Ching Hui Ying

99 5 4
                                    

Ching Hui Ying tinggal di salah satu apartemen di Tin Hau Street dengan Selly, ibunya, wanita yang telah meninggalkan luka di wajah dan tubuhnya. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu kini hanya bisa menikmati kegelapan dunianya, di kamar pengap sejak pertama kali ia hadir di dunia. Bahkan untuk sekadar menghirup udara pagi ataupun menatap sinar mentari dikala pagi haripun sesuatu hal yang sangat dirindukan, dia juga tidak pernah berada di luar gedung. Hidupnya sempit, jendela kamarnya pun berhadap-hadapan dengan tembok tinggi. Ia bisa merasakan air hujan yang turun melalui sela-selanya.

"Katakan padaku tentang dunia luar," ia berkata pada seekor merpati yang bertengger di sudut jendelanya. Burung merpati itu hanya menggeleng kepalanya, membuat Ching Hui Ying tersenyum. "Kamu lucu." Burung merpati itu terbang tinggi. Ching Hui Ying memandanginya hingga hilang di balik gedung.

Hujan bertambah deras, angin menerbangkan kertas-kertas dan menggoyang tirai, serta uap embun menutupi kaca jendela. Ching Hui Ying menggambar dirinya di kaca dengan jarinya, lalu menghapusnya hingga didapati tubuhnya yang kecil, rambut kusut, dan tak terawat.

Ching Hui Ying terdiam sambil mencermati gambar samar di hadapannya kemudian menghela napas panjang. Sejujurnya, ia merasa sangat prihatin terhadap kondisinya saat ini. Begitu menyedihkan.

Apakah pantas gadis berumur sepuluh tahun sepertinya mendapat perlakuan seperti ini?

Tangannya dengan pelan membuka jendela membuat rintik-rintik air hujan dengan bebas masuk ke dalam kamar kecilnya. Ia menengadahkan wajahnya ke arah langit kelabu sambil memejamkan mata. Membiarkan dinginnya air hujan menerpa wajahnya yang penuh lebam.

"Tidak adakah keadilan untukku?" tanya Ching Hui Ying pada dirinya sendiri. Kedua kelopak matanya terbuka mengamati setiap rintik-rintik hujan. Hingga tangannya mulai bergerak turun menutup jendela.

Tapi, gerak tanganya terhenti. Didengarnya sebuah tawa renyah di balik tembok besar apartement yang membungkus kamarnya. Entah apa yang dipikirkan Ching Hui Ying. Jangankan mendengar tawa, ia bahkan telah lupa kapan terakhir dia tertawa. Tiba-tiba ia menemukan kekosongan, kesepian panjang yang ia rasakan terlalu mencekam.

Meski ia punya alasan untuk membenci wanita yang ia panggil ibu itu, yang tidak pernah Ching Hui Ying mengerti mengapa ia diperlakukan seperti orang asing. Jauh di dasar keinginan seorang gadis kecil yang pernah terluka, ia mendambakan kasih sayang yang tulus. Suara tawa itu berubah jadi siksa yang amat pedih. Ia merasakan sakit. Sakit sekali.

Dengan separuh keberanian yang dimilikinya, perlahan tapi pasti ia melangkahkan kakinya menuju pintu. Pintu yang dirasanya adalah jalan kebesasan menyentuh dunia. Sesaat diraihnya gagang pintu, perasaan takut menyelimutinya hingga tangan kanannya terlihat pucat seketika. Ia tertunduk , lalu menghela napas yang cukup panjang. Kembali tangan kanannya menyentuh gagang pintu dan memutarnya ke kanan, lalu ke kiri.

KREKK!

Daun pintu terbuka dengan tegasnya. Seorang wanita yang sejak tadi ada dalam pikirannya kini ada di hadapannya menjadi sosok yang begitu menakutkan. Mereka saling menatap. Ching Hui Ying terperanjat, kaku bagai patung. Keberaniannya hilang seketika. Ia mundur beberapa langkah ke belakang dengan wajah tertunduk.

"Sedang apa kau di pintu? Kau ingin lari, anakku?!" suara Selly terdengar menggema.

Ching Hui Ying berhenti dari langkahnya, ia sadar bahwa apa yang dilakukannya pasti menaruh curiga pada ibunya.

"Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Berlari meraih kebebasan atau diam di sini hingga aku dibunuh oleh ibu? Jangan!" gerutunya lalu mendongakkan kepalanya. Matanya yang sipit terbuka lebar menatap ibunya sendiri. Kejadian empat tahun yang lalu kembali terlintas. Mustahil gadis kecil sepertinya masih ingat kejadian yang telah berlalu sangat lama. Perlahan-lahan kepingan memori terburuk yang pernah dirasakannya itu seperti diproyeksikan ulang di depan matanya.

Ching Hui YingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang