Cerita sebelumnya: Dongxian (17 tahun) dipersiapkan ibunya untuk menjadi selir pria bagi kaisar Dinasti Han. Beruntung dia terpilih saat utusan Kaisar bernama Kasim Li datang mengunjungi desanya. Sayang, Dongxian tak sempat berpamitan pada ibunya dan langsung diboyong ke istana.
PERJALANAN dari desaku di Yunyang menuju istana bukanlah perjalanan yang singkat. Ketika aku dibawa paksa tanpa berpamitan, aku ditempatkan pada kereta yang sama dengan kasim Li dan dua ajudannya. Sebelum kami berangkat, disuruhnya aku berpakaian dan diberikannya sebuah jubah untuk menghalau dinginnya malam di perjalanan. Awalnya aku diperingatkan untuk tidak banyak bicara dan bertanya oleh Kasim Li. Jadi aku hanya bisa duduk diam saja bersama mereka.
Ajudan yang menahanku berpamitan pada ibuku bermarga Zheng, sedangkan yang berbicara dengan ibuku adalah Ajudan Wang. Selama perjalanan mereka berdua lebih banyak diam dan hanya mengobrol sesekali dengan Kasim Li. Baru aku perhatikan, sebenarnya mereka berdua itu sangat gagah dalam balutan pakaian militer kerajaan. Mereka lebih pantas sebagai panglima perang daripada menjadi seorang ajudan yang diutus oleh kaisar untuk mencari selir baginya. Mungkin ketidakrelaan mereka melaksanakan tugas “nyeleneh” sang kaisar membuat mereka yang lelaki normal terus menerus murung.
Ajudan Wang adalah sosok pria yang sudah matang. Dia lebih tua dari Ajudan Zheng, mungkin usianya sudah empat puluhan. Kubayangkan dia adalah panglima perang yang karirnya kurang bagus sehingga dia ditugaskan untuk menjadi ajudan Kasim Li, sehingga mukanya selalu terlihat masam dan walau bersikap hormat pada Kasim Li, dia tak bisa menyembunyikan pandangan merendahkan pada Kasim senior istana tersebut.
Aku pernah mendengar bahwa seorang Kasim kadang-kadang menjadi begitu sangat dipercaya oleh kaisar karena pengalamannya sehingga diangkat menjadi penasehat pribadi kaisar dan kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Mungkin inilah yang terjadi pada Kasim Li. Tampak sekali dia berdedikasi untuk melaksanakan tugas kaisar yang satu ini dengan sungguh-sungguh.
Ajudan Zheng lain lagi. Selama perjalanan dia tampak tenang dan berwibawa. Aku diam-diam mengagumi dirinya yang gagah. Ajudan Zheng memiliki sorot mata teduh namun tajam. Rahangnya tegas dan wajahnya adalah tipikal wajah pria yang bisa membuat wanita tersedu-sedu, atau bahkan bisa membuat istri-istri pejabat bisa melupakan suaminya. Aku kadang tak tahan selalu mencuri pandang ke arahnya yang lebih banyak duduk diam sambil melipat tangannya dan melihat ke luar.
“Sebenarnya apa yang dilakukan kaisar pada seorang selir pria?” Aku tak tahan untuk bertanya pada Kasim Li
“Pakai sopan santunmu anak muda! mintalah izin dulu sebelum bertanya!” ujar Kasim Li galak.
“Uhm, maaf tuan…” ucapku buru-buru.
Kasim Li menghela Nafas. Ajudan Wang seperti biasa berpura-pura tak peduli namun matanya sesekali melirik ke arah kami dengan tatapan penasaran yang sulit disembunyikan. Sedangkan Ajudan Zheng tampak tak terpengaruh dengan hardikan Kasim Li dan tetap bersikap tenang.
“Setiap bulan purnama kecuali saat perayaan tahun baru, yang mulia akan melakukan ritual penyatuan jiwa dan raga untuk menghormati leluhur dan dewa, dan yang mulia akan melakukannya dengan pria yang dia pilih,” jelas Kasim Li.
Aneh. Dari ribuan selir yang kabarnya dimiliki oleh kaisar, mengapa dia memilih saat istimewa itu dengan melakukannya dengan pria? tanyaku dalam hati.
“Um, maaf tuan, tapi.. yang mulia memiliki banyak selir yang luar biasa cantik, mengapa beliau memilih pria untuk ritual agungnya?” tanyaku.
“Apakah kamu meragukan keputusan yang mulia kaisar?” Kasim Li balik bertanya.
“Bu.. bukan begitu, tuan…” sanggahku.
“DIAM! Jangan bertanya lagi!” ucap Kasim Li menyudahi pertanyaan kami.
Akupun kembali tertunduk. Kulihat Ajudan Wang mencibir sekilas menertawakan keberanianku bertanya macam-macam pada Kasim Li.