Part 3

23 3 0
                                    

Author POV.
"Fulla, aku pulang dulu yaa, makasih buat moccachinonya" kata Rettha sambil melambaikan tangan.

"Iya, hati hati ya Tha. ketemu lagi besok di cafe, oke?"
Jawab Fulla.

Rettha menganggukan kepala dan berjalan meninggalkan apartemen Fulla, untung saja jarak dari apartemen Fulla dengan apartemennya tidak jauh, kata 'apartemennya' membuat ia mengingat sesuatu.

-
Siang itu hari sangat terik, matahari tanpa pandang bulu menyinari semua orang, awan awan pun tak berani menutupinya, sinar itu seakan tuli dengan keluhan keluhan orang orang dibawahnya, tak terkecuali Rettha.

Hari itu adalah hari kedua ia berada di kota ini, kota yang sangat asing menurut Rettha, kota ini termasuk kota yang padat, tata kota yang sangat indah dan berada di lokasi strategis membuat banyak orang datang ke kota ini untuk menetap atau sekedar mencuci mata, beberapa orang bahkan berharap lebih saat datang kesini, berharap kehidupannya berubah, berharap mendapat pekerjaan yang penghasilannya besar dan berharap untuk bertemu malaikatnya. iya, malaikatnya, satu satunya harapan dia untuk bisa hidup. 'malaikat' disini bukanlah pujaan hati atau sang kekasih, malaikat disini adalah keluarganya.

Rettha menghabiskan masa kecilnya di panti asuhan, menurut ibu panti, ia dititipkan di tempat itu dari saat masih bayi, tidak ada data ataupun biodata tentang siapa keluarganya, yang ada hanyalah sedikit petunjuk yang menunjukan tempat lahir Rettha, dan dengan berbekal petunjuk itu Retta nekat untuk pergi ke tempat itu.

dan disinilah ia berada, dibawah terik matahari ia menyebarkan selembaran yang berisi hal hal yang ia pikir bisa membawanya menemukan keluarganya, terlihat nihil memang, hanya saja ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

"menurut saya ini bukan tempat yang mudah untuk menculik seseorang, lihat saja, ramai sekali tempat ini, akan sangat banyak saksi jika penculik itu menjalankan aksi disini." ujar seorang lelaki sambil menunjuk nunjuk sekelilingnya. Lelaki itu memakai kacamata hitam, dan memakai kemeja biru yang bagian lengannya dilipat sampai siku, ia berbicara dengan beberapa pria dan polisi, mereka mendengarkan dengan seksama apa yang lelaki itu katakan.

"Jadi, menurutmu kita dikelabui oleh penculik itu?" tanya seorang polisi.

"iya, dengan ditemukannya barang korban disini, bukan berarti penculikan itu terjadi disini." jawab lelaki itu, sambil berjalan mundur menuju mobil yang diparkirkannya tetapi..

BRUK

Ia langsung berbalik sambil melepas kacamatanya lalu ia melihat seorang gadis yang terjatuh dan disekelilingnya terlihat kertas kertas yang berhamburan.

"Maafkan saya, kau tidak apa apa?" kata lelaki itu dan membantu gadis itu berdiri.

"Ah" gadis itu meringis kesakitan dan sambil memegang kakinya yang terlihat bengkak.

"Maafkan saya" kata lelaki itu lagi dengan nada menyesal, ia membantu gadis itu untuk duduk di kursi dekat trotoar, polisi dan yang lainnya membantu mengambil kertas kertas yang berhamburan itu.

Lelaki itu mencoba memijat kaki gadis itu, dengan refleks gadis itu mencengkram tangan lelaki itu yang  menandakan ia kesakitan.

"sakit sekali ya, apa mau saya antar ke rumah sakit?" kata lelaki itu

"tidak, tidak apa apa" jawab gadis itu. lelaki itu termenung sebentar lalu berkata

"tidak apa apa apanya? bagaimana kamu bisa pulang dengan kaki seperti itu?"

Rettha terdiam, dalam hati ia menyetujui perkataan lelaki dihadapannya, bahwa kakinya sakit dan dia tidak bisa pulang dengan kaki seperti itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Miracle In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang