau sepele, tapi itu tanda yang besar, Nja. Gue kenal Surya dari kecil. Gue tau siapa Surya." kata Irina. Tatapannya menelusuk kedalam manik mata Senja yang terdalam. Ada secerca harapan dan ada setitik kebahagiaan di dalamnya.
"Kesempatan besar, Nja!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
TeenfikceSemua tahu. Surya mencintai Senja dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Dua kepribadian yang berbeda, menjadi satu dalam ikatan sebuah kisah asmara. Surya tidak peduli bagaimanapun perlakuan Senja terhadapnya, Ia tetap bertahan. Senja yang dulu...