Part. 2

15 4 0
                                    


Jarum jam alroji ku menunjukkan pukul 3 sore, jarum detik seolah berputar dengan lamban mengiringi awan yang bergerak perlahan menutupi langit yang ku lihat, dari ujung barat ke timur, selatan ke utara. Seakan rata dan serempak menutupi langit. Matahari yang menyengat berubah mendingin ditambah angin yang membawa awan kelabu itu. Melihatnya, otomatis membuatku segera bergegas, mempercepat langkah menuju halte bersamaan dengan tetesan pertama air hujan yang jatuh ke tanah. Di halte ini, aku duduk lantas mengaktif kan handphone, memeriksa apakah ada pesan masuk dari orang yang spesial. Aku menghembus nafas pelan, udara hangat yang keluar dari mulutku segera bereaksi dengan udara dingin membentuk uap air. Aku terlupa tidak membawa pun tak memakai baju penghangat apapun selain t-shirt dan celana penjang yang ku pakai.

Hujan belum begitu deras hingga ku putuskan untuk membuka payung dan menerobos hujan. Orang-orang yan ada di halte menatapku iri, pasti dengan segala kepentingan mereka, yang paling dibutuhkan saat ini adalah payung.

Ku lanjutkan kembali perjalanan singkat menuju rumahku ini, ku perhatikan sekitar yang sepi karena semua menghindari hujan. Aku tak mengerti, mengapa hujan sangat ditakuti? Hujan hanyalah hasil evaporasi air sungai, laut, juga sebagian kecil dari makhluk hidup yang tentunya dari diri mereka sendiri. Yang menggelikan, kenapa aku menuntut orang takut hujan tapi aku sndiri menghindari hujan dengan membuka payung? Aku hanya tersenyum kecut menanggapi pikiranku sendiri.

Untuk mempersingkat waktu tempuh, aku sengaja melewati taman kota. Taman ini sepi juga karena hujan. Mengingat hujan, terputar kembali memori istimewaku bersamaan dengan turunnya hujan. Cinta pertamaku, hari ulang tahunku yang ke-17, main hujan terakhirku, dan pertemuanku dengannya untuk pertama kali. Dan masih banyak lagi kenangan manis terputar dan semuanya terjadi saat hujan. Langkahku terhenti, kedua tanganku terjulur menyentuh dan merasakan rintik hujan yang jatuh mengenai telapak tangan, aku tersenyum menikmatinya. Mataku pun terfokus pada rintik air hujan yang pecah di telapak tanganku, cipratannya mengenai wajahku dan aku merasakan sensasinya.

Fokusku teralihkan ketika melihat benda entah manusia atau benda bergerak di gazebo itu, tangan ku kembali memegang payung yang semula ku apit di leher. Aku menghampiri gazebo itu tapi tidak terlalu dekat, aku melihat dengan teliti. Sepasang manusia yang terdiri dai pria dan wanita tengah... bercumbu. Namun, dalam penerangan lampu yang cukup di gazebo itu aku dapat mengenali wajah pria itu, aku sangat mengenalinya. Mendadak tanganku tak mempunyai tenaga untuk memegang payung. Payung itu terjatuh sehingga menghasilkan suara yang cukup membuat keduanya terusik. Dan pria itu, dia terkejut melihatku, membeku di tempat sepertiku.

Mataku terasa panas, dadaku merasakan nyeri yang sangat. Dengan cepat air mata menyusul keluar dan menyatu dengan hujan, aku tak peduli air hujan membasahi baju, rambut, bahkan sepatuku. Pun aku tak menyadari seseorang memanggilku, menghampiri, menarik tanganku dan mengajakku pergi, ke sebuah tempat yang mungkin aku mengenalinya, ah entahlah aku tak memikirkannya. Perasaanku kacau balau, tak henti-hentinya air mata ini mengalir di pipiku, segera ku tutup wajahku agar siapapun tak melihatnya, sesak di dadaku membuat nafasku tersendat, menghasilkan suara sedu sedan. Tak pernah terbesit dalam pikiranku tentang perilaku bangsatnya tadi, amarah, benci, dan rasa sakit ini beradu kemudian bersatu. Namun semua hanya mendapatkanku tak berdaya, tak mampu membuat tindakan pembalasan untuknya.

Entah sudah berapa lama aku tergugu hingga air mata ini mengering, entah pria yang menarik tanganku tadi sedang menatapku atau tidak aku tidak peduli.

Aku sedikit terkejut ketika tangan besarnya menggenggam jemariku, membuka telapak tanganku yang sedari tadi menutupi wajah. Ada aliran hangat dari tangannya, membuatku sedikit lebih tenang, aku sedikit melirik wajah pemilik tangan ini, ah ya, dia sahabatku. Tangan yang digenggamnya tadi ia tempelkan ke pipi, seolah belum cukup untuk menghangatkannya, setelah mungkin merasa cukup tangannya berpindah menyentuh pipiku. Pandanganku hanya tertunduk menatap lantai. Air mataku kembali keluar dan mengalir melewati pipiku, ia menusap air mata di pipi dan di ujung mataku. Aku sadar itu tak baik untuk perasaanya, ku tampik tangannya itu.

Aku tak bermaksud melukai hatinya, aku telah melukai hatinya sejak perasaan itu muncul dihatinya. Dan setelah melihatnya hari ini, aku sadar ada cinta yang besar dan tulus untukku.

Namun akpa tanggapannya ketika ku tampik tangannya itu? Dia merentangkan tangannya, menawarkan sebuah pelukan hangat. Aku menyambutnya. Wangi tubuhnya yang bersahabat membuatku selalu rindu. Lantas, ia berbisik di telingaku.

"Bila aku pegang kendali penuh pada cahaya, aku pastikan jalanmu terang"

Aku pegang janjimu kawan. Kan ku balas rasamu itu.

Bersama HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang