Dua

6 1 0
                                    

Tidak jauh dari keramaian lalu lintas, di salah satu bangunan toko yang berjejer rapi menghadap jalanan. Suara gunting terdengar lincah dari ruangan kecil itu. Ada sekitar delapan toko di sepanjang jalan . Tiap toko milik penduduk setempat. Lebarnya tiga meter, panjangnya empat meter. Ada yang membuka warteg, toko obat, toko emas, toko pakaian dan satu diantaranya dijadikan salon, tempat cukur.

gedubrak...!

Seorang pemuda terlihat tergesa-gesa memasuki ruangan itu.

"aya naon iye den?" Ucap salah seorang di dalam ruangan itu.

"Haduh Mang, sudahlah. Ini kan hari senin, lupa cukur rambut nih," Dengan nafas tersengal pemuda itu menjawab pertanyaan si tukang cukur itu. "Gaya biasa yah Mang." Sambungnya.

Ia duduk santai diatas kursi kayu tinggi, menghadap cermin besar. Tukang cukur itu bekerja cekatan di belakangnya. Pemuda itu menatap cermin, memerhatikan potongan rambutnya. Terlihat di wajahnya sedikit cemas. Aduh telat nih gumamnya dalam hati.

"Belum telat kok den," Ujar pemangkas sambil melirik jam kecil di atas meja.

"Aduh Mang Cecep, udah belum nih? bisa telat kalo gini."

Sepuluh menit berlalu, keramaian bisa dilihat dari jendela kaca salon. Terlihat sepintas seorang gadis berseragam yang berjalan melewati salon itu. Dari seragam yang dikenakannya, ia dengan mudah mengetahui jika gadis seumuran dengannya adalah salah satu siswi di sekolahnya.

"Berapa Mang?,"

"Biasalah den,"

"Makasih ya mang."

Dengan segera, pemuda itu mengambil tasnya yang tadi tidak sengaja ia lempar ke kursi  sebelah. Kring bunyi bel kecil yang sengaja dipasang oleh pemiliknya di atas pintu untuk mengetahui kedatangan pelanggangnya berbunyi bersamaan dengan dibukanya pintu toko.

***

Cratt..!


"Sorry, sorry..," teriak seorang pemuda dari atas motornya.

"Woyy...! Kalo jalan pake mata dong!" Sambil membereskan seragamnya yang terkena cipratan sisa air hujan semalam.

"Gua telat nih..."  sambungnya.

Kurang hanya beberapa meter saja dari kejauhan terlihat gerbang sekolah mulai ditutup.

Ily bersusah payah mengejar waktu agar gerbang sekolah tidak ditutup. Tapi semua itu sia-sia.

"Lu kan?," Ucap mereka bersamaan sambil menunjuk ke arah wajah mereka masing-masing.

Pernah sekali mereka bertemu di satu toko buku di ujung kota. Satu bulan yang lalu kira-kira. Saat itu Ily harus memecahkan celengannya untuk membeli buku. Bukan novel atau buku cerita lainnya, seperti yang teman-temannya beli. Buku pelajaran Bahasa Inggris. Ya, ia memang suka mata pelajaran itu. Saat ia sibuk memilih buku mana yang harganya paling murah, seorang laki-laki tak sengaja menabraknya dari belakang dengan tumpukan buku di pelukannya. Sontak saja buku itu jatuh berserakan di lantai. Ily langsung menolongnya. "Mbak kalo mau balik badan, kasih isyarat kek, apa gitu. Lihat, saya kan yang kena." Karena Ily baru bertemu dengannya, ia mengabaikan hal itu.

"Eh, lu punya mata gak sih? Kalo kagak bisa bawa motor mending jalan kaki aja deh! Liat seragam gua, jadi kotor kan gegara lu!." Dengan nafas tersengal, Ily memarahinya.

"Jalan, jalan siapa? Punya lu? Bukan kan ? Jadi terserah gue dong. Lagian lu juga, udah tau ada genangan ngapain jalan disitu? Jadi yang salah siapa? Lu. Bukan gue" ujar pemuda itu dengan tenang tanpa merasa bersalah.

"Nyebelin banget sih lu! Dikasih tau juga, malah--"
"Ssssttt.. sudah sudah. Kalian sudah telat. Jangan malah bikin ribut disini. Nanti saya yang kena marah Kepala Sekolah." Seorang bapak berkumis tebal dengan perut gendut berusaha menghentikan keributan. Dari seragam yang dikenakannya, jelas ia adalah satpam. Bukan seorang guru.

Putri LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang