Khanza POV
Aku tidak tahu jika Indra itu homophobia. Dia benar-benar menjauhiku. Setiap kali aku mendekatinya dia selalu saja menghindar. Bahkan untuk berbicara sebetar saja tidak mau. Apa aku segitu menjijikan di matanya?
Seperti tadi saat dia mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai. Tanpa rasa bersalah dia meninggalkanku begitu saja. Indra bahkan tidak menoleh sama sekali. Ini semua sangat memilukan, mengingat beberapa waktu yang lalu kami berdua adalah sahabat yang cukup dekat.
"Apa kau sudah baikan? Bagaimana jika kita pergi ke UKS saja??" tanya Azam tampak khawatir saat kami sedang berjalan menuju kelas. "Aku tidak apa-apa. Hanya mimisan biasa saja tidak perlu dibesar-besarkan," tolakku.
"Memangnya kenapa kau bisa jatuh seperti itu??" tanya Azam lagi. "Aku kurang hati-hati saat berjalan tadi dan berakhir dengan tersandung kaki sendiri," jawabku. "Hufftt~ Kau membuatku khawatir saja. Aku sangat ketakutan saat melihat hidungmu berdarah tadi."
"Maaf, maaf. Lain kali aku akan berhati-hati. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku," ucapku sembari tersenyum. Senyuman yang tulus tanda terimakasih telah menolongku tadi. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya kami berdua sampai di kelas. Pak Dowo sedang menerangkan di depan kelas.
"Dari mana saja kalian berdua? Kalian tidak mendengar bel masuk tadi?" tanya Pak Dowo, Guru Seni Rupa kami, menghentikan sejenak kegiatannya. Matanya menatap kami tajam. "Maaf Pak, kami berdua baru saja dari toilet. Hidung Khanza tadi berdarah," jelas Azam.
"Benar begitu, Khanza?" tanya Pak Dowo padaku. Tampak sedikit kekhawatiran di raut wajahnya. "Iya pak. Hanya mimisan biasa, sudah tidak apa-apa," jawabku.
"Yasudah, kalian berdua duduklah di tempat duduk kalian," suruh Pak Dowo. Tanpa menunggu lebih lama lagi aku dan Azam segera beranjak ke tempat duduk kami berdua. Aku mengeluarkan buku Seni Rupaku dari dalam tas dan mulai memperhatikan apa yang diterangkan oleh Pak Dowo di depan.
"Khanza, tadi sebelum sempat menolongmu aku melihat Indra. Kenapa dia tidak menolongimu?? Padahal jarak antara tempatmu terjatuh dengan dirinya cukup dekat," tanya Azam berbisik.
"Mungkin dia tidak melihatku terjatuh," jawabku.
"Kemarin juga Indra memintaku tukeran tempat duduk, saat aku menanyakan alasannya dia hanya bilang tidak dapat melihat dengan jelas. Tapi rasanya aneh, dia tidak rabun bukan? Apa kalian berdua sedang bermusuhan?? Akhir-akhir ini aku melihat kalian jarang bersama lagi. Bukankah sebelumnya kalian selalu berdua dimanapun berada," tanya Azam lagi.
"Entahlah tanyakan saja sendiri padanya. Aku sendiri juga tidak mengerti. Dan Azam, berhentilah mengajakku berbicara. Aku tidak ingin dikeluarkan dari kelas karena ketahuan mengobrol saat jam pelajaran sedang berlangsung."
Akhirnya Azam mengerti dan diam, memperhatikan Pak Dowo yang sedang menerangkan di depan. Cukup lama aku memperhatikan apa yang diterangkan guru satu itu sebelum bisa bernafas lega karena bel pulang sekolah telah berbunyi.
"Kau jadi ke rumahku untuk mengajariku Kimia bukan? Dua minggu lagi UKK. Aku belum sepenuhnya memahami materi yang akan diujikan terutama STOIKIOMETRI."
"Kimia hanya masalah logika. Logikamu harus berjalan saat berhadapan denganya."
"Mudah sekali bagimu untuk mengatakan itu karena kau pintar."
"Semua manusia pintar. Pertanyaannya, seberapa besar usahamu mengasah otakmu agar tidak tumpul. Baiklah, aku akan mengajarimu sampai bisa."
"Kalau begitu ayo. Tunggu apa lagi."
***
Indra POV
Hari sudah malam. Setelah mengantarkan Ranti pulang ke rumahnya, kuputuskan untuk melajukan motorku ke rumah bibiku, tempat tinggalku sekarang. Setelah beberapa menit berlalu akupun sampai.
Aku masuk dan menutup pintu gerbang sembari menuntun motor kesayanganku. Aku membeku saat melihat seseorang yang sangat kukenal. Di teras depan, laki-laki itu sedang duduk di sofa sambil menatapku tajam serta kemarahan di matanya.
Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Aku hanya diam dan menatap balik laki-laki itu tanpa rasa takut.
"Papa..." ucapku tanpa suara.
Kuparkirkan motorku dan berjalan mendekati laki-laki itu tanpa rasa takut dan mengaggapnya hanya bayangan semata. Aku tertawa di dalam hati, karena beraninya laki-laki itu muncul lagi di hidupnya. Aku meliriknya dengan sinis sebelum melangkahkan kakiku menuju pintu masuk.
"Dari mana saja kamu? Malam-malam seperti ini baru pulang," tanya laki-laki itu dingin membuatku berhenti tanpa menoleh sedikitpun.
"Terserah saya dari mana. Anda sudah tidak punya hak untuk mengatur saya lagi," ucapku dengan nada sinis.
"Indra!!" bentak laki-laki itu lalu bangun dari duduknya. "Papa kesini hanya ingin melihatmu saja. Ini sudah malam dan kamu baru pulang. Tidak baik jika remaja sepertimu pulang hingga larut. Jika terjadi apa-apa denganmu bagaimana?"
"Hahahahaha!!! Sejak kapan Anda peduli dengan saya??" aku tertawa sinis mendengar perkataannya barusan. Dia mengkhawatirkanku? Jika dia bisa membuat lelucon selucu itu mengapa tidak jadi pelawak saja.
"Indra..." panggilnya dengan lembut sembari menatapku. "Papa minta maaf untuk kesalahan yang Papa buat. Papa tahu itu berat untukmu, maafkan Papa..." ucapnya lemah.
Sedetik kemudian kemarahanku memuncak. Bagaimana mungkin dia meminta maaf dengan mudahnya setelah semua yang terjadi.
"Maaf??!! Jika kata maaf bisa mengembalikan Mama, mungkin saya akan memaafkan Anda sejak dulu. Tapi nyatanya, kata itu hanya bualan belaka yang tidak ada artinya karena Mama saya tidak akan pernah bisa kembali lagi!!" ucapku sedikit meninggi. Aku tidak peduli jika tetangga terganggu oleh pembicaraan kami. Aku hanya ingin mengeluarkan apa yang aku pendam selama ini.
"Indra... Papa hanya ingin berdamai setelah bertahun-tahun. Papa hanya punya kamu setelah kepergian Mamamu," ucapnya pelan sembari memandangku dengan wajah yang memerah, menahan tangisan.
"Sudah cukup pembicaraan tak penting ini. Anda bukan siapa-siapa saya lagi. Jadi bersikaplah semestinya. Saya tidak peduli Anda ingin jalan bersama gigolo atau pelacur manapun," ucapku lalu beranjak masuk kedalam rumah. "Indra!!"
Aku mendengar sebuah bentakan dari belakang namun kuabaikan. Baru beberapa langkah tiba-tiba saja dari balik pintu muncul sosok yang sangat kubenci. Seorang pria muda, lebih tua delapan tahun dariku. Dia adalah orang yang telah merusak keluargaku.
Kudekati dia dan berusaha untuk merangkul bahunya. Tiba-tiba saja dirinya menegang. Kuberikan senyuman manisku padanya. Aku menatapnya dengan pandangan mengejek.
"Berapa banyak uang yang kau peroleh selama menjadi kucingnya??" tanyaku sambil menunjuk laki-laki yang mengaku menjadi Papaku tadi. "Sepertinya menyenangkan menjadi kucing om-om seperti dirimu. Bisa kau kenalkan satu untukku? Kau mempunyai banyak kenalan bukan? Aku juga tidak keberatan jika kau mengenalku kepada tuan-tuanmu sebelumnya. Pasti menyenangkan bukan bisa menguras harta mereka. Aku..."
PLAK!!!
Satu tamparn keras mendarat di pipiku. Saking kerasnya tamparan tersebut hingga membuatku terjatuh ke lantai. Ternyata tuan dari sang kucing itu yang menamparku. Aku langsung bangkit dan bergegas masuk. Kuabaikan panggilan dari orang itu. Mengunci pintu dan berjalan dengan cepat menuju kamarku, berharap kedua orang itu cepat-cepat enyah dari sini.
Tampak Bibik dan Pamanku yang sedang menonton tv di ruang keluarga. Mereka berdua menatapku dengan khawatir. Aku hanya memberikan senyumanku pertanda aku baik-baik saja lalu melanjutkan langkahku menuju kamar. Sesampainya di kamar langsung kujatuhkan tubuhku di atas tempat tidur.
Aku menghela nafas lelah. Sampai kapan ini semua berakhir. Dan sanggupkah aku menjalani ini semua kedepannya?
***
19-02-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Love
Teen FictionIni hanya sepenggal kisahku saat mencintai sahabatku sendiri. Kami selalu bersama, tertawa bersama, bermain bersama, melalui semuanya bersama. Tapi suatu hari, kebersamaan itu harus hancur karena sebuah kesalahan. Kesalahanku yang mencintai dirinya...