Prolog

15 4 2
                                    

"Oeekk... Oeekk...," Suara itu terdengar nyaring  di tengah pekatnya malam. Tak menghiraukan siapa pun yang sedang tertidur pulas saat itu. Sepertiga malam. Sebagian telah terjaga karenanya. Lelah, darah, payah. Hanya itu yang dapat terlihat di wajah wanita tua berpakaian lusuh yang dengan segera menutup kembali luka pada wanita paruh baya yang baru saja memuntahkan bayi dari rahimnya.

Bayi perempuan mungil dengan mata yang besar, hidung yang mancung dan kulit lembut khas bayi yang lahir malam itu seakan menjadi pelita di tengah gelapnya harapan ayah ibunya.

Rupanya bagaikan putri bermahkota, seindah mahkota bunga lily. Kulitnya putih bersih seputih bunga lily. Jangan kan manusia, ayam pun berhenti berkokok melihat cantiknya ia. Mentari pun terpana, malu menunjukkan cerahnya. Karena ia tahu, ada yang lebih cerah dari sinarnya. Embun pun kalah bening dengan dirinya. Tak akan ada kata lain yang akan terucap saat melihatnya kecuali, cantik.

Tak heran jika orangtuanya memberi ia nama Ily. Putri Lily.

Tak seindah namanya, pun rupanya. Keluarga ini sangatlah berbeda dari kebanyakan orang. Baik memang, tapi tidak dengan keadaannya. Mereka tinggal di rumah reyot pinggiran sungai, tak ada air bersih ataupun listrik. Kalaupun ada, itu berkat aliran sungai yang deras. Untungnya kepala keluarga ini pandai memanfaatkan alam. Mereka hanya bisa makan jika wanita paruh baya dikeluarga ini membawa pulang sedikit nasi dan tak banyak upah dari rumah majikannya.

Putri LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang