Flashback

165 13 0
                                        

Tebalnya salju sudah memenuhi jalanan di daerah sekitar asrama tempatku tinggal. Aku merasa kesal, salju itulah yang membuatku terkurung di dalam asrama selama berhari-hari. Namun pada hari ini, sepertinya Tuhan sedang berbaik hati padaku. Salju yang biasanya tidak absen turun, berhenti sejenak pada hari ini. Tentu saja kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Aku akan bertemu Amanda, kekasihku, yang rasanya hampir 2 bulan tidak pernah aku temui.

Aku mulai menelusuri jalan dengan pakaian berlapis dan mantel tebal. Aku pun mengusap-usap telapak tanganku yang masih terasa dingin meski sudah memakai sarung tangan. Udara begitu dingin dan sejujurnya aku kurang suka dengan udara seperti ini. Namun diiringi truk pembersih yang sudah mulai membersihkan jalanan, aku rasa cuaca akan sedikit menghangat hari ini.

Jalanan memang masih sepi. Tapi tidak sedikit pun mengurungkan niatku. Sampai akhirnya aku tepat berada di depan sebuah flat bercat coklat tua. Flat itu sangat sederhana namun terkesan 'this is home' apabila aku memandangnya.

Aku pun mengetuk pintu flat itu beberapa kali. Kemudian muncullah gadis berambut emas yang sangat aku rindukan selama ini. Dan begitu pintu terbuka lebar, tanpa basa-basi lagi aku langsung memeluknya erat.

"Kenapa kau datang tanpa menghubungiku dulu?"

Aku melepas pelukanku dan menatap matanya. "Aku bahkan lupa menghubungimu. Yang ada di pikiranku hanya menunggu salju berhenti dan segera menemuimu."

"Tapi udara masih sangat dingin, kan?" Sorot matanya terlihat khawatir. "Akan kubuatkan minuman hangat."

Kami pun masuk ke dalam flatnya dan menuju dapur. Dia menyuruhku menunggu di meja makan mungilnya, sedangkan dia membuatkanku secangkir coklat panas.

"Lumayan menghangatkan." Ujarku setelah meminum coklat panas buatannya dalam sekejap.

"Kau nekat sekali."

"Itu karena aku sangat merindukanmu. Di otakku hanya memikirkan cara untuk bertemu denganmu."

Dia hanya bisa mengulum senyumnya dihadapanku. Aku sangat menyadari betapa merah pipinya. Hal itu sontak memancingku untuk segera menciumnya, kemudian menariknya ke dalam kamar. Hanya tempat tidur satu-satunya sumber kehangatan saat ini.

"l miss you, Matt." Bisiknya menggoda telingaku.

"I miss you too, babe."
 
 
***
 
 
Aku memandangi Amanda yang sedang tertidur lelap di pelukanku. Dia terlihat tenang dan masih tampak cantik. Aku pria yang beruntung. Bagaimana tidak, banyak sekali pria yang jatuh cinta padanya. Sedangkan dia tetap memilihku.

Saat ini, aku sedang sibuk-sibuknya mengejar gelar master, yaitu spesialis patologi anatomi yang sebentar lagi akan kudapat. Aku juga sedang bersikeras ingin menikahi Amanda setelah aku lulus nanti dan menjadi seorang dokter yang sesungguhnya. Aku memang sedikit berbeda dibandingkan orang Amerika lain pada umumnya. Aku termasuk masih sangat muda untuk berpikir soal pernikahan.

Sedangkan Amanda berasal dari Australia. Dia salah satu juniorku meski kami beda fakultas. Usia kami hanya berbeda 4 tahun, bukan angka yang terlalu besar. Dan satu hal yang paling kuingat darinya adalah bagaimana aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta padanya saat pandangan pertama. Hal itu pula yang selalu aku ingat tiap kali aku mendapat godaan dari manapun.

Amanda bergerak dan mulai membuka kedua matanya. Aku menyambutnya dengan senyuman. "Bagaimana tidurmu?" Tanyaku sambil menyapu sebagian rambut yang menutupi wajahnya.

Dia mengangguk, "Tidur paling nikmat setelah beberapa bulan belakangan ini."

Aku kembali tersenyum. Lama kami saling bertatapan. Jujur, ada rasa gugup di dalam hatiku untuk membicarakan hal ini padanya. Namun tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin menunggu lagi.

"Amanda..." Panggilku pelan.

"Ya?"

"Dalam hitungan minggu lagi akan lulus."

"Tentu saja kita akan merayakannya. Bukankah itu momen yang kita nantikan selama ini?"

Aku tersenyum, "Bagaimana kalau kita merayakannya di Melbourne, tempatmu?"

Dia mengerutkan dahinya seperti bingung. "Kau..."

"Aku ingin bertemu keluargamu." Potongku cepat.

"Really?"Dia melebarkan senyumannya. Ekspresinya diluar ekspektasiku. Dia sangat girang. Apa dia juga menanti momen ini?

"Ya, aku serius."

Dengan cepat dia langsung memelukku erat. Aku membalas pelukannya sambil mencium puncak kepalanya.

Selang beberapa minggu kemudian, akhirnya aku lulus dari universitas dengan bergelar dokter spesialis. Orang tua, sahabat, dan tentunya Amanda ikut merayakannya dengan makan malam bersama di rumah orang tuaku yang memiliki halaman cukup luas. Dan disitulah juga aku bersiap untuk menjalankan apa yang sudah menjadi rencanaku selama ini, yaitu melamar Amanda.

Saat ditengah acara, aku menepuk tanganku tiga kali sebagai pertanda aku akan mengumumkan sesuatu. Semua pandangan orang disana terpusat padaku. Aku pun mulai mengeluarkan cincin dari saku celanaku dan berlutut di depan Amanda. Tentu saja dia terkejut melihatku. Suara riuh sekitar yang menggoda kami membuatnya terlihat semakin tersipu.

"Seiring perayaan kelulusanku sekaligus pergantian tahun yang sebentar lagi akan tiba, aku ingin mengatakan ini padamu." Aku menarik dan menghembuskan nafas beberapa kali. "Kukira hampir setiap hari kukatakan bahwa aku sangat mencintaimu. Dan itu sampai membuatku bingung harus mendeskripsikan apalagi mengenai perasaanku ini."

Teriakan beberapa sahabat sialanku semakin bertambah keras. Pikiranku pun mulai bingung.

"Oh jerk, bisakah kalian diam sebentar. Kasian teman brengsek kita ini, dia sedang gugup berat." Ujar Danny ditengah suara keributan. Aku tahu dia sedang mengejekku saat ini, bukan membela.

"Menikahlah denganku, Amanda. Temani aku di dunia ini." Ujarku to the point karena sudah tidak tahu lagi harus bicara apa. Padahal aku sudah berulang kali merangkai kata-kata dan berlatih di depan cermin. Tapi rasa gugup dan suara berisik membuat isi otakku buyar.

"Kau tidak perlu berkata banyak pun aku tetap menerimamu, Matt." Kata Amanda lembut. Matanya pun mulai terlihat berair. "Aku sepenuhnya percaya kalau kau memang mencintaiku. Dan aku bersedia menemani dirimu sampai akhir hayatku."

Aku pun mulai memasangkan cincin di jari manisnya. Kemudian berdiri dan menciumnya. Semua orang yang ada disana bersorak atas kami berdua. Sahabat-sahabatku pun mendekati kami dan memberi selamat.

"Aku tidak menyangka si bodoh ini mau menikah secepat ini. Hey Amanda, kau apakan dia?" Ujar Luke yang membuat Amanda tertawa.

"Aku cuma sedikit menjinakkannya saja." Jawab Amanda.

Kami pun tertawa bersama. Rasa lega begitu terasa saat ini. Baru melamar saja aku sudah segugup ini, lalu bagaimana selanjutnya nanti? Aku tahu aku memang harus siap-siap mulai sekarang.

 
 
 
 
 
 
 
----

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What Really MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang