Bab 1 Part 1 - Mimpi Buruk di Siang Bolong

26 1 3
                                    

Note: dialog yang menggunakan bahasa gaul diimajinasikan dimana tokoh-tokohnya berbicara dalam bahasa jerman, sedangkan penggunaan bahasa inggris hanyalah sesekali. Selamat membaca New Project dariku. Like and Commentnya akan sangat berarti. Terima kasih ^^

Samar - samar dalam tidur nyenyaknya, Samantha mendengar suara kicauan burung yang bersahut - sahutan di luar jendela kamarnya. Begitu mengganggu, pikirnya, masih dengan mata yang terpejam dan meringkuk di bawah selimut tebalnya. Hingga makin lama suara burung - burung itu pun semakin terdengar jelas di telinganya dan ia mulai semakin merasa terganggu. Ia ingin tidur sedikit lebih lama lagi, katanya pada dirinya sendiri, tak memedulikan cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamarnya dan memantul tepat ke sisi lain ranjangnya.
Baru saja Samantha mulai kembali terlelap dalam tidurnya, ponselnya yang diletakannya di atas meja belajarnya, jauh dari ranjangnya, berdering dengan nyaringnya. Ia mengabaikannya, menebak jika itu hanyalah panggilan dari teman baiknya, Stella dan berharap ponselnya segera berhenti berdering saat itu juga. Tapi ternyata ia salah karena gadis itu sepertinya belum menyerah untuk menghubunginya. Dan tepat pada panggilan yang ketiga kalinya, Samantha mau tak mau harus memaksa dirinya untuk segera bangkit dari ranjangnya dan mengangkat panggilan telepon yang mulai membuatnya kesal itu.
"Hey, why do you take so long to pick up my call, huh!?" benar saja tebakan Samantha, Stella-lah yang menghubunginya dan bahkan tanpa melihat layar ponselnya, dikarenakan matanya yang masih setengah terpejam, ia sudah bisa mengenali suara cerewet temannya itu yang langsung memberondongnya dengan omelan.
"What?! Don't you know that your call was bothering my beautiful dream just now, Miss Quinn!?" Samantha tak mau kalah berdebat dengan gadis asal Inggris tersebut yang sepertinya kembali lupa untuk membiasakan dirinya menggunakan bahasa Jermannya. "I've just dreamed about Channing Tatum, you know!"
"Screw Channing Tatum, you should bring your butt here quickly! How long you're gonna miss the class!? You're not sick anymore or you want me to drag you now!?"
"I got it, Miss Quinn! I'll be there soon."
Tanpa ingin mendengar omelan Stella yang bisa lebih panjang lagi, Samantha segera memutuskan sambungan teleponnya, lalu meletakkan kembali ponselnya ke tempatnya semula. Sesaat ia berdiri dalam diam sambil menghela napasnya. Baru dua hari ia tak berangkat ke kampus, tapi Stella sudah memarahinya seperti itu, keluhnya dengan mendecakkan lidahnya. Gadis itu benar - benar tak berperasaan dan tak mengerti bagaimana dirinya sedang ingin meliburkan diri sesaat.
Entahlah, Samantha sendiri tak mengerti kenapa akhir - akhir ini ia menjadi tak bersemangat, lelah dengan kegiatan kampusnya yang padat dan lebih senang bermalas - malasan di rumah. Tekanan darah rendahnya membuatnya sering sakit kepala dan pusing bila terkena sinar matahari. Bukan hanya itu, ia pun merasa jika penyakit maagnya semakin bertambah parah saja karena perutnya sering mengalami kram.
Bagaimana tidak, ia memang seringkali melewatkan makan pagi atau siangnya begitu saja. Selain karena jadwal kuliahnya yang semakin padat di semester ketiganya ini, ditambah tugas - tugasnya yang tak kalah menumpuk, ia pun jadi tak bisa menyalahkan dirinya sendiri yang sering lupa makan. Walau begitu ia bersyukur Ibunya kerapkali mengingatkannya untuk tidak lupa makan dan menjaga kesehatannya meski hanya sekedar pesan singkat melalui Whatsapp.
"Miss Quinn!" seru Samantha memanggil Stella yang dilihatnya sedang asik mengobrol dengan beberapa anak perempuan yang juga dikenalnya begitu ia sampai di kampusnya dan langsung ikut berbaur ditengah - tengah mereka. "Hey, guys! Ada gosip apa, nih?!"
"Kau tidak lihat itu!" jawab Stella seraya mengedikkan dagunya ke depan, berusaha menunjuk pada seseorang yang sudah tak asing lagi bagi Samantha, siapa lagi kalau bukan Sean Howard, lelaki berandalan yang selalu mengejar - ngejarnya yang tampak sedang bercanda dengan seorang gadis berambut pirang berpakaian minim. "Ngakunya naksir lo, tapi liat kelakuannya, gonta - ganti cewek melulu!"
"Biarin ajalah, bukannya itu berarti sekarang gue ngga perlu dikejer - kejer dia lagi. Risih, tau! Dia udah kaya debt collector!" sahut Samantha dengan santainya. "Ayo kita ke kelas! Panas, nih! Pusing gue kalo kena matahari!"
"Lo kaya vampir aja haha.." sahut Stella sembari tertawa yang segera ditarik Samantha untuk bergegas pergi dari situ, sementara ia permisi pada teman - teman mereka yang lain.
"Lo mau gue gigit ubun - ubun lo?" ucap Samantha bercanda yang langsung diprotes oleh Stella bahwa tidak ada vampir yang menggigit ubun - ubun hingga membuat Samantha tergelak saat mendengar ucapan sekaligus ekspresi konyolnya.
"Sam, kenapa sih lo ngga suka Sean? Dia 'kan seksi, ganteng pula." tanya Stella tiba - tiba. "Oh iya lo 'kan selalu bilang kalo dia bukan tipe lo, ya! Gue lupa!"
"Nah sih lo paham!"
"Tapi Sam.. Kalo menurut gue sih, dia tuh beneran naksir lo, deh!"
"Naksir apaan, gue ngga liat hal itu darinya. Bukannya tadi lo liat sendiri kelakuannya?"
"Iya, sih..."
"Aduh, kita ke toilet dulu, sih! Gue pengen pipis, nih! Nyebelin sih, yang namanya pipis tuh sering banget! Atau kalo lo pengen ke kelas duluan ngga papa, nanti gue nyusul."
Stella memilih untuk ke kelas lebih dulu, sedangkan Samantha bergegas pergi ke toilet. Saat ia baru saja masuk ke dalamnya, hidungnya mencium aroma parfum yang sangat menyengat dan itu membuat perutnya mual. Sembari menutup hidungnya rapat, Samantha memasuki salah satu bilik toilet yang kosong. Ia mengomel dengan sebalnya pada siapapun yang telah mengenakan parfum semenyengat itu hingga wanginya membekas seperti itu.
"Ck, apa dia menggunakannya sebotol penuh!?" gerutunya pelan dari dalam bilik toilet. "Wanginya benar - benar bikin sakit kepala!"
Dengan cepat Samantha berusaha menyelesaikan hajatnya untuk buang air kecil. Ia sudah tidak tahan mencium wangi parfum yang bahkan bisa tercium hingga ke dalam bilik toilet yang dipakainya. Rasa mualnya pun memaksanya untuk mengeluarkan isi perutnya, meski tak ada apapun yang harus dimuntahkannya yang hanya berupa air. Beruntung ia belum sarapan pagi ini, jika tidak ia pasti sudah mengeluarkannya. Walau begitu rasa lapar nyatanya mulai dirasakannya. Ia ingat dirinya membawa sebuah roti isi selai coklat dan juga susu kotak yang dibelinya diperjalanan saat menuju ke kampus tadi.
Begitu selesai mencuci tangan sekaligus membasuh wajahnya dengan air agar merasa sedikit segar, Samantha bergegas pergi meninggalkan toilet. Sambil berjalan di koridor, tangannya membuka risleting tas punggungnya dan mengeluarkan susu kotak dari dalamnya. Dengan cepat ia menyobek pinggiran kemasan susu kotak tersebut dan meminumnya hanya dalam beberapa kali sesapan sebelum kemudian membuang kemasan kosongnya ke dalam tong sampah.
Bel tanda dimulainya kelas baru saja berbunyi dan kelas pertama yang diisi oleh Pak Robinson, dosen yang selalu tepat waktu tentu tak boleh sampai dilewatkan Samantha. Oleh karena itu ia segera mempercepat langkah kakinya menuju kelas. Namun tak jauh darinya di depan, ia melihat sosok dosennya yang sudah paruh baya dan berkacamata minus, Pak Robinson tengah berjalan. Tanpa pikir panjang ia pun segera berlari secepat mungkin, tak memedulikan jika nanti ia sampai dikenali oleh dosennya itu. Setidaknya ia harus sampai di kelas lebih dulu darinya, itu saja.
"Pagi, Pak Robinson!" sapa Samantha begitu ia berhasil melewati dosennya yang sedang berjalan dengan santainya itu seraya memamerkan senyumnya.
"Pagi." Pak Robinson membalas sapaannya sambil sibuk membetulkan letak kacamatanya yang sedikit melorot di hidungnya. "Samantha!"
Ah sial, dia mengenalinya, gerutu Samantha yang tak menghentikan derap langkah kakinya yang berlarian di koridor. Ia tak harus memedulikan hal itu sekarang, pikirnya lagi, baginya tak terlambat sampai di kelas jauh lebih penting.
Akhirnya ia bisa bernapas lega karena bisa sampai lebih dulu di kelasnya sebelum Pak Robinson. Napasnya hampir saja habis ketika kepalanya celingukan berusaha mencari Stella yang duduk entah dimana. Beruntung temannya itu segera memanggil namanya begitu ia masuk ke kelas dan Samantha pun bergegas menghampirinya sambil berusaha mengatur napasnya yang agak tersengal - sengal.
Namun baru saja Samantha hendak menaiki anak tangga menuju bangku Stella, ia merasakan kepalanya pusing. Hingga selang beberapa detik kemudian kepalanya juga terasa berputar - putar. Kakinya bahkan mendadak terasa lemas dan seakan tak mampu menopang tubuhnya untuk tetap berdiri.
"Sam! Sam!" terdengar suara Stella yang meneriakkan namanya sebelum kemudian pandangannya berubah gelap.

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ClementineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang