Bunyi jam beker spesial Ranjuku Shonen itu kembali menelisik telingaku. Tiada yang paham mengama benda absurd yang juga merupakan salah satu merchandise terlaris konser debut kami itu masih saja kusimpan. Para fans berbondong-bondong membelinya agar bisa dibangunkan oleh suara idola pujaan mereka setiap pagi. Dalam grup kami, semua urutan kemunculan anggota selalu ditentukan dari usia, begitu juga dengan urutan dialog kami dalam alarm ini. Hisui lagi-lagi yang paling terakhir. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, tapi aku selalu berhasil bangun dan mematikan jam beker tersebut sebelum giliran Hisui tiba. Hanya saja pagi ini aku memutuskan untuk mendengarkannya sampai akhir.
"Ranjuku Shojo-chan! Meski kelopak mata kalian pun adalah suatu keelokan yang kusukai, tapi aku lebih suka melihat bintang-bintang harapan di dalam manik kalian. Ayo bangun!" ucapku sambil memimik dialog Hisui yang rupanya masih kuhapal di luar kepala. Tak hanya milik Hisui tentunya. Di dalam grup kami, aku dan Ruka adalah yang paling gemar menghapal dialog anggota lainnya.
Kugaruk kepalaku kasar, masih juga mata ini rasanya berat, meski sudah jauh lebih baik dari minggu lalu. Skenarioku sendiri sudah beres, tapi pekerjaanku sebagai asisten Taki-san tentunya hanya akan tamat jika aku.. mengundurkan diri.
Sebelum beranjak ke kamar mandi, aku terduduk di pinggir ranjang, menatap kosong cermin kamar. Miyata Junpei, 26 tahun, bujangan yang tinggal berdua dengan ibunya. Sudah dua minggu tidak cukur janggut, sudah dua bulan lebih tidak merapikan rambut. Mungkin mantan penggemarku juga tidak akan mengenaliku jika berpapasan di jalan. Kadang aku tak percaya bahwa aku pernah menjalani kehidupan menjadi idola itu. Tiada yang kusesali dari pensiun dini, tapi aku tak bisa berhenti mereka-reka, kiranya apa yang bakal terjadi jika Hisui tidak pergi?
"Junpei? Sudah bangun, nak?" Ibu mengetuk pintu kamarku pelan, selang beberapa detik ia masuk tanpa menunggu jawaban. "Ibu sudah siapkan sarapan di meja makan. Hari ini kamu pulang pukul berapa?"
Aku melirik ibuku yang sudah berpakaian rapi dengan gaya monokrom. Sudah dapat kuduga kalau setelah ini ia akan pergi ke 'perkumpulan relijius' mencurigakan itu. "Mungkin hari ini bakal menginap di apartemen Taki-san."
"Begitu? Salam dari ibu ya buat Taki-sensei," ujarnya menggunakan panggilan Taki-san yang lebih umum. Sebelum menjadi muridnya aku terbiasa memanggilnya dengan embel-embel 'sensei', tapi ia ternyata merasa risih dengan panggilan tersebut. Memanggilnya dengan 'san' meski tampaknya tidak spesial, sebenarnya membuatku memiliki kebanggaan tersendiri. Hanya aku yang memanggilnya begitu. "Kamu sudah baikan, belum? Lihat tuh kantung mata makin besar saja. Ibu bisa taruh koin sepertinya."
"Sudah baikan, bu. Mungkin karena sudah tidak dengar-dengar suara aneh itu lagi."
Mendengar lanjutan dari ceritaku beberapa hari lalu, ibu pun mendekat dan duduk di sampingku. Kemudian ia raba-raba punggungku menghibur, wajahnya tampak menderita seakan-akan ikut terbius rasa lelahku. "Kamu ikut ibu ke Rantenkyo ya, mungkin mereka bisa menjelaskan apa yang kejadian sama kamu. Kan aneh kalau selama ini kamu baik-baik saja, tidak diganggu suatu memori apa pun tentang kejadian itu tiba-tiba sekarang diguncang lagi."
Kugelengkan kepala pasti. Meski aku tidak masalah dengan pilihan ibuku menggantungkan hidupnya pada aliran spiritual semacam itu, tapi aku tak bisa melakukan hal yang sama. Aku masih bisa mengatasi semuanya sendiri. Untuk apa minta tolong ke "Tuhan" yang sebenarnya juga merupakan bagian dari sumber masalahnya?
"Ya sudah kalau tidak mau." Ia membelai kepalaku kecewa. "Tapi Junpei.. Meski ilmu ibu jauh sekali jika dibandingkan oyasama, tapi ibu merasakan ada perubahan dengan auramu. Kau tahu, aura.. sesuatu bercahaya yang memiliki warna, yang terpancar dari seseorang tergantung dari perasaan yang dikandungnya. Ibu merasa asing dengan aura milikmu, seakan-akan yang menempel padamu sekarang adalah milik orang lain. Apalagi beberapa hari lalu waktu kau pulang dengan keadaan pucat seperti itu, rasanya kuat sekali.. Hampir sama rasanya dengan ketika ibu meditasi massal. Sekarang sudah pupus jauh, mungkin karena itu juga kau merasa baikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
About That Hisui-kun We Haven't Known Yet [BL]
Mystery / Thriller[ON-GOING/PG15] Musim Dingin 1989. Publik Jepang gegar. Perempuan-perempuan muda mengalami trauma massal. Seorang bintang idola muda ditemukan tewas tercekik di tengah hutan, dengan jasad yang habis dikoyak oleh birahi binatang buas. Tiada satu pun...