Prolog

3 0 0
                                    

Juna menghapus keringat yang mengalir di pelipisnya, mengusap wajahnya kasar cowok itu berdehem pelan.

Sebelum berbicara, cowok tampan itu memilih untuk meneguk minuman botol yang tadi sempat dibelinya. Tenggorokannya terasa kering sejak tadi. Ditambah gugup yang melanda dirinya kala menatap wajah manis gadis disampingnya.

Saat ini, mereka berdua sedang berada di taman kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Biasanya, setiap sore Juna, Vanya dan Dyran -sahabat mereka- sering menghabiskan waktu di taman ini. Sekedar untuk bersantai, melepas beban setelah seharian bertempur dengan pelajaran. Atau berolahraga ringan, dengan mengelilingi taman.

"Vanya, hmm," panggil Juna tidak jelas. Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menghela napas, berusaha untuk menutupi rasa gugup yang terus melandanya.

"Iya Jun, kenapa?" Tanya Vanya bingung. Gadis itu mengerutkan keningnya saat melihat keringat mengalir deras dari pelipis Juna.

"Lo, gugup?" Vanya tertawa sesaat setelah mengatakannya. Juna hanya tersenyum kecil melihatnya.

Ah, tawa itu. Tawa yang membuat Juna, merasa bagai di Nirwana. Tawa yang selalu menggetarkan hatinya.

"Gue, mau ngomong," Juna menarik napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya.

"Oke, mau ngomong apa?" Tanya Vanya bingung. Gadis itu memiringkan sedikit tubuhnya, agar dapat menatap wajah tampan Juna yang duduk di sebelahnya.

"Lo, tau nggak alesan kenapa gue sering deket sama lo akhir-akhir ini?" tanya Juna, cowok itu meremas jemarinya gugup.

"Ya, lo kan temen gue, jadi wajar dong kalo lo deket sama gue," ujar Vanya tenang.

"Tapi gue punya alesan lain," Juna menarik napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. Vanya mengerutkan keningnya bingung. Gadis itu menatap wajah Juna lekat, bersabar menunggu kelanjutan ucapan cowok itu.

"Gue suka sama lo." Setelah mengatakan hal itu, Juna menutup matanya. Mencoba menyiapkan hatinya, akan jawaban yang akan diterimanya.

Namun, didetik ketiga puluh yang dihitung Juna dalam hatinya, cowok itu tak kunjung mendapatkan respon.

Membuka mata, Juna menatap Vanya yang masih terdiam menatapnya.

"Van." Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum tertawa keras.

"Haha, apaan sih Jun. Becanda lo gak lucu." Vanya menyisipkan rambutnya yang ditiup angin ke belakang telinga. Gadis itu memilih untuk kembali menatap lurus ke depan.

Juna diam. Cowok itu memilih untuk tidak membalas. Bukan tanpa alasan, tapi karena dia sudah tahu jawaban apa yang akan diterimanya.

"Ini salah. Sorry gue gak bisa," ujar Vanya setelah sekian lama hening melanda keduanya.

"Van ketemu sama lo itu takdir. Jadi sahabat lo itu,keinginan gue. Dan jatuh cinta sama lo itu diluar kuasa gue," kata Juna mencoba untuk mengungkapkan kegelisahan hatinya.

"Tapi kenapa harus sama gue, Jun?"tanya Vanya, matanya masih menatap lurus pada hamparan rumput hijau di hadapannya.

"Lo tau pepatah witing tresna jalaran Saka kulina? gua udah terbiasa dengan kehadiran lo Van," jawab juna dengan nada yang lembut namun tegas.

Mereka kembali terdiam. Dua anak Adam itu masih sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Maaf Jun, gua udah suka sama seseorang dan itu bukan lo," kata Vanya sambil melihat langit yang sudah berubah warna.

Juna tersenyum getir, sebenarnya ia sudah menduga semua ini sebelumnya. Mencoba melapangkan dada, Juna memilih untuk tersenyum tenang. Menutupi luka yang menganga di lubuk hatinya.

Frekuensi Where stories live. Discover now