1

379 22 2
                                    

Cerita ini udah pernah di post untuk beberapa part awal. Tapi aku edit lagi dan repost dengan judul yang berbeda. Rada bingung mau buat point of view-nya dari segi mana. Tapi akhirnya pilihanku jatuh pada pemeran utama pria. Berhubung aku cewek jadi maafkan kalo ada kesalahan untuk segi pandang pria pada umumnya.

Cerita ini khusus aku buat bukan untuk kasih kesan alur atau pun endingnya yang wow, melainkan bertujuan untuk menikmati pengembangan karakternya =)

Dan berhubung beralur maju mundur, jadi beberapa part ada flashback yang akan muncul.

Happy reading.

----------------

Aroma kopi espresso serta asap yang mengepul di atasnya terasa begitu nikmat melalui indra penciumanku. Aku mencampurkan espresso itu dengan sesendok gula dan mulai mengaduknya. Aku memang kurang menyukai makanan dan minuman yang terlalu panas. Namun bukan itu alasanku mengapa aku tak bisa menikmati secangkir kopi di depanku ini.

Aku memejamkan mataku sejenak. Mungkin aku salah memilih tempat.
Untuk ukuran sebuah kafe yang cukup ternama di Los Angeles, tentu saja tempat ini tak pernah mengalami sepi pelanggan. Begitu juga karena lokasinya yang berada di pusat kota, manusia dengan segala jenis rupa dan ketidakpedulian mereka berlalu lalang di depan kafe ini. Namun apa boleh buat, hanya tempat inilah yang paling terjangkau dari rumah sakit tempat dimana aku bekerja. Dan juga dimana istriku dirawat.

Aku hanya lelaki biasa yang terkadang ingin sendiri dan butuh ketenangan. Tapi apa mungkin aku bisa tenang jika masalah yang kuhadapi terlalu rumit sedangkan dalam waktu 3 jam lagi aku harus melakukan operasi? Jawabannya sudah pasti tidak, tapi aku dipaksa untuk bisa.

Lamunanku terpaksa berhenti dikarenakan ponselku yang berdering. Celia, dia menelponku lagi.

"Kau ada dimana? Amanda daritadi sedang mencarimu?" Suaranya terdengar khawatir. Namun aku tidak tahu pasti siapa yang ia khawatirkan. Yang pasti, ini adalah hal menyebalkan karena sejujurnya aku tidak ingin diganggu oleh siapapun saat ini. Tapi anehnya aku malah menyunggingkan senyumku.

"Amanda yang mencariku atau kau yang mencariku?" Tanyaku mencoba menghiburnya, atau mungkin menghibur kami berdua. Aku tahu setelah ini dia akan menganggapku gila.

"Matt, please..."

Aku menghela, "Baiklah. Tunggu aku satu jam lagi." Aku tutup sambungannya seiring berakhirnya pembicaraan kami. Aku pun meminum kopi yang tadi sudah mulai mendingin. Menegaknya habis tanpa menikmatinya lagi. Kemudian aku keluar dari kafe dan berjalan ke arah dimana mobilku terparkir. Kulajukan gas dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit. Syukurlah jalanan cukup jinak karena sesungguhnya aku sedang tidak mengemudi cukup baik kali ini.

Sebelum masuk, kuperhatikan lagi pintu kamar yang bertuliskan 'VVIP 102' itu dihadapanku. Aku menggeram tanganku kuat, mengapa rasanya semakin hari semakin berat untuk memasuki kamar ini?

Detak jantungku menjadi lebih cepat begitu aku memasuki kamar. Dan yang membingungkan entah karena siapa reaksi jantungku jadi seperti ini.

"Matt, kenapa lama sekali?" Tanya Amanda sambil mengenggam tanganku. Aku kembali membalas genggamannya.

"Hmm maaf, sepertinya aku harus keluar dulu." Ujar Celia tiba-tiba, membuatku yang mau tak mau harus menoleh ke arahnya. Tanpa jawaban apapun dari aku atau pun Amanda, dia pergi keluar kamar.

"Matt..." panggil Amanda lagi. Dia memanggil seolah-olah dia takut kehilanganku. Dan aku benci itu.

Aku memperhatikan setiap sudut wajahnya. Meskipun aku benci mengatakannya, tapi jujur, dia memang terlihat menyedihkan. Dia menderita penyakit Leukimia yang sebenarnya sudah lama bersarang ditubuhnya. Hanya saja kami baru menyadarinya setahun yang lalu. Belum lagi sistem kemoterapi yang membuat tubuhnya semakin kurus dan rambutnya kian menipis. Keadaan seperti inilah yang membuatku semakin dikutuk rasa bersalah. Padahal nyatanya, Tuhan-lah yang membuatnya sakit. Bukan aku.

"Ada pasien yang harus dioperasi sebentar lagi. Mungkin akan memakan waktu sampai malam. Sebaiknya kau tetap harus makan dan minum obat secara teratur meskipun tanpa aku." Aku berusaha meyakinkannya, namun masih tidak ada jawaban. "Aku mohon, agar kau cepat sembuh."

"Penyakitku sudah stadium lanjut, Matt. Segala cara telah aku lakukan. Aku tidak bisa..."

"Apa yang sebenarnya kau katakan? Apa kau tidak ingat dengan Theo, anak kita?" Aku menyela. Karena hanya Theo satu-satunya yang bisa membuatnya kembali semangat. Dia terdiam.

"Ngomong-ngomong, kapan kau bisa membawa Theo kesini?" Tanyanya kembali semangat. Benar apa yang kubilang.

Aku mengelus kepalanya, "Besok aku tidak ada jadwal. Jadi aku berjanji akan mengajak Theo kesini. Dan ya, aku juga yang akan menemanimu disini seharian."

Dia menatapku dalam sambil tersenyum. "I love you so much, Matt." Ujarnya lirih dengan air mata yang tampaknya siap jatuh dari ujung matanya.

"I love you too." Jawabku kemudian mencium keningnya. Ya, aku memang mencintai Amanda, sungguh. Tapi yang menjadi masalah adalah kenapa selama dua tahun belakangan ini aku selalu dihantui kenangan buruk itu? Dan aku juga berani bersumpah kalau tindakanku ini bukan suatu wujud balas dendam. Tapi entah kenapa semuanya seperti takdir yang tidak bisa kuhindar lagi. Apakah ini yang dinamakan karma? Tidak, aku tidak mempercayai adanya karma.

Dia kembali menggegam tanganku dengan kemampuan tenaga yang rendah. Semakin hari dia semakin bertingkah aneh. Apakah dia mengetahui yang aku sembunyikan selama ini? Aku menggeleng dalam diam, tidak mungkin.

Akhirnya aku bisa keluar kamar setelah berbicara dari hati ke hati. Setidaknya perasaanku sudah sedikit lebih tenang untuk kembali bekerja. Namun perasaan itu kembali buyar begitu melihat Celia yang sedang duduk di kursi tunggu. Aku menghampirinya. Matanya pun sedikit melotot begitu aku duduk disampingnya.

"Kau sudah makan?" Tanyaku serius.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkanku." Jawabnya ketus.

"Tapi kenyataannya memang begitu."

Dia menundukkan kepalanya. Aku tahu betapa berat pikirannya saat ini. Seandainya saja kami bukan di depan kamar Amanda, ingin sekali aku memeluknya dan mengatakan kalau apa yang dirasakannya sama beratnya dengan apa kurasakan.

"Aku mohon, belilah makanan. Setidaknya beri aku rasa lega sebelum aku melanjutkan pekerjaanku. Kau dan Amanda sama pentingnya bagiku."

Dia mengangkat kepalanya dan mengerutkan dahinya. "Kau bodoh! Sebelum kau mempedulikan kami, apa kau sudah peduli dengan dirimu sendiri? Aku berani bertaruh kalau diperutmu itu hanya diisi setengah potong roti yang kau makan tadi pagi."

Aku tersenyum tipis. Kata-kata tajamnya selalu berhasil menghiburku. Begitulah cara dia mengkhawatirkanku.

"Aku minta maaf. Setidaknya aku punya waktu sejam lagi. Jadi aku akan segera ke kantin untuk membeli makanan hambar yang ada disana." Aku berdiri dari kursi. "Sekarang giliranmu. Bergegaslah. Kau boleh membeli segala jenis makanan. Tapi untuk Amanda, aku mohon, beli dia makanan yang sehat." Aku meraba kantong belakangku untuk mengambil dompet.

"Tidak perlu. Aku punya cukup uang." Ujarnya. Aku mengangguk, kemudian mulai berjalan meninggalkannya

"Terima kasih, Matt." Gumamnya yang masih bisa terdengar di telingaku. Aku hanya tersenyum tanpa membalas atau pun menoleh ke arahnya.


-------


What Really MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang