My Husband is My classmate (END)

Prolog

      Aku engga pernah membayangkan tentang pernikahan. No!!... bukan karena aku anti pernikahan. Bagiku, menikah adalah perjalanan yang masih panjang. Pernikahan adalah tahap ketika kamu sudah memiliki kematangan dalam berpikir, terbuka untuk memahami orang lain dan mapan dalam materi. So, untukku yang baru berusia 17 tahun terlalu dini memikirkan tentang pernikahan.

    Namun, terkadang apa yang kita rencanakan seringkali tidak sejalan dengan rencana Tuhan. seperti apa yang kuhadapi saat ini.

   Aku menatap kedua orangtuaku yang menggenggam bahuku erat seakan-akan mencoba memberiku kekuatan. kucoba untuk berulang kali menenangkan diri, menatap sebuah kertas yang bertuliskan pernyataan pernikahan. Jika sekarang aku menandatanganinya maka diusiaku yang baru 17 tahun ini, aku telah resmi menyandang status sebagai seorang istri.

   " Sayang, ayo." bujuk Ibuku dengan mata berkaca-kaca.

   Aku menghela napas berat dan dengan terpaksa kutandatangani surat ini. Setelahnya, kulirik laki-laki yang kini telah resmi menjadi suamiku. ekspresinya begitu tenang, sama sekali tidak ada kegelisahan atau kemarahan dalam gurat wajahnya. diam-diam aku begitu kagum dengan kemampuannya dalam menjaga emosi. Bagaimana bisa laki-laki yang berusia sama denganku ini memiliki sifat yang jauh dewasa melampaui usianya. Ia juga sejak awal tidak menentang pernikahan ini.

   " Zi," panggilku lirih.
   Zian kini menatapku , perlahan ia berdiri sambil menarik tanganku menatap kedua orangtua kami. " Sekarang Rena sudah resmi menjadi istri saya. Cukup sampai sini kalian mengatur kami, untuk seterusnya saya harap kalian tidak mencampuri urusan kami karena sepenuhnya urusan Rena adalah tanggungjawab saya." tegas Zian.

   Ibuku memelukku erat, begitupula Ayahku. Aku tak kuasa untuk tidak menangis, kulihat Ibu mertuaku kini tengah memeluk Zian dan ayah mertuaku menepuk pelan bahu Zian. namun, tangan Zian tetap menggenggam tanganku.