Sendu, langit menampakkan sendu. Awan kelabu terbias cahaya matahari yang bertapa menunggu waktu menuju penghujung hari. Seabetulnya pemandangan disekitarnya teramat indah, sungguh teramat indah. Namun tetap keukeuh terlihat sendu, ia tak dapat dan tak ingin memuji estetika alam untuk kali ini. Meskipun hari ini ia sedang berpangku tangan berlandaskan pada pagar pembatas di bibir tebing dan berhadapan langsung dengan hamparan bukit dipenuhi hutan pinus. Nun di ujung barat sana berdiri kokoh gunung berapi aktif melambai berharap digapai bagi siapa saja yang melihatnya. Yah, sendu tetaplah sendu. Biar saja muda mudi disekitarnya tengah kasmaran, beradu kasih dalam selimut senja. Biar saja suara canda tawa meriuhkan telinganya, namun seolah tuli karena dikalahkan suasana hati.
Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya, saling beradu, salling berselisih. Sisa air mata di sela matanya telah mongering sejam yang lalu, tapi tak membuat tangis dihatinya ikut mongering, bahkan belum sama sekali mereda. Senantiasa terngiang di telinganya perkataan itu, seolah baru lima menit yang lalu kalimat itu terucap.
" Mungkin kamu telah melihatnya sendiri, ya itulah aku. Aku yang baik didepan namun busuk dibelakang. Camkan, itu hanya berlaku padamu saja, semua temanku tak akan kuperlakukan seperti itu."
Kata tajam itu menusuk ulu hatinya, bergejolak dalam dadanya, ia berpikir selama sejam ini apa salah dirinya, apa salah sifatnya, apakah salah ia ingin berteman, atau memilihkan teman yang baik untuk sahabatnya sendiri. Kini ia tak mampu untuk berbuaat apapun, ia lemah tak berdaya. Waktu terus berputar tak dapat berkompromi dengan para pengejar waktu, terlihat disekitarnya malam beranjak naik , muda mudi tadi sudah raib entah kemana, bersisa dia seorang diri menatap hamparan bukit yang mula menghitam.
Setelah penambahan sejam setelah sejam tadi rasa sakit itu kambuh, entah dari mana asalnya terdengar sebuah hasutan yang membuatnya bangkit dan bersemangat, membesarkan hatinya. Bisikan itu seolah membelai wajahnya dan membiarkannya terlena, dengan cepat ia melangkahi pagar dan berdiri di bibir tebing. Angin berkesiur, bersorak sorai ramai seperti menonton sebuah pertandingan, seketika pikirannya ringan. Tangannya masih memegang pagar pembatas, lantas ia tersenyum.
" Sudah saatnya aku bersatu dengan alam." Ujarnya seraya melepaskan tangannya dari pagar pembatas.
Sepersekian detik tubuhnya seolah melayang, angin seperti membelai sekujur tubuhnya, dan sepersekian detik pula suara berat menarik tangannya dan menahannya.
" Tidak secepat itu!"
Pemilik suara berat itu segera membawanya jauh dari bibir tebing, didudukkaan lah ia di atas tanah. Dalam kesadarannya yang benar benar kurang, pemilik suara berat itu bertubuh jangkung, rambutnya ikal, namun wajahnya tak terlihat karena pencahayaan di tempat tersebut benar benar kurang.
"Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?" dengan nada tinggi pria itu bertanya, "kalau memang punya masalah yang berat, coba selesaikan dengan baik. Bukan dengan cara seperti itu, itu akan menambah buruk semuanya." Tatapan tegas itu segera mengalihkan pandangan nya yang sedikit demi sedikit mulai terlihat, namun telinganya masih dapat mendengar dengan normal. Lantas pria itu duduk didepannya. "cobalah berpikir dewasa, semua masalah pasti punya solusi , tuhan memberikan kita masalah agar kita kuat dan menjadi manusia yang hebat." Semakin pelan dan terkontrol suara pria itu.
Seolah kata-kata itu menghujam hatinya, tak sadar air mata tergenang kemudian pecah meleleh membelah pipinya, pria itu menatapnya seraya menghela nafas, lantas pria itu berdiri dan mulai berbalik meninggalkannya tanpa ucapan kata perpisahan sama sekali. Kesiur angin membawa pria itu pergi, hilang dengan sekejap mata. Menyisakan suara sedu sedan beriring gemerisik daun juga nyanyian alam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Hujan
Short StoryKetika semua kejadian ini terlarut dan menyatu bersama Hujan, bukan hanya pasal hujan, nyanyian alam, bisikan angin semua ciptaan Nya akan terkumpul dalam seluruh cerita-cerita ini