Aku mandi dan memakai setelan santai karena hari ini aku libur. Memang agak aneh rasanya mendengar kata libur untuk seorang dokter. Tapi aku telah berjanji membawa Theo ke rumah sakit untuk menemani ibunya. Namun sepertinya anakku itu masih tidur di kamarnya. Mungkin lebih baik kalau aku buat sarapan dulu saja.
Aku lumayan kaget saat melihat Celia sedang duduk di meja makan sambil merenggangkan lehernya.
"Sejak kapan kau pulang?" Tanyaku sambil mengecek isi kulkas.
"Sekitar 15 menit yang lalu. Kau mau ke rumah sakit, kan?"
Aku mengangguk. "Tolong bangunkan Theo."
"Kau saja yang bangunkan. Biar aku yang buat sarapan."
Dia melaksanakan ucapannya untuk membuat sarapan. Tapi aku memilih duduk di pinggir kitchen set sambil memandanginya.
"Aku merindukanmu." Lontarku sengaja tidak sengaja.
"Aku tidak." Balasnya ketus.
Aku menyeringai, "Aku tidak bertanya soal perasaanmu atau pun pendapatmu. Aku hanya bicara mengenai diriku."
"Aku tidak peduli tentang dirimu."
"Aku tahu kau bohong."
Dia kembali memasak sebagaimana mestinya. Dia tidak menjawabku lagi bahkan tidak menghiraukanku. Aku benci diperlakukan seperti ini. Namun aku mengerti perasaannya. Bahkan bisa dikatakan akulah penyebab beberapa luka di hatinya.
"Amanda akan sembuh. Percayalah padaku."
Dia menghentikan kegiatannya dan memandang langit-langit sejenak. "Seyakin apa?" Bahkan orang bodoh pun tahu betapa menyedihkan raut wajahnya itu.
"Aku harap kita mempunyai keyakinan yang sama." Meski terlihat kikuk, aku mulai memberanikan diri untuk memeluknya. Dan tak disangka dia membalas pelukanku. Dan juga mulai terisak.
"Pikiranku terasa buntu, Matt. Aku tahu aku telah menyakitinya, namun bisakah Tuhan memberi kesempatan dia untuk hidup? Aku mungkin manusia paling menjijikan dan naif. Tapi dia sangat berarti bagiku. Aku ingin dia sembuh. Aku ingin dia tertawa lagi." Tangisannya semakin pecah. Aku pun semakin mengeratkan pelukanku.
"Aku juga menginginkan itu, sangat. Jangan pikir kau saja yang ingin. Kau melukai egoku."
"Maaf." Ujarnya pelan.
Aku tersenyum, "Permintaan maafmu diterima." Aku melepas pelukanku dan mendekap wajahnya. "Dengar, sebenarnya hal yang paling menyakitkan adalah disaat kau menyalahkan dirimu sendiri. Cukup Amanda yang pernah menyakitiku, kau jangan. Apa yang terjadi saat ini sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Jadi marilah kita bersama menghadapinya."
Celia tersenyum. Aku pun menghampirinya dan kami kembali berpelukan dalam diam.
***
Aku membuka pintu kamar dan membiarkan Theo masuk terlebih dulu. Sepanjang jalan dia terus bertanya kapan ibunya bisa berada di ruangan biasa karena dia tidak nyaman terus-terusan pakai masker di mulutnya. Sedangkan aku hanya bisa menjawab "segera" dan terus menyuruhnya berdoa agar ibunya bukan hanya pindah ruangan, melainkan pulang ke rumah.Raut wajah Theo dan Amanda sama-sama berseri saat mereka bertemh. Aku tahu betapa saling merindukannya mereka. Bahkan aku juga merindukan kebersamaan seperti ini. Tapi tentu saja bukan dengan perasaan yang persis seperti dulu.
"Terima kasih sudah menepati janjimu." Ujar Amanda padaku.
"Apapun yang membuatmu bahagia, pasti akan aku lakukan."
Theo bercerita tentang pengalamannya di sekolah selama berpisah dengan Amanda. Baik aku maupun Amanda sama-sama tersenyum bahagia mendengar cerita Theo yang begitu panjang sampai ia lelah sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
What Really Matters
RomanceRasanya segala impian Matthew Alexander Krost sudah sempurna terwujud. Menjadi seorang dokter yang sukses, menikah dengan wanita yang ia cintai, dan kemudian memiliki seorang putra. Tidak dari semua itu yang tak ia syukuri, terutama rasa mencintai d...